BERITA TERKINIHEADLINE

Perempuan Penjaga Perdamaian : Membangun Harapan Lewat Kesehatan dan Pendidikan di Wilayah Terpencil Sultra

×

Perempuan Penjaga Perdamaian : Membangun Harapan Lewat Kesehatan dan Pendidikan di Wilayah Terpencil Sultra

Sebarkan artikel ini

LAJUR.CO, KENDARI – Di sudut-sudut pelosok Sulawesi Tenggara (Sultra), Indonesia, dua perempuan dari latar belakang dan benua yang berbeda membuktikan bahwa keamanan bisa lahir dari tindakan-tindakan sederhana. Seperti dari ruang bersalin di desa terpencil, dan dari bangku sekolah di tengah lautan.

Etty Permatasari (28), seorang bidan muda dari Jeneponto, Sulawesi Selatan, dan Geertje Berverling (71), perempuan asal Belanda, menjalankan misi yang sama meski tak saling mengenal. Mereka menjaga masa depan masyarakat lewat pendidikan dan kesehatan. Di luar sorotan media dan protokol diplomasi, keduanya menjadi penjaga perdamaian dari pinggiran, yakni di tempat di mana negara kerap tak hadir sepenuhnya.

Etty Permatasari: Menjaga Masa Depan Lewat Gizi dan Kelahiran yang Aman

Sejak Oktober tahun 2022, Etty mengabdikan diri di Desa Burangasi, Kabupaten Buton Selatan (Busel), Sultra, sebuah wilayah dengan prevalensi stunting tinggi, mencapai 32%. Melalui program Bidan Untuk Negeri dari Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa, lulusan Politeknik Kesehatan Makassar ini menjadi penghubung antara ilmu medis dan realitas tradisional masyarakat desa. Bidan Untuk Negeri adalah program yang bertujuan untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan anak di lokasi yang terisolasi secara geografis dengan menerapkan tiga pilar yaitu Pelayanan, Pembelaan, dan Pemberdayaan.

Bekerja di desa yang minim pemahaman tentang sanitasi dan gizi bukan perkara mudah. Banyak ibu hamil yang masih bergantung pada praktik pijat dukun kampung, yang menurut Etty, berisiko menyebabkan komplikasi kehamilan.

Etty Permatasari, tenaga kesehatan dari program “Bidan Untuk Negeri” Dompet Dhuafa melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap ibu dan bayinya di Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara.

“Kami menemukan masih banyak ibu hamil yang melakukan pijat urut ke dukun. Itu bisa menyebabkan perdarahan bahkan membahayakan ibu dan janinnya. Kebiasaan tidak bisa langsung diubah, tapi bisa dirangkul,” ujar Etty saat diwawancarai jurnalis lajur.co, Rabu (23/10/2024).

Alih-alih menentang praktik lokal, Etty memilih merangkul para dukun kampung sebagai mitra. Ia mengajak mereka berdiskusi dan berkolaborasi dalam mengedukasi ibu hamil. Pendekatannya yang humanis, dengan mendengarkan, berdialog, dan menghormati kearifan lokal, menjadi cara cerdas menciptakan harmoni sosial di tengah perubahan.

Baca Juga :  Sultra Siap Jadi Tuan Rumah STQH Nasional Ke-28 Tahun 2025, Berikut Tujuh Venue Lomba

Selama berada di sana, Etty juga menjalankan peran ganda. Dia menjadi pendamping ibu hamil, konselor keluarga muda, dan fasilitator gizi anak-anak. Secara perlahan, dampaknya mulai terasa. Prevalensi stunting menurun, dan lebih penting lagi, tumbuh kesadaran bahwa kesehatan anak adalah bagian tak terpisahkan dari keamanan keluarga. Beberapa hasil yang baik ditunjukkan dengan perubahan status gizi bagi bayi balita juga pola asuh para orangtua dan tingkah laku hidup sehat bagi ibu dan anak mengalami perubahan positif.

Kini, pengabdiannya di Burangasi telah usai. Etty kembali ke kampung halamannya di Sulawesi Selatan. Namun, jejaknya masih terasa di desa yang ia tinggalkan, desa yang kini mulai percaya bahwa masa depan bisa ditentukan sejak dalam kandungan. Selama beberapa tahun di Bumi Matano Sorumba (sebuah julukan Busel), Etty larut dalam kehidupan masyarakat lokal di Burangasi. Ia kagum terhadap masyarakat yang terus menjaga dan melestarikan budaya setempat.
“Alhamdulillah saya sudah bertolak ke Makassar,” singkat Etty dikonfirmasi pada Jumat (8/8/2025).

Geertje Berverling: Ibu Sekolah di Tengah Lautan

Di tengah hamparan laut Wakatobi, jauh dari hiruk-pikuk kota, seorang perempuan asal Belanda memilih menetap di sana. Bukan untuk berlibur, melainkan untuk membangun masa depan anak-anak yang terpinggirkan. Namanya Geertje Berverling, atau akrab dipanggil Ibu Geertje. Usianya telah lanjut, namun semangatnya seperti tak pernah tua. Ia mengabdi pada pendidikan di perkampungan nelayan suku Bajo, tepatnya di Desa Sampela, Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Geertje pertama kali tiba di Pulau Hoga, Wakatobi pada tahun 1995, awalnya hanya sebagai wisatawan. Tapi takdir berkata lain. Ia terlantar, dan justru menemukan panggilan hidupnya di sana. Saat itu, tak banyak rumah penduduk di Pulau Hoga. Ia tinggal di tenda bersama salah satu warga Baubau yang tengah membangun resort. Dari situlah perjalanannya dimulai.

Melihat banyak anak-anak Bajo yang tak bisa membaca dan menulis, Geertje mulai bertindak. Bersama Sanawia (51), sahabat dan rekan seperjuangannya, ia membuka akses pendidikan formal dan nonformal. Tak hanya di Hoga, Geertje juga membuka perpustakaan keliling di pulau lain seperti Tomia, dan Kaledupa. Di Sampela, kampung Bajo di atas laut, ia bahkan mendirikan sekolah swasta dan rumah tinggal bagi anak-anak yang sekolah, karena sebagian besar berasal dari keluarga nelayan kurang mampu.

Baca Juga :  10 Makanan Penambah Keratin agar Rambut, Kulit, dan Kuku Sehat Alami
Anak – anak di Dusun Furake, Pulau Hoga Kabupaten Wakatobi diantar ke sekolah setiap hari dengan perahu. Foto : Facebook Geertje Berverling.

“Sebelum ada Ibu Geertje, anak-anak Bajo tidak ada yang sekolah. Kalau pun sekolah, mereka harus tinggal di Kaledupa. Sekarang sudah tidak ada anak – anak yang buta huruf,” cerita Sanawia, Jumat (5/7/2024).

Selama hampir 30 tahun, Geertje datang dan pergi dari Belanda setiap enam bulan sekali. Ia tak pernah menerima bantuan dari pemerintah dalam membantu sekolah anak – anak di pulau dengan wisata bahari yang eksotis. Bahkan, beberapa tahun lalu, kata Sanawia, Geertje sempat terancam dideportasi karena disangka mendirikan resort secara ilegal. Namun masyarakat yang ia bantu bersuara bahwa perempuan tua itu bukan pebisnis, tapi penyelamat pendidikan. Rencana deportasi terhadap dirinya pun dibatalkan.

Geertje dikenal sebagai sosok yang sederhana, penuh kasih, dan punya semangat spiritual yang kuat. Ia menyalin buku Iqra, lalu menyuruh anak-anak untuk mengaji, dan memotret senyum mereka sebagai pengingat: bahwa hidupnya berarti. “Mungkin dengan bantu anak-anak saya bisa masuk surga. Kalau saya meninggal, mungkin saya bisa dapat pahala dari situ,” kata Sanawia menirukan ucapan Geertje.

Di SDN Ambeua 1, yang secara administratif adalah sekolah negeri di Kecamatan Kaledupa, Geertje menyewa kapal, membeli bahan bakar, dan menggaji operator kapal demi memastikan guru-guru datang mengajar. Ia juga membelikan buku, seragam, dan keperluan sekolah lainnya. Di bawah naungan SDN Ambewua 1, Geertje dan Sanawia menjadikan sekolah bukan sekadar bangunan, tapi rumah harapan bagi anak-anak Bajo yang hidup tanpa buku bacaan dan internet.

“Itu sebenarnya sekolah negeri. Supaya guru tidak malas datang, Geertje sewa kapal, bayar bahan bakar, bahkan kasih gaji untuk orang yang bawa kapal,” ujar Sanawia kepada lajur.co, Jumat (5/7/2024).

Baca Juga :  Gubernur ASR Teken Kontrak Payung Pengadaan Seragam Dinas dan ATK

Lebih dari sekadar sekolah, Geertje menghadirkan nilai-nilai: kesetaraan gender, keberanian bermimpi, dan kemandirian perempuan. Sekolah ini menjadi ruang pertama bagi anak-anak perempuan untuk belajar bermimpi dan bermakna sebagai upaya nyata mencegah ketimpangan struktural sejak usia dini.

Dampaknya nyata. Anak-anak yang dulunya buta huruf kini mampu menempuh pendidikan tinggi. Bahkan, jumlah siswa terus bertambah. Terbaru, kata Sanawia pada Jumat (8/8/2025), ada 12 anak masuk SD, 5 orang ke SMP, dan 3 anak mengikuti pendidikan TK. Puluhan lainnya sudah menamatkan pendidikan dan menjadi sarjana.

Dua Perempuan, Satu Misi: Keamanan dari Akar Rumput

Etty dan Geertje tak saling mengenal. Namun mereka menjalankan misi yang selaras: membangun perdamaian dari rumah-rumah sederhana, dari ruang bersalin dan ruang kelas. Mereka bukan pejabat tinggi, bukan diplomat, namun apa yang mereka lakukan sejalan dengan nilai-nilai utama Agenda ASEAN : Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (Women, Peace and Security / WPS).

Dalam konteks WPS, perdamaian bukan semata tentang gencatan senjata atau negosiasi politik. Tetapi juga tentang bagaimana perempuan memimpin di komunitasnya, membangun ruang aman, menyehatkan generasi, dan menyuarakan keadilan melalui aksi nyata.
Lewat Etty dan Geertje, kita belajar bahwa keamanan bisa berawal dari seorang bidan yang mendengarkan keluhan ibu hamil, atau seorang relawan asing yang menyewa kapal demi memastikan guru datang mengajar. Ini adalah keamanan versi akar rumput, tumbuh pelan, namun kuat dan mengakar.

Di tengah dunia yang terus bergolak, kisah dua perempuan ini menjadi pengingat bahwa perdamaian sebenarnya dimulai dari rumah. Dari anak yang sehat, dari anak perempuan yang bisa membaca, dari perempuan yang dipercaya menjadi pemimpin informal di komunitasnya.

Etty dan Geertje telah menjadi arsitek perdamaian yang lahir bukan dari kantor-kantor pusat kekuasaan, melainkan dari desa dan pulau terpencil. Dari pinggiran yang jarang masuk berita, mereka menunjukkan bahwa perempuan tidak hanya layak dilibatkan dalam wacana perdamaian, tapi seringkali, merekalah yang mewujudkannya. Red

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x