LAJUR.CO, KENDARI — Saat langit mulai gelap dan angin laut bertiup pelan, suara mesin genset meraung memecah kesunyian malam di Desa Gala, Kecamatan Maginti, Muna Barat. Suara genset menandai dimulainya empat jam cahaya bagi 170 kepala keluarga di pesisir barat Pulau Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Suasana terang itu hanya berlangsung mulai dari pukul setengah enam sore hingga pukul sepuluh malam. Namun penerangan ini hanya tersedia jika mesin genset dalam kondisi normal. Genset yang sudah renta membuat 679 jiwa di pemukiman itu sering menghabiskan malam dalam kegelapan.
“Listrik dari genset tapi menyala mulai jam setengah 6 sampai jam 10 malam saja. Kadang juga tidak menyala terkendala mesinnya sudah sering rusak,” ujar Kepala Desa Gala, Sirajudin diwawancarai lajur.co, Jumat (24/10/2025).

Gemuruh suara genset mulai menghiasi pendengaran warga Desa Gala sejak tahun 2020. Genset desa tersebut merupakan satu-satunya yang diandalkan, sebuah mesin bekas penyulingan air milik Pemda Muna Barat yang diperbaiki sendiri oleh warga.
Masyarakat mulai beralih menggunakan genset, setelah sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) tak lagi berfungsi normal. Sejak tahun 2016 silam, masyarakat Desa Gala, kata Sirajudin mengandalkan PLTS terpusat bantuan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Aliran listrik yang seadanya membuat aktivitas warga serba terbatas. Tanpa listrik yang stabil, nelayan tak bisa menyimpan hasil tangkapan ikan, tak ada kulkas, apalagi freezer. Hasil laut tentunya harus segera dijual, karena tak bisa disimpan lama.
Bagi mereka, genset hanya menjadi penerang sesaat, bukan penunjang kehidupan jangka panjang. Seperti dikemukakan salah seorang warga bernama Ahmad Faisal. Dia hanya menggunakan tiga bohlam lampu dan satu alat elektronik berupa televisi (TV), yang dinyalakannya sesekali waktu.
“Kalau di rumah saya cuma tiga lampu dan satu TV saja. Kami bayar Rp90 ribu per bulan untuk bahan bakar. Kalau mati lampu, saya pakai aki kecil 10 ampere atau 2.200 watt, tapi tidak semua orang punya,” kata Ahmad Faisal, warga Desa Gala, Rabu (29/10/2025).
Kehidupan warga di tengah keterbatasan listrik tidak hanya ditemukan di Desa Gala. Dari 81 desa di Kabupaten Muna Barat, sebanyak 11 desa hingga kini belum teraliri listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN). Artinya, ratusan keluarga di kabupaten yang berusia 11 tahun ini masih menanti kehadiran energi berkeadilan.
Kondisi itu menjadi tantangan besar bagi upaya pemerataan pembangunan di daerah 3T (terdepan, terpencil, tertinggal). Padahal, daerah dengan ibukota Laworo ini memiliki potensi wisata luar biasa, tetapi sebagian wilayahnya masih gelap ketika malam tiba.
Desa Gala sebenarnya punya modal besar untuk berkembang. Lautnya bergradasi biru, terumbu karangnya terjaga, dan pantainya berpasir putih. Dari permukaan laut, warna biru muda, biru tua, hingga hijau toska berpadu menawan menyajikan surga bagi pecinta snorkeling dan diving.
Jika aliran listrik masuk menjangkau pemukiman mereka, maka warga setempat dapat membangun homestay, warung atau usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta mengembangkan wisata bahari.
“Ada beberapa pulau kecil masuk dalam administrasi Desa Gala memiliki potensi besar dijadikan sebagai wisata bahari,” lanjut Ahmad Faisal.
Dengan pesonanya itu, Pulau Gala mampu memikat perhatian para personel grup musik Angkasa Band. Saat membuat video klip untuk lagunya berjudul ‘Pendamping Hidupku’, Angkasa Band bahkan memilih Pulau Gala sebagai lokasi syutingnya.
Kata Kepala Dinas Kominfo Muna Barat, Al Rahman, pada Jumat (25/7/2025), saat itu Angkasa Band memilih lokasi syuting video klip di Pulau Gala Kecil, Desa Gala, serta Pulau Indo, Desa Tiga, Kecamatan Tikep karena keindahan alamnya.
Potensi wisata itu seolah terkurung dalam bayang-bayang gelap. Padahal, dengan akses energi yang memadai, ekonomi lokal bisa tumbuh. Hasil tangkapan ikan bisa diolah, anak muda bisa bekerja di sektor pariwisata, dan desa bisa mandiri secara ekonomi.
PLN sebenarnya terus memperluas jangkauan listrik hingga pelosok termasuk di Sultra melalui program Listrik Desa (Lisdes). Setiap desa yang teraliri listrik berarti satu langkah menuju “Energi Berdaulat untuk Indonesia Kuat”. Namun bagi warga Gala dan sepuluh desa lainnya di Muna Barat, langkah itu masih ditunggu.
“Belum keluar bantuan listrik PLN desa,” tambah Sirajudin.
Kehadiran listrik di wilayah seperti Gala bukan sekadar persoalan penerangan, tapi simbol keadilan sosial dan pemerataan pembangunan. Listrik dapat membuka jalan bagi pendidikan yang lebih baik, kesehatan yang lebih layak, dan ekonomi yang lebih hidup.
Sampai hari itu tiba, warga Gala tetap menyalakan harapan di bawah cahaya lampu genset yang temaram, sambil menatap laut biru yang berkilau di siang hari. Mereka percaya, suatu saat nanti, desanya tak lagi gelap di peta kelistrikan negeri ini. Red




