BERITA TERKININASIONAL

Kualitas Belanja Daerah Buruk, Siapa yang Salah?

×

Kualitas Belanja Daerah Buruk, Siapa yang Salah?

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi. Foto : Ist

LAJUR.CO, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti belanja pemerintah dalam APBN maupun APBD. Pasalnya, ia menemukan belanja negara kerap dilakukan tidak optimal.

Secara khusus, ia menyoroti penggunaan APBD. Tanpa menyebut daerahnya, ia mencontohkan ada pemda yang 80 persen anggarannya habis untuk kegiatan yang tidak konkret, yakni untuk rapat dan perjalanan dinas. Maka dari itu, Jokowi ingin penggunaan dana ini diubah dari yang berorientasi prosedur menjadi berorientasi hasil agar belanjanya konkret dan optimal.

“Begitu bisa dibalik, 80 persen (untuk kegiatan) konkret, 20 persen untuk rapat, anggaran APBN, APBD itu produktif,” ujarnya di acara Rakornas Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2023, Jakarta, Rabu (14/6).

Jokowi pun meminta belanja negara harus dilakukan secara optimal dan produktif. Pasalnya, tak mudah mencari uang di tengah situasi ekonomi global yang sulit seperti sekarang.

“Karena memang cari uang sangat sulit, baik lewat pajak, PNBP, royalti, dividen, tidak mudah. Sekali lagi, untuk wujudkan Indonesia Emas 2045 tidak mudah,” katanya.

Hal serupa juga diungkapkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Badan tersebut menemukan potensi pemborosan belanja daerah hingga 21 persen dalam melaksanakan program pembangunan yang telah disusun dalam RPJMN 2020-2024.

Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh mengatakan potensi tersebut ditemukan saat mengawasi dari sisi aspek efektivitas dan harmonisasi pembangunan di daerah.

“Kami menemukan adanya potensi pemborosan alokasi belanja daerah sebesar 21 persen dari nilai anggaran yang diuji petik,” ujarnya.

BPKP Temukan Potensi Pemborosan Belanja Daerah hingga 21 Persen
Selain itu, BPKP juga menemukan 43 persen program sasaran di daerah berpotensi tidak optimal. Kondisi ini dinilai perlu segera ditindaklanjuti atau diperbaiki agar bisa berjalan optimal.

Dalam lima tahun terakhir, dana transfer ke daerah dan dana dana desa jumlahnya cukup fluktuatif. Berdasarkan data Kemenkeu, dana transfer ke daerah dan dana dana desa berjumlah Rp811,29 triliun pada 2019. Kemudian turun menjadi Rp762,53 triliun pada 2020 dan Rp785,71 triliun pada 2021. Lalu, anggarannya naik menjadi Rp816,24 triliun pada 2022.

Baca Juga :  Pertamina Rilis Data Kenaikan Penggunaan LPG dan BBM Selama Ramadan dan Idulfitri di Sulawesi

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan pernyataan Jokowi dan BPKP tersebut mengonfirmasi bahwa anggaran di Indonesia masih buruk.

Menurutnya, ada beberapa kesalahan penganggaran belanja negara terutama dalam perencanaan di mana banyak program yang tidak tepat sasaran. Kemudian, terjadi pemborosan belanja rapat, belanja perjalanan dinas, serta belanja barang yang tidak ada kaitannya dengan program pembangunan.

“Ini sebenarnya seringkali sudah disampaikan dalam berbagai temuan BPKP dan BPK. Tapi rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan belum tentu dijalankan terutama oleh pemerintah daerah,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (14/6).

Bhima mengatakan jika belanja negara terus dilakukan secara tidak produktif, ditambah pengawasan yang tidak baik maka dikhawatirkan bisa menjadi celah terjadinya korupsi. Kemudian terjadi pengadaan barang sebenarnya tidak dibutuhkan negara.

Maka dari itu, pengawasan terhadap anggaran perlu ditingkatkan terutama di tahun-tahun politik. Bagi kepala daerah yang tidak menggunakan APBD dengan optimal, Bhima menilai harus ada pemotongan gaji dan tunjangan secara signifikan. Bahkan kalau perlu dana transfer umum dan dana alokasi khusus dari pemerintah pusat bisa direalokasi ke daerah lainnya yang performa anggarannya lebih baik.

Bhima mengatakan pengawasan anggaran sebenarnya sudah dilakukan secara berjenjang dengan melibatkan berbagai lembaga, mulai dari KPK, Kejaksaan Agung, Polri, BPK, dan BPKP, DPR, hingga DPRD.

“Banyak sebenarnya pengawasan tapi masih saja terjadi (anggaran tidak optimal). Jadi, khawatir ada semacam pembiaran padahal pajak makin lama makin naik, utang makin tambah, tapi kualitas anggarannya masih dipertanyakan,” katanya.

Baca Juga :  Mengulik Kisah Para Kartini Maxim

Ke depan, Bhima menyebut perlu ada koordinasi antar lembaga serta masyarakat dalam pengawasan anggaran agar dapat digunakan secara produktif.

“Kementerian Keuangan tentu perlu menyiapkan pengawasan berlapis, DPRD juga harus dilibatkan dalam pengawasan. Masyarakat yang menemukan kejanggalan dalam implementasi anggaran, kolom pengaduannya juga harus segera di-follow up,” katanya.

Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono mengatakan masalah APBD tidak efektif dalam mendorong kesejahteraan rakyat sebenarnya sudah menjadi isu sejak lama, bahkan dari awal otonomi daerah (otda) digulirkan pada 2001.

Ia menyebut permasalahannya terletak pada belanja operasional daerah yang cenderung besar karena banyaknya jumlah ASN. Ini menyebabkan belanja pegawai tinggi dan inefisiensi belanja barang seperti perjalanan dinas hingga kegiatan-kegiatan bertema ‘koordinasi’ dan ‘sosialisasi’. Dengan kondisi itu, kinerja APBD cenderung rendah dimana sebagian besar anggaran habis hanya untuk belanja gaji pegawai dan belanja barang.

“Belanja penting daerah, yaitu belanja modal dan belanja bantuan sosial, menjadi bersifat residual (ampas), hanya sekitar 20 persen dari APBD,” kata Yusuf.

Ia mengatakan kelemahan APBD berakar dari rendahnya pendapatan asli daerah atau PAD. Karenanya, APBD banyak bergantung pada dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).

Dengan besarnya ketergantungan APBD pada TKDD, maka Yusuf menilai pemerintah pusat menjadi pihak yang paling bertanggung jawab atas kinerja APBD. Namun, tentu saja DPRD juga memiliki tanggung jawab atas APBD.

Menurutnya, UU Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah perlu mengakomodasi ketentuan agar penggunaan APBD oleh pemerintah daerah menjadi lebih bertanggung jawab.

Misalnya, menetapkan batas belanja gaji pegawai maksimal 25 persen dari APBD dan belanja barang maksimal 15 persen dari APBD. Atau sebaliknya, UU tersebut mengakomodasi ketentuan batas minimal belanja untuk rakyat. Misal belanja modal minimal 25 persen dari APBD dan belanja bantuan sosial minimal 30 persen dari APBD.

Baca Juga :  BI dan OJK Sultra Masifkan Penggunaan QRIS, Sasar Lembaga Keuangan Non Bank dan BPR

“Dengan demikian, belanja modal dan belanja bantuan sosial dapat lebih tinggi dan mendominasi APBD,” kata Yusuf.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita sepakat dengan pernyataan Jokowi bahwa mayoritas anggaran daerah terpakai untuk belanja rutin dan operasional, yang diperkirakan mencapai 60 persen. Sedangkan sisanya pun untuk belanja pembangunan yang kurang krusial dalam mengungkit pertumbuhan ekonomi daerah.

“Bahkan dalam bahasa yang agak tendensius, anggaran pembangunan daerah jadi ajang bagi-bagi proyek bagi pengusaha-pengusaha ‘politik’ yang menempel pada penguasa daerah sejak penguasa tersebut mulai mengikuti pilkada,” ucapnya.

Bahkan tak sedikit pula anggaran tersebut dijadikan instrumen pork barrel politics oleh penguasa daerah, yaitu digunakan untuk proyek-proyek atau belanja sosial kesejahteraan yang bertujuan untuk mendulang suara di pemilihan selanjutnya.

Hasilnya, kata Ronny, tentu sangat kurang produktif karena program yang dijalankan bukan berorientasi untuk menggenjot pertumbuhan daerah, raupan suara.

Di sisi lain, anggaran daerah diletakkan di bank desa atau biasanya disebut Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang mayoritas menginvestasikan lagi dananya di Bank Indonesia dalam bentuk bentuk pembelian surat utang negara atau surat berharga negara lainnya, untuk mendapatkan yield.

Alhasil, kondisi-kondisi tersebut membuat anggaran daerah menjadi sangat kurang produktif.

“Dan pada ujungnya, siapa pun penguasanya di daerah, kerjanya hanya as usual menjalankan rutinitas pemerintahan. Bahkan penguasanya rata-rata tak peduli dengan belanja produktif atau tidak,” kata Ronny. Adm

Sumber : CNNIndonesia.com

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x