LAJUR.CO, KENDARI – Merayakan Iduladha di negeri orang tentu membawa cerita yang tak biasa. Sama seperti Alief Rasyidi Baking, mahasiswa asal Sulawesi Tenggara (Sultra) yang membagikan kisah serunya saat merayakan lebaran di Negeri Tirai Bambu, China.
Mahasiswa asal Bombana, yang tengah menyelesaikan studinya di Central South University, Changsha, ini sudah tiga kali merayakan Iduladha dengan nuansa yang berbeda. Saat berada di Kota Changsa, Alief mengalami banyak hal berkaitan dengan proses beribadah.
Kata Alief, meskipun umat Muslim di China tergolong minoritas, yang persentasenya hanya sekitar 3 persen dari total penduduk. Di sana, mereka tetap bisa beribadah meski dengan beberapa penyesuaian.
Salah satu pengalaman paling unik yang dirasakan Alief adalah ketika pelaksanaan salat Iduladha diawali dengan satu prosesi khusus. Pemerintah setempat, tambahnya, melakukan kontrol terhadap kegiatan keagamaan disamping tetap memberi dukungan.
Hal itu terlihat dari adanya pelaksanaan upacara bendera sesaat sebelum salat Iduladha dimulai. Pihak pemerintah kota setempat juga memberikan sambutan dan selamat berlebaran kepada para jamaah di pelataran Masjid Changsha, Jumat (6/6/2025).
“Uniknya, disini sebelum salat Id, kita melakukan upacara bendera. Kita bebas beragama tapi kayak ada kontrol dari pemerintah, tapi ndak ada juga intimidasi. Mereka bahkan memberi sambutan dan ucapan selamat Iduladha,” tutur Alief, Sabtu (7/6).
Tak hanya itu, ada juga perbedaan dalam teknis salat. Di China, takbir pada rakaat pertama dilakukan hanya tiga kali sebelum takbiratul ihram. Lalu pada rakaat kedua, takbir dilakukan setelah pembacaan surah pendek sebelum rukuk.
“Kemarin proses ibadahnya agak sedikit berbeda dengan kita di Indonesia. Kalau disini rakaat pertama takbirnya 3 kali. Rakaat kedua takbirnya setelah pembacaan surah pendek,” urainya.
Hal tersebut, katanya sangat jelas berbeda dengan urutan salat Id di tanah air. Mahasiswa jurusan Teknik Metalurgi itu juga menyebut, tata cara salat Id di China mirip dengan tradisi umat Muslim di Pakistan.
Meski pelaksanaan ibadah berjalan lancar, Alief menyadari bahwa kehidupan beragama di China lebih bersifat privat. Disana, ia tidak menemukan simbol-simbol keagamaan atau dakwah berseliweran di ruang publik.
Bukan hanya untuk umat Muslim, perlakuan serupa juga diberikan kepada penganut agama lain seperti Budha, dan Kristen. Jika ada yang tengah melakukan perkumpulan untuk aksi keagamaan, akan mendapat teguran dari pemerintah setempat.
Seperti Alief, misalnya ketika hendak menunaikan ibadah salat lima waktu, ia harus pulang ke asrama sebab tidak ada fasilitas musala di kampusnya.
“Kalau bicara keagamaan itu ranah privasi saja. Tidak dilarang. Orang bisa beragama tetapi kembali ke privasinya. Paling kita kalau mau salat, kita kembali ke kamar. Kebetulan asrama dan kampus cukup dekat,” jelasnya.
Perayaan iduladha pun tetap terasa semarak karena melibatkan banyak Muslim dari berbagai negara, termasuk dari kalangan profesional yang sedang mengikuti pelatihan di Changsha.
Hal itu juga tidak terlepas dari peran komunitas lokal Muslim, yang didominasi oleh etnis Hui dan Uighur, dalam mengelola kegiatan keagamaan di masjid.
Tiga tahun menempuh studi, termasuk satu tahun magang di Morowali, Alief mengaku bersyukur bisa tetap menjalankan ibadah meski jauh dari tanah air. Saat ini, ia tinggal menunggu momen wisuda yang akan digelar pada 25 Juni mendatang.
“Sejauh ini semua difasilitasi,” ungkapnya.
Tiga kali merayakan Iduladha di China menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi Alief. Khususnya soal menjalani kehidupan beragama dalam suasana yang berbeda, namun tetap penuh makna. Red