LAJUR.CO, KENDARI – Kasus kekerasan dalam kegiatan pengkaderan mahasiswa kembali menelan korban jiwa. Kali ini, peristiwa memilukan itu menimpa seorang mahasiswa asal Sulawesi Tenggara (Sultra), Muhammad Jeksen (19).
Jeksen dikabarkan meninggal dunia usai mengikuti Pendidikan Dasar (Diksar) organisasi pecinta alam Mapala Butaiyo Nusa , Fakultas Ilmu Sosial (FIS)Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Diksar digelar di Desa Tapadaa, Kecamatan Suwawa Tengah, Bone Bolango yang berlangsung pada 18-21 September lalu.
Kata kerabat korban, Hasran Ramlin bahwa Jeksen, mahasiswa asal Kabupaten Muna, Sultra, diketahui memiliki riwayat penyakit bawaan. Selama proses kegiatan, panitia pelaksana diduga tidak memberikan perlakuan khusus ataupun pendampingan medis yang memadai.
“Saat dilarikan ke rumah sakit, Jeksen tidak didampingi panitia pelaksana. Dia juga memiliki penyakit bawaan tapi tidak mendapat perlakuan khusus dari panitia pelaksana,” ujar Hasran Ramlin, Selasa (23/9/2025).
Tragisnya, saat kondisi kesehatannya memburuk, Jeksen sempat menelepon temannya bernama Amar, dalam keadaan sesak napas. Suaranya tidak terdengar, dan hanya mampu mengirim pesan teks meminta pertolongan.
Amar saat itu, lanjut Hasran Ramlin, segera menjemputnya menggunakan sepeda motor dan langsung membawanya ke rumah sakit terdekat.
Nahasnya, sesampainya di rumah sakit, nyawa Jeksen tak tertolong. Kata Hasran, korban tiba dalam kondisi lemah dengan sesak napas parah. Beberapa bagian tubuhnya, seperti wajah dan leher, tampak membengkak.
Hasran Ramlin dan rekan-rekan Jeksen menduga pembengkakan tersebut merupakan hasil kekerasan fisik yang dialami korban selama mengikuti kegiatan diksar.
Mirisnya, saat Jeksen dilarikan ke rumah sakit, tidak ada satu pun panitia kegiatan yang mendampinginya. Dugaan kelalaian dan tindakan kekerasan itu kini menjadi sorotan, terutama karena korban memiliki kondisi kesehatan yang seharusnya mendapat perhatian khusus.
Pihak keluarga dan rekan-rekan korban mendesak agar kasus ini diusut tuntas. Hasran berharap tidak ada lagi korban jiwa dalam kegiatan serupa yang seharusnya menjadi ruang pembelajaran, bukan ajang kekerasan. Red