Oleh :
Rifqi Aunur Rahman
(Mahasiswa S1 Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum UHO)
Hari ini, 10 desember 2025 seluruh warga dunia memperingati hari HAM. Tanggal ini dipilih diadopsi dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM ini) oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1948. Tujuan peringatan ini untuk meningkatkan kesadaran global tentang pentingnya perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia bagi setiap individu.
Dalam konteks Sulawesi Tenggara, “kasus Randi – Yusuf Kardawi” adalah contoh penyelesaian pelanggaran HAM yang belum ditunaikan. Kasus tertembaknya Immawan Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi terjadi usai keduanya mengikuti demonstrasi menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dan pelemahan KPK pada 26 September 2019, di depan gedung DPRD, Sulawesi Tenggara.
Memang persidangan terhadap pelaku tertembaknya Immawan Randi sudah dilakukan. Brigadir Abdul Malik divonis 4 tahun penjara karena terbukti menembak Randi. Sebelumnya, enam polisi yaitu : AKP Diki Kurniawan, Bripka Muhammad Arifuddin, Bripka Muhammad Iqbal, Brigadir Abdul Malik, Briptu Hendrawan, serta Bripda Fatur Rochim Saputro mendapatkan sanksi disiplin. Mereka mendapat teguran lisan, penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun, serta ditempatkan di tempat khusus selama 21 hari.
Tidak terungkapnya siapa yang menembak Muhammad Yusuf Kardawi -salah satu sebabnya- karena keluarganya menolak dilakukan autopsi. Padahal proses penyelidikan dan penyidikan mensyaratkan hasil autopsi untuk mengungkap penyebab Kematian Muhammad Yusuf Kardawi.
Pembuktian secara ilmiah mengharuskan dilakukan otopsi untuk mengetahui faktor penyebab utama meninggalnya Muhammad Yusuf Kardawi.
Hasil investigasi Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengungkapkan Muhammad Yusuf Kardawi tewas tertembak. Kesimpulan Kontras didapatkan setelah menyimak rekaman video, berkomunikasi dengan Ombudsman Perwakilan Sulawesi Tenggara, dan meminta keterangan dari tim kuasa hukum yang menangani perkara tewasnya Yusuf dan Randi. Kontras juga mengecek berbagai fakta di lapangan dengan sejumlah media yang ketika itu meliput demonstrasi.
Urgensi TPF
Setelah kasus “Randi-Yusuf Kardawi” belum terungkap sepenuhnya secara terbuka, seharusnya Komnas HAM segera membentuk Tim Pencari Fakta (TPF). TPF ini nantinya bertujuan mengungkap secara terbuka penyebab Kematian Randi dan -terutama terhadap Yusuf Kardawi- yang sampai saat ini belum terungkap. Kasus ini sudah berlangsung enam tahun lebih, terhitung sejak ini 26 September 2019. Selama itu pula aparat penegak hukum belum mampu mengungkap siapa yang bertanggung jawab atas terbunuhnya Muhammad Yusuf Kardawi.
Terbentuknya lembaga ad hoc (sementara) semacam TPF bukanlah hal yang baru dalam sejarah pengungkapan pelanggaran HAM. Saat awal reformasi, sebelum ada Komnas HAM, pernah dibentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste. Sebuah komisi bilateral yang dibentuk pemerintah kedua negara untuk mencari kebenaran konklusif tentang pelanggaran HAM dan mendorong rekonsiliasi. Komisi itu dibentuk pasca jajak pendapat 1999 di Timor Leste.
Kini, setelah republik ini memiliki Komnas HAM harusnya pengungkapan dan penyelesaian pelanggaran HAM lebih mudah dilakukan karena ada lembaga yang bertanggung jawab menyelidiki pelanggaran HAM berat. Ada Komisi III DPR RI yang mengawasi penegakan HAM, mendengarkan aduan, dan mendesak pengusutan tuntas kasus HAM. Juga ada lembaga nonstruktural, semacam Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang bertugas dan berwenang memberikan perlindungan dan bantuan kepada saksi, korban, dan saksi pelaku (justice Collaborator).
Karenanya, sesegera mungkin komisioner Komnas HAM harus segera membentuk TPF. Ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, mempercepat pengungkapan terbunuhnya Yusuf Kardawi. Seperti disampaikan Kapolda Sulawesi Tenggara Irjen Pol Didik Agung Widjanarko saat menemui pendemo di kantor DPRD Sultra bahwa pihak kepolisian telah berupaya maksimal dengan melakukan lima kali olah tempat kejadian perkara (TKP) dan memeriksa 19 saksi. Tetapi belum ada saksi kunci yang melihat langsung pelaku penembakan Yusuf Kardawi dan proyektil peluru yang menewaskan korban tidak ditemukan di lokasi kejadian (26/9/2025).
Dengan segera terbentuknya TPF, bisa diurai kembali rentetan kejadian terbunuhnya Yusuf Kardawi. Rekaman video kejadian demonstrasi saat kejadian bisa dipelajari ulang, pihak Ombudsman Perwakilan Sulawesi Tenggara bisa diminta keterangannya lagi, bisa meminta keterangan dari tim kuasa hukum yang menangani perkara tewasnya Yusuf dan Randi, serta jurnalis yang meliput demonstrasi tersebut. Rekaman cctv di seputar tempat kejadian bisa diinventarisasi dan dianalisa kembali.
Anggota TPF bisa berasal dari internal komisioner Komnas HAM dan pihak lain yang teruji integritas dan komitmen terhadap penegakan HAM. Jika hasil investigasi TPF sudah lengkap, lalu diserahkan ke Komisi III DPR RI untuk direkomendasikan ke Kepolisian RI supaya dilakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyebab terbunuhnya Yusuf Kardawi.
Kedua, menghindari masa kadaluarsa pengungkapan kasus terbunuhnya Yusuf Kardawi. Sesuai UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, tidak berlaku masa kadaluwarsa. Kasusnya bisa diproses kapan saja. Prinsip ini memastikan pelanggar HAM berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan tetap bisa diadili tanpa terhalang waktu.
Tapi potensi kadaluwarsa kemungkinan bisa terjadi, apabila dalam proses penyelidikan dan penyidikan tidak ditemukan pelanggaran HAM berat, dalam pengertian masuk kategori pidana biasa. Apalagi jika merujuk pada putusan terhadap Brigadir Abdul Malik yang dijatuhi pidana penjara 4 tahun. Brigadir AM terbukti melanggar Pasal 359 dan 360 ayat 2 juncto Pasal 65 ayat 1 KUHP. Brigadir AM terbukti, karena kelalaiannya menyebabkan orang lain meninggal dunia dan terluka.
Jika itu yang terjadi -tidak ditemukan pelanggaran HAM berat, sebagaimana yang terjadi pada kasus Immawan Randi-, maka 18 tahun kemudian, terhitung sejak kejadian tahun 2019, pada tahun 2037 nanti, kasus terbunuhnya Yusuf Kardawi tidak bisa diproses karena kadaluwarsa.
Momentum hari ini, 10 desember 2025 adalah saat yang tepat untuk mengingatkan semua pihak, terutama Komnas HAM, Komisi III DPR RI, dan kepolisian untuk segera menuntaskan terungkapnya kematian Yusuf Kardawi. Ini demi terwujudnya keadilan yang bermartabat bagi keluarga Yusuf Kardawi dan rakyat Indonesia. Perlu ada kesungguhan untuk menuntaskan kasus-kasus yang diduga bermuatan pelanggaran HAM. Karena, pelanggaran HAM yang tidak diadili berpotensi menyebabkan hilangnya kepercayaan pada sistem hukum dan struktur dalam masyarakat.



