LAJUR.CO, KENDARI – Harga minyak Nilam di Sulawesi Tenggara (Sultra) anjlok tajam dalam beberapa bulan terakhir. Dari harga tertinggi Rp1,1 juta per kilogram pada awal Juni 2025, kini turun hingga Rp600 ribu.
Kondisi demikian membuat para petani menjerit. Mereka berharap pemerintah dapat segera turun tangan mengintervensi harga komoditas yang kini makin populer.
Salah satu petani sekaligus supplier minyak Nilam di Sultra, Julhan Sifadi, mengungkap adanya dugaan kuat permainan harga oleh oknum spekulan yang memanfaatkan ketidakpastian harga pasar.
Kepada awak media lajur.co, Sabtu (9/8/2025), Julhan blak-blakan mengungkap dugaan praktik manipulatif oleh salah satu perusahaan pembeli Nilam, yakni PT Van Aroma.
PT Van Aroma merupakan sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang minyak Atsiri. Salah satu cabang perusahaan ini berkantor di Kabupaten Kolaka sejak tahun 2017 silam.
“Van Aroma sering mengubah harga beli secara sepihak, bahkan setelah kesepakatan awal sudah dibuat. Ini sangat merugikan petani dan supplier,” ujar Julhan Sifadi.
Menurut Julhan, modus permainan harga dilakukan dengan alasan klasik, yakni kualitas atau kadar minyak disebut ‘terkontaminasi’. Namun, tudingan tersebut tidak disertai bukti hasil laboratorium dari pihak perusahaan.
Padahal, para supplier sudah melampirkan hasil uji lab independen. Seperti dilakukan Julhan saat menyuplai minyak Nilam ke PT Van Aroma, dirinya menyertakan dokumen hasil lab dari Universitas Halu Oleo yang menunjukkan bahwa produknya memenuhi standar.
“Kita minta bukti lab, mereka tidak bisa tunjukkan. Harga bisa berubah hanya dalam hitungan jam. Misalnya, semula disepakati Rp750 ribu, pas barang sampai, mereka bilang turun jadi Rp650 ribu,” kesalnya.
Lebih lanjut, ia menduga skema ini sengaja dimainkan untuk menekan harga di tingkat petani. Perusahaan yang memanipulasi harga juga memaksa supplier besar menampung stok dari petani kecil dengan harga jauh di bawah pasar.
Akibat permainan spekulan ini, rantai distribusi minyak Nilam semakin panjang. Hal ini juga berdampak pada keuntungan diperoleh para petani nyaris tidak ada. Justru keuntungan lebih banyak dinikmati oleh para spekulan.
Melihat situasi tersebut, Julhan berinisiatif menjalin kerja sama langsung dengan pembeli dari luar negeri, seperti Eropa dan Singapura. Di pasar luar negeri, sambungnya bisa menawarkan harga yang lebih stabil dan transparan.
Upayanya terus bergulir. Ia bahkan telah mengirim sampel produk ke Singapura untuk membuka jalur ekspor langsung dari Sultra.
“Jika ekspor langsung ini berhasil, kita akan potong rantai distribusi dan memberikan harga pasti kepada petani,” tegasnya.
Bersama para pelaku usaha Nilam lainnya, Julhan juga sedang membentuk Asosiasi Petani dan Pedagang Nilam (APPN) sebagai wadah advokasi. Tujuan utamanya adalah mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk mulai mengintervensi harga Nilam.
Salah satu bentuk intervensi pemerintah yakni dengan menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) dan harga dasar di tingkat petani. Dengan begitu, para petani Nilam bisa mendapatkan kepastian harga serta keuntungan dapat berpihak pada mereka.
“Nilam ini belum diintervensi pemerintah, makanya spekulan leluasa bermain. Kami butuh perlindungan dan kepastian. Karena potensi Nilam di Sultra sangat besar, terutama di Buton Utara, Kolaka Timur, dan Konawe Selatan,” pungkasnya.
Ia juga menekankan pentingnya edukasi kepada petani mengenai cara menghasilkan minyak Nilam berkualitas ekspor. Sehingga kualitas Nilam dari Bumi Anoa bisa bersaing di pasar internasional tanpa harus bergantung pada tengkulak dan spekulan lokal.
Harga Nilam di pasaran diketahui memang kerap mengalami fluktuasi. Pada pertengahan tahun 2024 lalu, harga minyak Nilam per kilogram bisa tembus hingga Rp2 juta. Ketika para petani berbondong-bondong menanam Nilam, harga jualnya justru merosot tajam. Red