BERITA TERKINIDAERAHHEADLINE

Mengintip Ritual Unik Tradisi Tangkap Gurita Masyarakat Limbo Kiwolu Wakatobi

×

Mengintip Ritual Unik Tradisi Tangkap Gurita Masyarakat Limbo Kiwolu Wakatobi

Sebarkan artikel ini
Tradisi tangkap gurita di Wakatobi oleh masyarakat Limbo Kiwolu.

LAJUR.CO, WAKATOBI – Masyarakat Limbo Kiwolu Desa Darawa Kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara adalah sebagian dari kalangan yang masih melaksanakan tradisi penutupan sementara wilayah tangkapan (temporary fishery closure) hewan laut jenis gurita. Ritualnya tak boleh dilakukan sembarangan.

Sebab, mahluk bertentakel itu sejak dulu diketahui merupakan sumber penghidupan utama masyarakat setempat. Teknik tangkap gurita berbasis kearifan lokal sekaligus menjadi warisan budaya nelayan setempat yang terus dijaga kelestariannya.

Selasa (1/2/2022), masyarakat  Limbo Kiwolu kembali menggelar upacara yang menandai ditutupnya wilayah tangkapan (namo nu sara) di Uju Nu Umbu. Daerah pesisir ini merupakan bagian dari wilayah Barata Kaledupa. Uju Nu Umbu adalah ritual yang akan menutup segala aktivitas penangkapan gurita dan budidaya perikanan lainnya di sana.

Temporary fishery closure yang dalam bahasa Kaledupa lebih dikenal dengan istilah Banto’a namo Nu Sara merupakan langkah pengelolaan perikanan gurita yang dilakukan oleh masyarakat Limbo Kiwolu sebagai upaya untuk menjaga salah satu sumber penghidupan utama mereka yaitu gurita.

Penangkapan gurita bagi masyarakat Limbo Kiwolu menjadi sumber penghidupan, bukan hanya untuk nelayan laki-laki, tetapi juga bagi nelayan perempuan.

Keterampilan untuk menangkap gurita telah mereka warisi secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Namun terjadi perubahan besar pada kondisi perikanan gurita mereka dari tahun ke tahun yang semakin menurun baik dari jumlah tangkapan maupun ukuran gurita itu sendiri.

Berangkat dari kondisi tersebut di atas, masyarakat Limbo Kiwolu Desa Darawa bekerjasama dengan Forkani mulai tahun 2016 melakukan monitoring hasil tangkapan gurita secara partisipatif, di mana nelayan melakukan pendataan gurita hasil tangkapan mereka setiap harinya.

Baca Juga :  Jokowi Didampingi Istri di Wakatobi, Wabup Ilmiati: Bagi-Bagi Sertifikat Hingga Pelepasan Tukik

Data ini kemudian menjadi dasar bagi mereka untuk melakukan diskusi secara berkala setiap tiga bulan tentang kondisi perikanan gurita mereka. Mulai dari memahami kondisi perikanan gurita hingga menentukan pilihan pengelolaan yang dapat dilaksanakan secara mandiri hingga menetapkan aturan pengelolaan disepakati oleh masyarakat. Kegiatan ini didukung oleh Yayasan Pesisir Lestari dalam kemitraan dengan Blue Ventures.

Mursiati, salah satu anggota Forkani menjelaskan bahwa temporary fishery closure gurita (Banto’a Namo Nu Sara) di Desa Darawa merupakan salah satu kearifan lokal Masyarakat Hukum Adat (MHA) Barata Kahedupa dalam pengelolaan sumber daya perikanan dengan menutup suatu kawasan dari aktivitas tangkapan dan akan dibuka kembali untuk kepentingan umum. Nilai-nilai inilah kemudian yang menjadi salah satu landasan penting dalam temporary fishery closure gurita di Desa Darawa.

“Masyarakat menutup kawasan penangkapan gurita bukan hanya untuk meningkatkan jumlah atau hasil tangkapan tetapi mempertahankan sumber daya yang menjadi tumpuan hidup mereka. Melalui langkah ini mereka berharap kondisi ekosistem yang dimiliki terutama perikanan gurita akan tetap memberikan sumber penghidupan hingga anak cucu mereka di masa depan,” jelas Mursiati.

Selain itu, melalui pengawasan terhadap wilayah penutupan, mereka juga dapat mengawasi wilayah kelola mereka dari berbagai aktivitas penangkapan yang tidak ramah lingkungan mengingat wilayah mereka dapat diakses secara terbuka oleh nelayan dari luar desa. Pengawasan yang dilaksanakan masyarakat tidak hanya berdampak pada wilayah penutupan sementara, tetapi juga pada budidaya rumput laut yang juga menjadi sumber penghidupan masyarakat di desa itu.

Baca Juga :  Lepas Masker di Tempat Terbuka, Penghapusan Syarat PCR, dan Langkah Menuju Endemi Covid-19

Seperti yang dikatakan oleh Surhadin M dan Samiudin (masyarakat Desa Darawa) bahwa temporary fishery closure tidak hanya membuat hasil tangkapan mereka bertambah, baik secara jumlah maupun ukuran tetapi juga mereka bisa melindungi wilayah laut mereka dari penangkap yang tidak ramah lingkungan dan berpengaruh pada kualitas budidaya rumput laut.

“Semenjak ada penutupan ini, gurita bertambah termasuk ukurannya. Selain itu karena kami melakukan pengawasan jadi tidak ada penangkap dari luar masyarakat Darawa yang biasa membom ikan atau meracuni laut kami, sehingga rumput laut juga tidak terganggu dan tumbuh subur,” ucap keduanya setelah melakukan perayaan pembukaan temporary fishery closure.

Banto’a namo nu Sara (temporary fishery closure) di Desa Darawa pertama kali dilaksanakan di Darawa pada tahun 2018 dimana masyarakat menetapkan untuk menutup wilayah penangkapan gurita di Fulua Nto’oge antara bulan Juli Hingga September sesuai dengan data hasil monitoring/pendataan tangkapan gurita yang menunjukan bahwa dalam rentang waktu tersebut hasil tangkapan mereka didominasi gurita berukuran kecil.

Sejak tahun 2018 sampai dengan Februari tahun 2022, masyarakat Limbo Kiwolu di Desa Darawa telah empat kali melakukan Banto’a namo nu Sara (temporary fishery closure) dengan lokasi yang berpindah-pindah di antaranya Fuluan Tooge, Kappiso, Tonua Tolo dan Uju Nu Umbu.

Baca Juga :  DLH Sultra Tingkatkan Kapasitas Tim Inspeksi Proper 2022

Penentuan lokasi dan waktu selain didasarkan pada tren data tangkapan gurita, lewat pengalaman dan pembelajaran pada 2018 yang terbukti bukan hanya gurita yang berkembang tetapi juga rumput laut. Masyarakat kemudian memutuskan lokasi penutupan tangkapan gurita selalu disesuaikan dengan musim dan lokasi budidaya rumput laut. Hal ini sekaligus memaksimalkan pengawasan bersama oleh masyarakat yang setiap saat ke lokasi budidaya rumput laut sekaligus melakukan monitoring wilayah temporary fishery closure.

Tujuan penutupan sementara perikanan gurita selama beberapa waktu (biasanya sekitar 3 bulan) adalah sebagai pembelajaran bagi masyarakat tentang pengelolaan perikanan berbasis masyarakat serta untuk memberikan waktu dan tempat bagi gurita untuk tumbuh lebih besar dan untuk bertelur/berkembang biak karena gurita dalam hal ini spesies Octopus Cyanea, mempunyai masa hidup yang singkat sekitar 12 bulan (Herwig et al. 2012). Gurita dewasa betina mampu bertelur 150.000 – 170.000 telur dan merawatnya sampai menetas.

Octopus cyanea diyakini bertelur sepanjang tahun dengan periode pemijahan puncak selama bulan Juni dan Desember di Tanzania (Guard dan Mgaya, 2015).

Dengan siklus hidup gurita Octopus Cyanea yang singkat, penutupan sementara merupakan pengelolaan perikanan yang sesuai untuk diimplementasikan, sehingga harapannya ketika pembukaan penutupan sementara, gurita sudah tumbuh dengan besar dan mempunyai nilai lebih. Adm

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x