LAJUR.CO, JAKARTA – Akibat konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina membuat harga minyak dunia melambung tinggi.
Konflik tersebut berdampak pada kenaiakn harga sejumlah harga komoditas, termasuk harga komoditas di sektor energi.
Dilansir dari Kontan, Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan sinyal kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) RON 92 Pertamax.
“Pertamax bisa saja terkena imbas kenaikan harga minyak dunia karena termasuk BBM non subsidi dan dia konsumsi masyarakat golongan atas,” ungkap Sri Mulyani, dalam diskusi virtual, Selasa (22/03/2022).
Selain itu, Sri Mulyani mengatakan bahwa BBM lain, yakni Pertalite tidak akan ada kenaikan harga.
“Pertalite tidak berubah, ini menyebabkan nanti kita akan bayar kompensasi ke Pertamina karena mereka nggak naik,” terang Sri Mulyani.
Harga Pertamax jika mengikuti harga minyak dunia
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Eddy Junarsin mengatakan jika harga BBM non subsidi RON 92 mengikuti harga pasar minyak dunia, maka akan berada dikisaran Rp 15.945 per liter.
“Kalo kita mengikuti harga pasar sekarang, harusnya Pertamax yang (RON) 92 itu Rp 15.945,” katanya, saat dikonfirmasi Kompas.com, (26/3/2022).
Apabila pemerintah menaikkan harga Pertamax mengikuti harga minyak dunia, maka akan timbul kegaduhan di masyarakat.
Namun, untuk menghindari kegaduhan akibat kenaikan yang tinggi, pemerintah dapat memberikan sedikit subsidi untuk Pertamax, agar membuat suasana menjadi lebih tenang.
Dengan adanya subsidi, kenaikan Pertamax akan dapat ditekan di kisaran harga Rp 13.000 sampai Rp 14.000 per liter.
“Sehingga harganya jadi Rp 13.000 atau Rp 14.000, sehingga naiknya nggak terlalu ekstrem gitu,” ujar Eddy.
Memberatkan APBN
Eddy menyebut jika pada akhirnya pemerintah melakukan subsidi pada Pertamax agar harganya tidak naik secara signifikan, maka akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Nah tapi konseskuensinya adalah ini (subsidi Pertamax) nanti membebani APBN,” ungkapnya.
Pemerintah harus memilih melakukan subsidi ketika harga Pertamax naik atau membiarkan harga Pertamax mengikuti harga pasar minyak dunia.
Jika subsidi ini dilakukan, maka akan menimbulkan efek jangka pendek dan jangka panjang.
Efek jangka pendeknya adalah respon masyarakat akan lebih baik, akan tetapi jangka panjangnya membuat APBN menjadi bengkak.
“Mungkin di jangka pendek agak menenangkan suasana tapi di jangka panjang tidak bagus buat anggaran pemerintah secara umum,” jelas Eddy.
Migrasi konsumen Pertamax ke Pertalite
Namun, jika pemerintah menaikkan harga Pertamax tanpa menggunakan subsidi, maka diperkirakan akan terjadi migrasi konsumen Pertamax yang beralih ke Pertalite.
“Kalau mengikuti harga pasar kan mendekati Rp 16.000, katakan lah itu naik maka pengguna Pertamax kemungkinan akan memburu pertalite,” kata Eddy.
Beralihnya konsumen Pertamax ke Pertalite akan memengaruhi jumlah konsumsi Pertalite di masyarakat.
Dengan naiknya konsumsi Pertalite di masyarakat, dikhawatirkan terjadi kelangkaan, seperti kasus yang terjadi pada solar subsidi dan non-subsidi.
“Maka akan terjadi kelangkaan lagi persis yang di solar itu,” ungkap Eddy.
Masyarakat akan memilih migrasi karena perkiraan selisih harga yang berbeda jauh antara Pertamax dan Pertalite.
“Pengguna pertamax sekarang misalnya yang di mobil pribadi, motor pribadi akan rela pindah ke Pertalite karena jauh lebih murah,” katanya.
Dampak kenaikan Pertamax
Kenaikan harga Pertamax juga akan membuat tarif transportasi dan harga barang mengalami kenaikan.
Dampak tersebut terjadi karena efek berantai dari migrasi konsumen Pertamax beralih ke Pertalite.
Dengan adanya kenaikan jumlah konsumsi, maka Pertalite dikhawatirkan akan mengalami kelangkaan.
Jika Pertalite langka, maka tarif transportasi akan naik, kemudian harga barang juga akan mengikuti naik.
“Harga barangnya naik karena biaya produksinya kan naik, biaya transportasi naik harga barang naik berarti inflasi kan naik nanti di indonesia,” terang Eddy.
Perkiraan akan naik harga
Eddy memperkirakan, kemungkinan pemerintah akan terpaksa menaikkan harga Pertamax dalam waktu dua minggu ke depan.
Namun, jika sebelum waktu dua minggu perang yang terjadi antara Rusia dan Ukraina selesai, maka mungkin akan membuat harga minyak dunia kembali turun.
Akan tetapi, jika perang terus menerus terjadi, hal ini akan menyebabkan kelangkaan pada pasokan minyak dunia.
Ini disebabkan karena Rusia merupakan salah satu penghasil minyak terbesar di dunia dengan output 10 persen dari total produksi di dunia.
Negara lain sudah menyesuaikan harga minyak internasional, tetapi Indonesia masih menimbang dampak kenaikan terlebih dahulu sebelum ikut menyesuaikan harga.
“Kita lihat dua minggu, perang masih begitu saja, saya kira pemerintah mau tidak mau harus memang melepaskan mendekati harga pasar,” ujar Eddy. Adm
Sumber : Kompas.com