OPINI

Menguji Narasi Empat Pilar di Sultra: Antara Kebudayaan dan Kepentingan Elit

×

Menguji Narasi Empat Pilar di Sultra: Antara Kebudayaan dan Kepentingan Elit

Sebarkan artikel ini

Penulis :
Akril Abdilah
(Pengurus DPP KNPI)

Narasi mengenai “Empat Pilar Sultra” yang ada di Sulawesi Tenggara sering dianggap sebagai identitas budaya yang kuat. Dalam diskusi ini, empat suku besar Buton, Muna, Tolaki, dan Moronene dianggap sebagai pilar masyarakat Sulawesi Tenggara. Namun, akhir-akhir ini, narasi tersebut mulai diragukan lagi. Banyak orang berpendapat bahwa cerita “Empat Pilar Sultra” tidak lagi sekadar representasi budaya; sebaliknya, itu menjadi alat bagi individu-individu tertentu untuk mempertahankan kekuasaan dan mengeksploitasi budaya untuk kepentingan politik.

Seiring berjalannya waktu, narasi yang menyebut bahwa “tidak ada suku lain yang layak memimpin di Sultra selain empat suku utama” terasa semakin usang atau ketinggalan zaman. Banyak tokoh dari berbagai latar belakang di Sulawesi Tenggara yang memiliki kemampuan dan kredibilitas untuk mengambil alih pemerintahan di wilayah tersebut. Keyakinan bahwa kepemimpinan harus berasal dari salah satu suku tertentu tidak hanya mengabaikan keragaman yang ada, tetapi juga menghalangi peluang bagi orang-orang yang bisa membantu masyarakat. Kepemimpinan daerah juga gagal melakukan inovasi dan pembaruan karena pemikiran yang terbatas.

Sebelum pemilihan, Narasi “Empat Pilar Sultra” sering muncul, dipromosikan sebagai cara untuk mendapatkan dukungan dengan memanfaatkan sentimen etnis. Ini menunjukkan bahwa narasi ini lebih cenderung pragmatis dan temporal daripada berusaha melestarikan budaya atau memperkuat solidaritas masyarakat Sultra. Pola ini menunjukkan bagaimana kebudayaan digunakan untuk kepentingan kekuasaan dan elit tertentu.

Narasi “Empat Pilar Sultra” berpotensi menjadi alat eksklusif yang membatasi keterwakilan dan peluang bagi seluruh masyarakat Sulawesi Tenggara yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Narasi semacam ini perlu dikritisi agar tidak disalahgunakan oleh kepentingan elit tertentu. Identitas budaya seharusnya menjadi perekat yang menyatukan, bukan alat yang memecah-belah atau mengekang kesempatan berpartisipasi warga dalam kepemimpinan daerah.

Kebudayaan berisiko direduksi menjadi alat politik semata jika narasi “Empat Pilar Sultra” disimpan hanya untuk mempertahankan dominasi kelompok tertentu. Sejarah, adat istiadat, dan kearifan lokal adalah komponen penting dari kebudayaan. Efisiensi kebudayaan, yang seharusnya membentuk identitas bersama, justru tergeser saat nilai-nilai budaya dimasukkan ke dalam dunia politik. Budaya mulai dilihat oleh masyarakat sebagai batas yang memisahkan daripada sebagai sarana untuk menyatukan.

Untuk kepentingan elit, eksploitasi kebudayaan hanya akan memperkuat sekat-sekat sosial. Meskipun demikian, Sulawesi Tenggara memiliki potensi yang sangat besar jika setiap bagian masyarakat dapat bekerja sama satu sama lain tanpa terpengaruh oleh kesukuan. Selain itu, narasi ini dapat menyebabkan ketidakadilan bagi suku-suku lain atau pendatang yang mungkin memiliki kemampuan dan keinginan untuk memperbaiki wilayah. Masyarakat terjebak dalam siklus dukungan berbasis etnis yang tidak relevan dengan tantangan dan kebutuhan zaman. Sebaliknya, masyarakat harus berfokus pada integritas dan kemampuan calon pemimpin.

Narasi “Empat Pilar Sultra” yang muncul sebelum pemilihan menunjukkan bagaimana budaya dapat digunakan sebagai alat instan untuk memobilisasi massa. Untuk mendapatkan dukungan, politisi sering menggunakan simbol budaya dan etnis. Mereka biasanya menggunakan budaya sebagai tempat untuk menampilkan pencitraan, tetapi hanya untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek. Seringkali, ketika mereka terpilih, rasa kebudayaan mereka hilang, dan komitmen mereka untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif hanyalah janji.

Untuk mencapai persatuan, masyarakat Sulawesi Tenggara harus mempertimbangkan narasi alternatif. Kebudayaan Sulawesi Tenggara harus dibangun untuk kerja sama daripada mempertahankan struktur yang eksklusif. Budaya yang berakar kuat pada keberagaman suku harus menumbuhkan rasa persaudaraan dan gotong royong di antara orang-orang. Mereka tidak boleh digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan elit atau memberikan kesempatan eksklusif untuk kepemimpinan.

Masa depan Sulawesi Tenggara akan lebih menjanjikan jika pemimpin dipilih berdasarkan kualitas dan integritas daripada etnis atau suku. Dengan demikian, setiap orang, terlepas dari latar belakang etnisnya, dapat membantu kemajuan wilayah. Masyarakat harus mempertimbangkan secara kritis cerita yang diusung oleh para elit, apakah itu untuk kepentingan umum atau sekadar untuk mempertahankan status dan kekuasaan mereka.

Salah satu langkah penting menuju peningkatan kesadaran kolektif adalah mempertimbangkan sejarah “Empat Pilar Sultra” dalam konteks politik. Kisah ini akan terus digunakan untuk memperkuat kepentingan kelompok tertentu dan menciptakan perbedaan antar kelompok masyarakat jika tidak diperbaiki. Budaya tidak hanya eksklusif, tetapi juga mampu menerima berbagai bagian masyarakat, mendorong solidaritas, dan mendorong perubahan yang baik. Ketika kebudayaan digunakan sebagai alat politik, martabatnya hanya akan berkurang.

Selain itu, narasi seperti ini memiliki potensi untuk mengekalkan bias yang tidak sehat di masyarakat. Ketika orang percaya bahwa hanya suku tertentu yang layak menjadi pemimpin, ada risiko tersirat bahwa kemampuan seseorang dinilai hanya berdasarkan etnisnya daripada bakat atau integritasnya. Ini tidak hanya tidak adil, tetapi juga bertentangan dengan prinsip meritokrasi yang seharusnya mendasari proses pemilihan pemimpin. Ketika standar kepemimpinan didasarkan pada etnisitas, peluang akan hilang bagi pemimpin potensial dari latar belakang etnis lain yang dapat membawa perubahan signifikan dan bermanfaat bagi Sulawesi Tenggara.

Masyarakat Sulawesi Tenggara memiliki hak untuk mengevaluasi dan mempertanyakan narasi-narasi seperti “Empat Pilar Sultra,” terutama ketika narasi ini disalahgunakan oleh elit politik. Kebudayaan adalah milik bersama yang seharusnya memperkuat solidaritas masyarakat, bukan digunakan sebagai dalih untuk membatasi kesempatan atau melanggengkan kepentingan kelompok tertentu. Di sinilah pentingnya membangun kesadaran kritis di masyarakat agar tidak mudah terjebak pada narasi yang memecah belah.

Perubahan mentalitas ini harus dimulai di seluruh masyarakat. Semua pihak, dari media hingga akademisi, termasuk generasi muda, harus berani mendorong perspektif baru yang lebih adil dan inklusif. Sulawesi Tenggara memiliki kemampuan untuk berkembang menjadi daerah yang lebih inklusif jika masyarakatnya tetap terbuka terhadap ide-ide baru yang mengutamakan keharmonisan dan kualitas pemimpin. Bayangkan potensi daerah ini jika masyarakat dapat memilih pemimpin tanpa terpengaruh oleh etnis mereka. Orang-orang ini akan dipilih karena kemampuan, integritas, dan visi mereka untuk memajukan daerah.

Pada akhirnya, mengubah narasi ini dengan yang lebih inklusif akan berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat. Untuk mengatasi tantangan bersama, akan lebih mudah bagi masyarakat yang kuat dan tidak terkotak-kotak bekerja sama. Pemimpin yang terpilih akan bertanggung jawab atas masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya kelompok tertentu. Ini dapat mengubah pemerintahan menjadi lebih adil, transparan, dan mengutamakan kepentingan umum.

Mengakhiri eksploitasi kebudayaan untuk kepentingan politik elit tidak berarti menghilangkan nilai-nilai budaya. Sebaliknya, ini adalah upaya untuk mencegah kebudayaan disalahgunakan dan tetap relevan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Seharusnya cerita “Empat Pilar Sultra” kembali ke tujuan awalnya, yaitu memperkuat hubungan dan rasa persaudaraan di Sulawesi Tenggara, daripada digunakan untuk memecah atau membatasi hak masyarakat.

Oleh karena itu, “Empat Pilar Suku” akan kembali menjadi simbol kebudayaan yang mendalam dan bukan alat untuk manipulasi politik jika pemerintah dan masyarakat dapat merekonstruksi narasi ini secara lebih bijaksana dan terbuka. menjadi kekuatan budaya yang tidak membedakan, menyatukan dan membangun Sulawesi Tenggara yang lebih maju, adil, dan sejahtera bagi semua orang.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x