LAJUR.CO, KENDARI – Sejak tahun 1994, tanggal 25 November ditetapkan Presiden Soeharto sebagai peringatan Hari Guru Nasional. Peringatan ini sebagai bentuk apresiasi peran guru di Indonesia atas dedikasi mereka perihal memberikan layanan pendidikan. Adapun tema yang diangkat untuk merayakan Hari Guru Nasional ke 30 tahun ini yakni “Guru Hebat, Indonesia Kuat”.
Bagi Edi Arham, Hari Guru Nasional adalah sebagai momentum untuk menjadi guru yang lebih baik dari sebelumnya baik dari segi peningkatan kompetensi guru maupun peningkatan hasil belajar siswa. Edi Arham merupakan salah seorang guru yang telah mengabdi belasan tahun di SD Negeri Lalowata, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Pengabdian Edi Arham sebagai pendidik di daerah terpencil dimulai pada tahun 2008 hingga saat ini. Sekolah tempatnya mengajar berada di Desa Lalowata, Kecamatan Latoma, Konawe. Kondisi geografis desa ini masih terisolir dan belum memiliki infrastruktur jalan dan jembatan yang memadai. Sejumlah tantangan dan kendala pun telah dialami Edi Arham selama 16 tahun mengajar di sekolah tersebut.
” Awal mula bertugas, masyarakat masih menggunakan sungai sebagai jalur transportasi,” ucapnya, Sabtu (23/11/2024).
Bicara soal tantangan terberat, Edi kerap kali harus meninggalkan istri dan anaknya menuju tempat tugas yang berjarak sekitar 135 kilometer dari rumahnya di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel). Ia bisa berkumpul dengan keluarganya setelah pergi selama lima hari di lokasi mengajar. Edi selalu menguatkan hati istrinya, untuk mendukung upayanya memberikan pelajaran kepada murid-murid di sekolah tersebut.
“Banyak kejadian menyedihkan sempat saya alami, diantaranya terjatuh dari motor karena menabrak anjing saat dini hari dan mendorong motor karena mogok di tengah jalan,” ujar guru berstatus PNS ini.
Pria lulusan D2 Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) ini mulai diangkat sebagai PNS sejak 1 April 2008. Ketimpangan pendidikan di daerah terpencil menjadi alasan utama Edi menjadi seorang pendidik. Semula, dia merupakan lulusan Perikanan. Namun karena rasa empati terhadap nasib pendidikan anak-anak di daerah terpencil, mendorong Edi untuk mengabdikan diri sebagai guru.
“Iya saya perikanan. Justru dari pengalaman saat menjadi mahasiswa Perikanan saya sering berkunjung ke pesisir terpencil. Dari situ saya melihat ketimpangan pendidikan sehingga saya bertekad untuk menjadi guru di daerah terpencil. Sehingga saya mendaftar di D2 PGSD,” tutur Edi.
Mengabdikan Diri di Tengah-tengah Keterbatasan
Meski berada di tengah-tengah banyaknya keterbatasan, Edi tetap bertahan dan bolak-balik ke sekolah tempatnya mengajar. Minimnya infrastruktur dan fasilitas seperti jaringan internet dan listrik tidak menyurutkan niat awalnya menjadi guru di desa terpencil.
Tingkat pendidikan yang masih rendah di Desa Lalowata menjadi motivasinya untuk tetap melanjutkan pengabdiannya di sekolah dimaksud. Sarana listrik dan jaringan internet menjadi hambatan untuk mengembangkan media pembelajaran berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
“Kami menikmati jaringan listrik dari PLN dan jaringan internet dari BTS Bakti Kominfo, nanti di tahun 2022,” kata pria kelahiran Jeneponto, Sulsel tahun 1979 itu.
Khusus untuk pembelajaran, tantangan utama bagi Edi adalah keterbatasan media pembelajaran dan buku pelajaran siswa. Seluruh biaya keperluan buku pelajaran siswa tergantung dari dana bantuan operasional sekolah (BOS). Keadaan itu menuntut dia harus inovatif mengatasi sejumlah permasalahan yang dihadapi ketika menggelar kegiatan pembelajaran.
“Keterbatasan media pembelajaran saya atasi dengan memanfaatkan lingkungan sekolah sebagai sumber belajar. Saya juga mengembangkan sejumlah media, model, dan strategi pembelajaran yang berpihak pada murid,” pungkasnya.
Tidak hanya soal itu, Edi juga harus berusaha keras mengubah paradigma orang tua murid dengan sistem door to door. Dia bercerita, kalau dirinya sering kali mengunjungi rumah orang tua siswanya di Desa Lalowata dan Desa Titiowa. Hal itu ia lakukan hanya untuk bercengkrama dengan para orang tua agar mengizinkan anaknya bersekolah.
Sebab kata dia, mayoritas masyarakat di desa tersebut bermata pencaharian sebagai petani. Hal itu pun berpengaruh terhadap kelanjutan pendidikan anak-anak di sana. Banyak orang tua yang mengajak anaknya ke kebun atau berburu madu hutan di hari-hari sekolah. Tentu lanjut Edi, rutinitas itu juga mempengaruhi proses pendampingan belajar anak-anak mereka di rumah.
“Masih banyak orang tua murid yang belum menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan utama anak-anaknya. Mereka masih sering mengajak anaknya ke kebun di hari-hari sekolah. Banyak orang tua siswa yang tidak mampu baca tulis, juga menghambat pendampingan belajar di rumah,” ungkapnya.
Alasan Edi begitu kuat, dia hanya ingin melihat anak-anak di dua desa tersebut setara dengan anak-anak berpendidikan di perkotaan. Edi juga selalu menyisihkan uang pribadinya untuk memberikan bantuan pendidikan kepada siswa-siswinya.
“Untuk memotivasi orang tua dan murid, saya juga sesekali memberikan bantuan perlengkapan sekolah dari kantong pribadi,” lanjutnya.
Bersama rekannya sesama guru yang lain, Edi mendedikasikan diri untuk pendidikan anak-anak di daerah dengan julukan ‘Wonua Tebawo’ itu. Berkat sejumlah aksi inovatifnya, Edi sendiri pernah mendapat penghargaan Anugerah Gatra Kencana dari TVRI Nasional sebagai tokoh terinspiratif di tahun 2022.
Saat ini, ia juga berstatus sebagai fasilitator guru penggerak dan menjadi praktisi mengajar di sejumlah universitas seperti Universitas Halu Oleo, Unsultra, Universitas Bengkulu, dan Universitas Terbuka. Dirinya selalu meningkatkan kompetensi sebagai guru untuk tanggap dengan perubahan kodrat alam dan kodrat zaman murid.
Di antara banyaknya pencapaian, Edi terus berharap murid-murid yang pernah dididiknya dapat menjadi PNS, TNI atau anggota Polri. Ketiga profesi ini, papar Edi menjadi pekerjaan yang diidam-idamkan para orang tua murid di daerah tersebut.
“Harapan belum tercapai yaitu belum adanya murid saya yang berhasil menjadi PNS atau anggota TNI dan POLRI. Bagi orang tua murid, harapan terbesar dari keberhasilan anak-anak mereka yaitu ketika menjadi PNS, TNI atau Polri,” paparnya.
Meski demikian, ia juga bersyukur banyak siswanya yang telah menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi dan bekerja di sejumlah perusahaan atau badan usaha milik negara (BUMN). Red