BERITA TERKINIHEADLINE

Pelajar Asal Sultra Jalani Puasa di Belanda: Tiga Tahun Berturut Meresapi Ramadan di Negeri Orang

×

Pelajar Asal Sultra Jalani Puasa di Belanda: Tiga Tahun Berturut Meresapi Ramadan di Negeri Orang

Sebarkan artikel ini

LAJUR.CO, KENDARI – Febriant Isabella Yusuf, seorang mahasiswa asal Sulawesi Tenggara (Sultra) yang tengah menuntut ilmu di Wageningen, Belanda, telah berkali-kali menjalani ramadan di luar negeri.

Meskipun jauh dari keluarga dan tradisi tanah air, Febri sapaan akrabnya, menemukan cara untuk meresapi setiap momen puasa dengan penuh makna.

Tahun 2025 ini, ramadan menjadi pengalaman ke-3 bagi Febri yang jauh dari kampung halamannya di Kabupaten Buton Utara (Butur). Namun ia tak merasa sendiri, berkat komunitas mahasiswa Indonesia di Wageningen.

Bersama para anggota komunitas, mereka selalu menjaga kekeluargaan dengan berbagai kegiatan seperti buka bersama dan salat tarawih berjamaah.

Bagi Febri yang telah terjun aktif di berbagai organisasi, seperti Perhimpunan Pelajar Indonesia Wageningen (PPIW) dan Muslim Student/MSA Avicena Wageningen, komunitas menjadi tempat sangat berharga untuk berbagi dan menjaga silaturahmi.

Seiring waktu, Febri belajar mengimbangi kehidupan akademik yang padat dengan ibadah puasa. Tantangan cuaca ekstrem dan perbedaan durasi siang malam menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari.

Baca Juga :  Bulog Klaim Tidak Ada Produk MinyaKita yang Isinya 'Disunat' Beredar di Sultra

Momen berkesan bagi Febri pada puasa ramadan tahun 1446 Hijriyah ini adalah melaksanakan puasa hari pertama di Norwegia. Di sana ia mendapat pengalaman yang sedikit berbeda ketika berada di Belanda.

Febriant Isabella Yusuf bersama komunitas muslim di Wageningen menggelar acara pengajian menyambut bulan ramadan pada 22 Februari 2025 lalu.

Meski waktu siang di Norwegia berlangsung singkat, namun kedua negara itu tetap memberikan kesan tersendiri. Kata dia, durasi puasa di Belanda dan Norwegia sama-sama dijalani selama kurang lebih 14 jam. Hanya saja, kondisi cuaca di Norwegia dan Belanda cukup sedikit berbeda.

“Agak menantang kalau puasa di musim dingin. Kadang tenggorokan terasa kering apalagi suhunya turun. Perut juga bisa keram atau gampang lapar, itu yang biasa terjadi di Belanda,” kata mahasiswa jurusan Forest and Nature Conservation, Wageningen University and Research itu.

Setiap tahunnya Febri harus menjalani puasa sambil menyelesaikan studinya di negeri orang. Meski ramadan di Eropa terasa berbeda, ia menemukan cara untuk tetap merasakan kedekatan dengan sesama muslim di Negeri Kincir Angin.

Baca Juga :  PT Vale Gandeng PDGI Beri Layanan Operasi Gratis Puluhan Anak Penderita Celah Bibir & Langit-Langit

Kondisi sebagai anak rantau membuat dirinya banyak belajar tentang memaknai ibadah dalam segala aktivitas, baik studi akademik maupun interaksi dengan teman-teman internasional. Menurut Febri, ia dan rekannya sesama muslim mendapatkan privilese dari tempat menimba ilmu.

“Banyak bersyukur, kita diberi privilese karena pihak kampus membebaskan untuk berpuasa, salat malam kadang pesan ruangan di kampus. Disini masih bisa menjalankan puasa tanpa tekanan, pihak kampus mengerti kalau kita lagi berpuasa,” ucap Febri dengan penuh rasa syukur.

Keberadaannya jauh dari keluarga di Bumi Anoa, memotivasi Febri untuk menciptakan atmosfer ramadan versi pribadi, dengan niat menjadikan setiap momen sebagai ibadah. Dirinya menikmati kesempatan berharga selagi masih berada di Belanda, mengisi hari-hari dengan sejumlah kegiatan positif.

Baca Juga :  Andi Sumangerukka Targetkan Setiap Kabupaten & Kota di Sultra Punya Sekolah Unggulan

Kepada lajur.co, Minggu (9/3/2025), Febri mengaku lebaran tahun ini akan ia lewati sama seperti tahun sebelumnya. Jika lebaran tiba, biasanya umat muslim di Wageningen akan menggelar salat Ied berjamaah di tempat tertentu, seperti sarana olahraga.

Tak sama dengan perantau lainnya, musim mudik dan berkumpul bersama keluarga juga tak dirasakan Febri selama beberapa tahun terakhir. Sebab bulan April mendatang, ia menargetkan untuk menyelesaikan tahapan studi dan segera memperoleh gelar akademik.

Walau tak bisa memenuhi tradisi seperti di Indonesia, baginya kesempatan tersebut mengajarkan nilai menghargai persahabatan, dan tetap menjaga keseimbangan antara studi dan spiritualitas.

Pengalaman-pengalaman tersebut menjadi bagian dari perjalanan hidup perempuan Butur itu yang semakin mendalam. Menambah pelajaran tentang ketahanan mental dan pentingnya niat yang tulus dalam menjalani puasa ramadan di luar negeri. Red

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x