LAJUR.CO, KENDARI — Setelah sempat memproduksi dan mengekspor produk nickel pig iron (NPI) sebanyak dua kali, smelter milik PT Ifishdeco Tbk kini tidak lagi beroperasi. Presiden Direktur PT Ifishdeco Tbk Muhammad Ishaq akhirnya angkat bicara menanggapi tudingan miring, termasuk klaim bahwa perusahaan melakukan pembohongan publik dan smelter yang mereka bangun mangkrak.
Muhammad Ishaq menegaskan, smelter milik anak usaha PT Ifishdeco, yakni PT Bintang Smelter Indonesia (BSI), tidak dalam kondisi mangkrak. Menurutnya, anggapan tersebut wajar muncul karena masih banyak pihak yang belum memahami situasi sebenarnya.
Ia menyatakan, konstruksi smelter PT Ifishdeco yang dibangun sejak tahun 2014 fokus pada produksi Nickel Pig Iron atau NPI.
“Smelter itu kami bangun sejak tahun 2014 bersama PT PP (Persero) Tbk, dan murni untuk mendukung program hilirisasi pemerintah. Bukan untuk mengejar kuota ekspor, karena relaksasi ekspor baru diterbitkan tahun 2017,” jelas Ishaq dalam keterangan diterima redaksi Lajur.co, Jumat (18/7/2025).
Ia menunjukkan beberapa dokumentasi berupa video aktivitas produksi dan pengapalan ekspor produk NPI sebagai bukti bahwa smelter BSI sempat beroperasi secara normal.
Namun, perjalanan BSI tidak mulus. Teknologi blast furnace yang digunakan ternyata tidak ekonomis. BSI harus mengimpor kokas dari China yang biayanya terus melonjak hingga menyumbang 40% dari total ongkos produksi. Akibatnya, perusahaan terus merugi.
“Investasi kami untuk BSI mencapai Rp350 miliar. Tapi ternyata tidak hanya kami, perusahaan lain yang pakai teknologi blast furnace juga ikut berhenti beroperasi,” ujarnya.
Demi mendukung hilirisasi, BSI sempat merencanakan membangun smelter baru dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF). Proyek ini bahkan telah menggandeng PLN untuk pembangunan gardu induk. Namun, rencana tersebut harus kandas akibat pandemi COVID-19.
“Tenaga ahli dari China yang akan melakukan transfer knowledge ke tenaga lokal tidak bisa datang. Kami lebih utamakan keselamatan masyarakat,” kata Ishaq.
Kini, BSI tak sendiri. Muhammad Ishaq mengungkapkan, belakangan ini smelter RKEF pun mulai menghadapi tekanan berat. Bahkan beberapa di antaranya mulai tutup dan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena biaya operasional yang tinggi.
Mengutip BloombergTechnoz.com, industri smelter nikel berbasis RKEF di Indonesia sedang mengalami tekanan berat. Sejumlah pemain besar telah menyetop produksi sebagian atau seluruhnya sejak awal tahun ini karena margin keuntungan yang menipis, terutama akibat turunnya permintaan baja nirkarat dari China dan naiknya biaya produksi.
Anggota Dewan Penasihat Asosiasi Penambang Indonesia (APNI), Djoko Widajatno, menyebut ada empat perusahaan yang telah menghentikan lini produksinya. Sebut saja diantaranya PT Gunbuster Nickel Industry (GNI), PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) dimana keduanya berada di kawasan IMIP, Sulawesi Tengah. Berikut adalah PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), dan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) yang berbasis di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Meski menghadapi tantangan di sektor smelter, PT Ifishdeco Tbk tetap beroperasi di Kelurahan Ngapaaha, Kecamatan Tinanggea, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel). Dalam perjalanannya selama 17 tahun, perusahaan ini telah mencetak berbagai prestasi.
Tahun 2021, Ifishdeco menerima penghargaan sebagai wajib pajak dengan setoran terbesar di sektor pertambangan dan penggalian dari KPP Kendari. Dari sisi lingkungan, Ifishdeco berhasil meraih Proper Biru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selama dua tahun berturut-turut, yaitu periode penilaian 2022–2023 dan 2023–2024. Adm