LAJUR.CO, KENDARI – Peneliti di ERA Environmental Management Solutions, Sarah Sajedi terinspirasi untuk mendalami limbah plastik ketika berkunjung ke laut Andaman di Kepulauan Phi Phi, Thailand yang penuh dengan sampah plastik.
“Saya berdiri di sana memandangi pemandangan laut Andaman yang indah, lalu saya lihat ke bawah kaki saya, ada banyak potongan plastik, kebanyakan botol air,” ujar Sajedi.
“Saya selalu bersemangat untuk mengurangi sampah, tapi saya menyadari bahwa ini adalah masalah konsumsi,” sambung dia.
Momen tersebut mendorongnya kembali belajar di Universitas Concordia dan meneliti mengenai risiko minum air dari botol kemasan, sesuatu yang jarang dipikirkan banyak orang.
Studi tersebut telah diterbitkan di Journal of Hazardous Materials pada 2025.
Botol Kemasan Mengandung Mikroplastik Yang Berisiko
Dilansir dari Phys.org, Selasa (9/9/2025), Sajedi dan tim meninjau lebih dari 140 artikel ilmiah dan menemukan bahwa manusia rata-rata menelan 39.000 hingga 52.000 partikel mikroplastik setiap tahun.
Sementara itu, mereka yang minum dari botol kemasan mengonsumsi sekitar 90.000 partikel lebih banyak lagi.
Partikel-partikel ini berukuran seperseribu milimeter hingga tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Sementara itu, nanoplastik berukuran lebih kecil lagi, yaitu kurang dari 1 mikron.
Pecahan-pecahan mikroplastik ini terbentuk ketika botol dibuat, dipakai, dan dipanaskan selama masa pakainya. Botol-botol minuman sering kali terbuat dari plastik berkualitas rendah yang mudah melepaskan potongan-potongan kecil plastik setiap kali terpapar sinar Matahari serta fluktuasi suhu.
Berbeda dengan plastik yang masuk ke dalam makanan melalui ikan atau daging, air minum kemasan mengirimkan serpihannya langsung ke dalam tubuh. Ketika masuk ke dalam tubuh manusia, Sajedi mencatat bahwa mikroplastik bisa memberikan konsekuensi kesehatan yang sangat parah.
Dia menjelaskan, partikel-partikel kecil akan masuk ke dalam tubuh, lalu melintasi batas biologis, memasuki aliran darah, hingga bisa mencapai organ-organ vital. Proses ini menyebabkan terjadinya peradangan kronis, stres oksidatif pada sel, gangguan hormonal, gangguan reproduksi, sampai kerusakan saraf.
Ia mengatakan bahwa semakin kecil ukuran plastik, akan semakin besar risikonya. Saking kecilnya nanoplastik, partikel tersebut bisa memasuki sel dan berinteraksi dengan DNA dan protein.
Hal ini bisa membuka potensi kerusakan genetik dan dampak kesehatan jangka panjang.
Selain itu, Sajedi menambahkan, botol plastik juga mengandung zat kimia seperti bisfenol dan ftalat yang bisa meresap ke cairan, terutama bila botol terkena panas atau dipakai berulang kali.
Zat-zat aditif tersebut mengganggu hormon dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Beberapa penelitian juga mengaitkan zat ini dengan risiko kanker. Dengan begitu, kombinasi antara zat-zat kimia dengan paparan mikroplastik sangat meningkatkan risiko kesehatan pada manusia.
Pentingnya Edukasi
Dilansir dari Earth, Senin (15/9/2025), Sajedi menilai bahwa pemerintah sudah mengambil langkah untuk mengurangi limbah plastik sekali pakai, termasuk kantong plastik dan sedotan.
Namun, permasalahan mengenai botol plastik disebutnya sebagai “titik buta” yang luput dari perhatian pemerintah.
Ia pun menilai bahwa edukasi mengenai botol plastik sangat penting bagi masyarakat.
“Minum air dari botol plastik boleh-boleh saja dalam keadaan darurat, tetapi tidak boleh digunakan dalam kehidupan sehari-hari,” jelas Sajedi.
Dengan edukasi, menurut dia, masyarakat dapat memiliki kesadaran untuk menggunakan tumbler dan mengakses stasiun isi ulang air minum gratis, misal di kampus-kampus, yang digagas oleh pemerintah.
Sementara itu, para peneliti juga menguji plastik biodegradable baru, meskipun beberapa pilihan ini menimbulkan kekhawatiran baru mengenai keselamatan. Karena mengubah kebiasaan orang yang hobi mengonsumsi air botol itu sulit, maka Sajedi menilai perubahan kesadaran masyarakat akan tetap lambat.
Sebab mereka sudah menjadikannya kebiasaan dan memang lebih praktis dilakukan. Ia pun mempublikasikan studi yang dilakukan bersama rekannya, Chunjiang An dan Zhi Chen, agar masyarakat terdorong untuk bergerak lebih cepat. Adm
Sumber : Kompas.com