SULTRABERITA.ID, KENDARI – Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan pedoman tata laksana penanganan pasien Covid-19 terbaru. Dalam pedoman yang ditandatangani Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada 13 Juli 2020 tersebut, antara lain dinyatakan bahwa pasien Covid-19 yang berstatus orang tanpa gejala (OTG) maupun bergejala ringan, tidak perlu menjalani tes usap (swab test) ulang. Mereka cukup menjalani isolasi mandiri selama 10 hari, sejauh tidak ada pemburukan, dokter bisa menyatakan yang bersangkutan sembuh.
Selain itu, setelah dinyatakan sembuh, pasien OTG dan bergejala ringan tidak akan menularkan sisa-sisa virus yang ada di dalam tubuhnya. Oleh karenanya, masyarakat diminta tidak memberikan stigma dan khawatir terhadap pasien Covid-19 OTG dan bergejala ringan yang dinyatakan sembuh tanpa menjalani swab test ulang.
Demikian disampaikan Ketua Satgas Kewaspadaan dan Kesiagaan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban, dan epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman, dalam talk show di Beritasatu TV, Minggu (23/8).
Zubairi menjelaskan, berdasarkan pedoman penanganan Covid-19 terbaru yang didasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020, 13 Juli 2020, pasien Covid-19 yang berstatus OTG dan bergejala ringan, tidak perlu dites swab dengan metode polymerase chain reaction (PCR) ulang. “Yang penting, yang bersangkutan menjalani karantina atau isolasi mandiri selama 10 hari sejak tes PCR konfirmasi positif,” jelasnya.
Dia menambahkan, bahkan jika pasien OTG dan bergejala ringan setelah 10 hari isolasi tanpa gejala pemburukan dites PCR ulang dan hasilnya positif, yang bersangkutan tidak berpotensi menularkan ke orang lain. “Hasil tes PCR yang positif itu tidak infeksius atau tidak berpotensi menularkan,” katanya
Zubairi mengatakan, pasien OTG yang dites PCR berulang, meskipun hasilnya positif, tidak berbahaya. “Jadi hasil positif itu bukan karena virusnya masih infeksius, tapi masih ada bagian dari RNA (ribonucleic acid atau material genetik) virus yang masih tersisa di dalam tubuh, tetapi sebenarnya tidak lagi infeksius. Jadi setelah karantina, sudah bisa dinyatakan sembuh dam boleh beraktivitas seperti biasa,” ujarnya.
Dia menegaskan, isolasi atau karantina mandiri adalah hal yang wajib dilakukan pasien Covid-19 OTG dan bergejala ringan. “Kalau tidak karantina berbahaya, karena tanpa isolasi dia bisa menularkan virus. Dia harus karantina tidak perlu dirawat di rumah sakit,” katanya.
Zubairi mengungkapkan, secara rata-rata di dunia, dari total kasus positif Covid-19, 90% di antaranya adalah pasien OTG dan bergejala ringan. “Dan sebagian besar dari OTG dan mild (bergejala ringan) itu sembuh dengan isolasi,” ungkapnya.
Pasien OTG, lanjut Zubairi, juga tidak perlu mengonsumsi obat-obatan khusus. “Menjalani pola hidup sehat selama masa karantina sudah cukup,” jelasnya.
Sementara itu, Dicky Budiman mengungkapkan, tata laksana penanganan pasien Covid-19 yang dikeluarkan Juli lalu merupakan revisi dari penelitian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kemkes.
Dicky menjelaskan, terhadap pasien Covid-19 OTG yang sudah sembuh, tes PCR masih bisa mendeteksi bagian-bagian dari RNA virus yang tertinggal di tubuh. Tetapi bagian-bagian yang tertinggal tersebut sebenarnya tidak infeksius. “Jadi begitu ada antibodi di tubuh yang menetralisir, otomatis virus tidak infeksius. Tetapi memang masih ada lepasan-lepasan yang mungkin menempel di hidung atau saluran pernapasan. Sehingga saat dites PCR ulang, bisa tetap terdeteksi positif, tetapi sebetulnya sudah tidak menular,” jelasnya.
Menurutnya, pasien Covid-19 OTG dan bergejala ringan, biasanya memiliki daya menular di fase awal, sekitar 2-5 hari setelah dia terinfeksi. Tetapi setelah fase itu, seiring dengan munculnya antibodi di dalam tubuh, dengan sendirinya virus dinetralisir. Dengan fakta tersebut, WHO dan Kemkes menetapkan pasien OTG dan bergejala ringan yang sudah dinyatakan sembuh, tidak perlu dites PCR ulang.
“Syarat untuk dinyatakan sembuh, tidak ada gejala pemburukan selama masa isolasi, dan tentu harus ada surat keterangan sembuh dari dokter yang memantau,” ujarnya.
Menurut Dicky, kondisi demografi Indonesia terkait kasus Covid-19 didominasi OTG berusia muda dengan status kekebalan tubuh (imunitas) yang masih baik. “Dengan kondisi ini, cukup dengan isolasi bisa pulih,” ujarnya.
Dicky menegaskan, pasien OTG dan bergejala ringan yang sudah menjalani isolasi mandiri selama 10 hari tanpa gejala pemburukan dan dinyatakan sembuh, sudah bisa kembali beraktivitas normal. “Tentu bisa kembali beraktivitas. Karena sebagaimana pedoman Kemkes, bahwa setelah orang menyelesaikan isolasi harus ada surat keterangan dokter untuk memastikan dia sembuh setelah menjalani masa isolasi,” terangnya.
Dengan fakta medis tersebut, Dicky meminta pasien OTG tidak panik dan lengah. “Keluarga harus mendukung. Masyarakat di sekitarnya juga jangan memberi stigma negatif, dan jangan khawatir kalau yang bersangkutan sudah lewat masa isolasi dan dinyatakan pulih,” pintanya.
Untuk itu, dia juga meminta tenaga kesehatan harus betul-betul memantau, apakah ada indikasi atau gejala pemburukan atau tidak. “Makanya pemantauan harian harus dilakukan intensif,” jelasnya.
Perbanyak Diagnosis
Dicky menambahkan, protokol tersebut ditempuh WHO setelah melihat kenyataan banyak negara, termasuk Indonesia, yang kapasitas tes PCR warganya masih minim akibat berbagai faktor. Dengan melihat fakta medis kondisi pasien OTG dan bergejala ringan yang sudah sembuh, strateginya dinilai akan lebih efektif bila tes PCR yang terbatas ini dipakai untuk diagnosis, atau memperbanyak mendeteksi OTG lainnya apakah dia positif atau tidak.
“Karena setelah isolasi ini ternyata tes PCR tidak efektif digunakan sebagai deteksi, toh tidak infeksius. Jadi sebaiknya dipakai untuk diagnosis orang-orang yang masih berpotensi menularkan, yang saat ini belum terdeteksi positif. Ini yang melatari lahirnya strategi penanganan baru, khususnya bagi pasien OTG,” ungkapnya.
Dengan strategi ini, diharapkan negara-negara mampu meningkatkan cakupan tes PCR terhadap warganya. “Dengan strategi ini seharusnya ada peningkatan cakupan tes untuk mendiagnosis,” katanya.
Sumber:BeritaSatu.com