LAJUR.CO, KENDARI – Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD/Attention Deficit Hyperactivity Disorder) merupakan gangguan perkembangan yang masih ditemukan pada anak-anak, namun tidak langsung terdeteksi sejak dini ADHD merupakan kondisi gangguan pada anak yang ditandai dengan gejala sulit fokus, selalu merasa gelisah, tidak bisa diam dan antre, bergerak dan bicara tanpa kendali, hingga kerap bertindak tanpa berpikir.
Seorang anak ADHD biasanya menunjukkan 1 atau lebih dari kategori perilaku inatensi, hiperaktif, maupun impulsif. Gejala ADHD yang tampak pada seorang anak biasanya akan muncul sebelum usia 7 atau 12 tahun.
Daily Mail melansir, penyebab pasti ADHD hingga kini masih belum diketahui pasti, tetapi peneliti menduga ada faktor mutasi genetik yang turut memengaruhi fungsi dan struktur otak seseorang. Dan beberapa ahli juga menghubungkan unsur hiperaktif dengan pola makan.
Apa Hubungannya Pola Makan Buruk dengan Risiko ADHD pada Anak?
Professor Emeritus David Benton dar Swansea University menyoroti fokus pola makan yang tidak sehat pada anak-anak dengan ADHD. Menurutnya, makanan ultra proses (ultra processed food/UPF) yang mengandung zat aditif perlu dihindari, karena dibuat dengan pewarna, pemanis, hingga pengawet yang dapat memperpanjang umur penyimpanan. Biasanya, makanan ultra proses mengandung tinggi gula dan lemak, namun rendah serat, protein, vitamin, dan mineral.
Makanan apa saja yang disebut UPF? Misalnya, makanan siap saji, es krim, hingga saus-sausan merupakan beberapa produk yang cukup digemari, namun sayangnya hanya memiliki sedikit nilai gizi.
Makanan olahan juga sengaja dibuat agar lebih tahan lama atau ditambah bahan-bahan yang dapat meningkat cita rasanya, seperti daging olahan, keju, hingga roti. Penelitian lain juga mengungkap minuman bersoda, biskuit, dan makanan siap saji dapat menyebabkan serangkaian masalah kesehatan, termasuk penyakit jantung dan beberapa jenis kanker.
Prof. Benton mengungkapkan, kecenderungan konsumsi makanan ultra proses lebih banyak ditemukan pada orang tua berpenghasilan rendah, yang bisa disebabkan keterbatasan biaya. Sehingga, mungkin bukan sebuah kebetulan kasus ADHD sering didiagnosis pada anak-anak pada kondisi keluarga tersebut.
“Mengonsumsi makanan ultra proses dan juga zat aditif lebih umum di kalangan keluarga berpenghasilan rendah, yang juga berisiko lebih besar terkena ADHD. Sampai batas tertentu, ADHD mungkin merupakan indikasi kemiskinan. Dan pola makan yang buruk mencerminkan kebutuhan finansial untuk mengonsumsi makanan ultra proses yang lebih murah,” jelas Prof. Benton.
Lantas, apakah mengubah pola makan anak dengan produk-produk yang lebih segar, biji-bijian, hingga makanan pokok seperti telur dan susu akan membantu mengurangi risiko ADHD? Ternyata, belum tentu juga, Moms.
Sebab, penelitian sebelumnya dari tahun 1985 menunjukkan, pola makan yang bersih sekalipun tetap berpotensi menyebabkan perubahan perilaku.
Sehingga, Prof. Benton menyimpulkan agar orang tua perlu memperhatikan pola makan anak-anaknya secara keseluruhan, dan tidak hanya menghindari jenis-jenis makanan tertentu saja.
“Bagi orang tua yang khawatir mengenai ADHD, perlu diingat bahwa zat aditif makanan tidak mungkin menjadi penyebab satu-satunya. Jika perilaku anak tampak terkait dengan pola makan, maka buatlah menu harian makanan sehat yang dapat membantu mengidentifikasi pola makannya. Tetapi, diet eliminasi makanan apa pun harus dilakukan hati-hati dan berdasarkan saran ahli, agar menghindari lebih banyak kerugian daripada manfaatnya,” jelas Prof. Benton.
“Pada akhirnya, setiap anak berbeda. Dan apa yang berhasil untuk satu anak mungkin tidak berhasil untuk anak lainnya,” tutup dia. Adm
Sumber : Kumparan.com