BERITA TERKINIKESEHATANNASIONALPOLITIK

Buntut Putusan MK, Pilkada Selanjutnya Bisa Mundur ke 2031

×

Buntut Putusan MK, Pilkada Selanjutnya Bisa Mundur ke 2031

Sebarkan artikel ini
Buntut Putusan MK, Pilkada Selanjutnya Bisa Mundur ke 2031
Foto : Ist

LAJUR.CO, KENDARI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pemilu baik pemilihan kepala daerah ( pilkada ) maupun pemilu legislatif (pileg) untuk DPRD di tingkat daerah selanjutnya diselenggarakan paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan setelah pemilu nasional rampung.

Dengan diselenggarakannya Pemilu nasional yang kini terjadwal pada tahun 2029, maka pemilu tingkat daerah baru dapat diselenggarakan pada tahun 2031.

Hal itu merupakan implikasi dari Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang menyatakan batasan waktu pemilu di tingkat nasional dengan daerah.

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyebut pemilu selanjutnya yang digelar pada tahun 2029 merupakan masa transisi. Khususnya, bagi pasangan kepala daerah yang terpilih pada 27 November 2024 dan anggota DPRD hasil pemilu pada 14 Februari 2024 lalu.

MK menyatakan masa peralihan ini memiliki sejumlah dampak, namun penyerahan masa transisi ini menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang yakni DPR dan pemerintah.

“ Dengan melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, termasuk masa jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sesuai dengan prinsip perumusan norma peralihan atau transisional ,” bunyi pertimbangan hukum MK pada halaman 143.

Baca Juga :  Pemprov Sultra dan DPRD Tinjau Jalan Polipolia–Bou Koltim yang Siap Diaspal

Dalam pertimbangan hukum poin [3.18.2] MK menyatakan penyelenggaraan pemilu tingkat nasional dilaksanakan secara terpisah dengan di tingkat lokal untuk pertama kali adalah pada tahun 2029 mendatang.

“Untuk pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota dan pemilihan umum gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan hukum pada Sub-paragraf [3.18.1],” bunyi pertimbangan hukum MK.

Mengacu pada pertimbangan hukum [3.18.1] itu, MK memerintahkan pemilu lokal baru dapat digelar saat tahapan pemilu di tingkat nasional dinyatakan berakhir.

Dalam hal ini, MK menyatakan penghitungan waktu itu dimulai sejak waktu pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau pelantikan presiden/wakil presiden.

Majelis hakim konstitusi menyatakan pelantikan itu merupakan akhir dari tahapan pemilihan umum sebelumnya.

Setelahnya, MK pun mengatur bahwa pemungutan suara di tingkat lokal baru dapat digelar paling cepat dua tahun atau paling lama dua tahun 6 bulan sejak pelantikan di tingkat nasional (DPR, DPD, dan Presiden).

Menurut MK, agenda pemilu nasional dan lokal pada tahun yang sama menyebabkan berbagai permasalahan, termasuk di antaranya pelemahan terhadap pelembagaan partai politik karena kurangnya waktu bagi parpol menyiapkan kader untuk berlaga dalam setiap jenjang pemilu.

Baca Juga :  Giat Beri Bantuan Kemanusiaan, Dompet Dhuafa Volunteer Sultra Raih Penghargaan Chapter Terkolaboratif se-Indonesia

Selain itu, MK juga menilai penyelenggaraan pemilu lokal dan nasional dalam waktu yang berdekatan menyebabkan pemilih jenuh. Fokus pemilih bahkan terpecah di tempat pemungutan suara karena banyaknya surat suara yang harus dicoblos.

Respons DPR

Sementara itu, Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengatakan putusan MK itu akan menjadi bahan bagi revisi Undang-Undang Pemilu yang akan bergulir.

Menurut dia, pihaknya pun harus mencari cara dan formula yang paling tepat untuk menghadirkan pemilu nasional dan lokal, karena politik hukum nasional menjadi kewenangan konstitusional Komisi II DPR.

“Kami memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi salah satu concern bagi Komisi II DPR RI dalam menindaklanjuti,” kata Rifqinizamy di Jakarta, Kamis, seperti dikutip dari Antara.

Jika putusan itu diterapkan, dia menilai pemilu yang akan digelar selanjutnya yakni pemilu nasional pada tahun 2029 dan pemilu lokal pada tahun 2031. Maka, dia mengatakan bahwa jabatan-jabatan di tingkat lokal perlu ada transisi.

Baca Juga :  Seserius Ini Dampak Menahan Bersin, Bisa Bikin Tenggorokan Pecah!

“Jeda waktu 2029-2031 untuk DPRD, provinsi, kabupaten, kota termasuk untuk jabatan gubernur, bupati, wali kota itu kan harus ada norma transisi,” kata dia.

Menurut dia, penunjukan pelaksana tugas atau pejabat sementara bisa dilakukan terhadap jabatan eksekutif seperti bupati, wali kota, atau gubernur. Namun yang menjadi persoalan adalah mengenai jabatan legislatif.

“Untuk anggota DPRD satu-satunya cara adalah dengan cara kita memperpanjang masa jabatan,” kata dia.

Untuk itu, dia mengatakan bahwa hal-hal tersebut akan menjadi dinamika dalam perumusan revisi UU Pemilu. Dia mengatakan bahwa Komisi II DPR RI masih menunggu arahan dan keputusan Pimpinan DPR RI untuk bisa membahas RUU tersebut.

MK memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.

Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah. Adm

Sumber : Cnnindonesia.com

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x