OPINI

Disharmoni Relasi Antar Kepala Daerah

×

Disharmoni Relasi Antar Kepala Daerah

Sebarkan artikel ini

Sebuah Refleksi Oleh:

H. Nur Alam, S.E., M. Si.

Gubernur Sulawesi Tenggara 2008-2013 dan 2013-2018

Menarik sekali menonton ulang acara ILC (Indonesia Lawyers Club) yang tayang di TV ONE tiga tahun lalu (23 Mei 2018). Acara yang dipandu oleh Wartawan senior Karni Ilyas itu, pada saat itu mengangkat tema “Lemhanas Governor: I am Not Willing if TNI is ‘Tailing’ National Police”.

Salah satu narasumbernya, Gubernur Lemhanas RI — Letnan Jenderal TNI (Purn) Agus Widjojo mengatakan bahwa Kepala Daerah adalah orang yang diberi mandat oleh rakyat. Dia “dipinjami” mandat sebagian kedaulatan rakyat. Begitu juga di tingkat pusat adalah Presiden. Masih menurut Agus, betapapun gagahnya Panglima TNI dan betapa gagahnya kepala polisi dengan segala atribut yang menempel di seragamnya, mereka (Panglima TNI dan Kapolri) tidak pernah dipilih (langsung) oleh rakyat. Mereka tidak memegang otoritas politik, dan mereka tidak bisa membuat keputusan politik. Dan tepat di menit ke 9:43 Agus Widjojo mengatakan: “Kepala Daerah itu Presiden kecil di daerah. Kepala Daerah memegang mandat rakyat”.

Indonesia memiliki wilayah yang sangat luas. Dan, wilayah yang luas ini tentu saja perlu dibagi-bagi agar lebih mudah dalam hal penataan dan pengelolaannya. Dalam perspektif penyelenggaraan pemerintahan, tidak mungkin dapat berjalan secara merata, adil, dan demokratis kalau semua urusan hanya ditangani oleh pemerintah pusat. Itu sebabnya, kemudian dibagi-bagi menjadi daerah-daerah besar (provinsi), dan provinsi kemudian juga dibagi-bagi lagi ke dalam wilayah kabupaten dan kota. Pada tingkat daerah inilah, terdapat pemerintahan daerah yang berada di bawah pemerintahan pusat.

Kepala Daerah, dalam konteks Indonesia adalah Gubernur (sebagai kepala daerah provinsi), Bupati (kepala daerah kabupaten), dan Wali Kota (kepala daerah kota). Para kepala daerah itu dibantu oleh seorang wakil kepala daerah. Maka, menjadi logis kalau dikatakan bahwa seorang kepala daerah adalah presiden kecil di daerah, sebagaimana statement Gubernur Lemhanas.

Adanya pemerintahan daerah ini kemudian membuat kinerja pemerintahan pusat menjadi lebih mudah. Karena, Indonesia menganut asas otonomi sesuai aturan dalam UUD

1945 Pasal 18 Ayat (2). Dan, para Kepala Daerah dalam menjalankan otoritas pemerintahan daerahnya sesuai prinsip otonomi seluas–luasnya, dengan tetap menganut pada undang–undang pemerintahan daerah (yang terbaru adalah UU No 23 Tahun 2014).

Baca Juga :  Hanya Lantik Pj Bupati Buteng, Ali Mazi ke Muh Yusuf: Jangan Terlibat Politik Praktis!

Dalam praktik, seperti apakah pola hubungan yang terjalin diantara para kepala daerah itu? Baik hubungan secara struktural maupun fungsional.

Disharmoni

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sejak lama terjadi disharmoni hubungan kerja antar kepala daerah dan juga antar kepala daerah dengan wakilnya. Makanya saya tidak kaget melihat headline di http:\\www.beritasatu.com yang tayang pada Senin, 5 Oktober 2015 pukul 06:32 wib — “Sekitar 75 Persen Hubungan Kerja Pasangan Kepala Daerah Tidak Harmonis.” Pengalaman di sejumlah daerah, lanjutnya, membuktikan keharmonisan antara bupati/wali kota dan gubernur dengan wakilnya hanya bertahan antara enam bulan hingga satu tahun pemerintahan. Sesudah itu, mulai muncul konflik dan hubungan mereka menjadi tidak harmonis. Ketidakharmonisan itu biasanya diakibatkan karena kurangnya komunikasi, konflik kepentingan, dan masing-masing tidak memahami tugasnya.

Padahal, disharmoni hubungan antar kepala daerah dan para wakilnya itu, sudah pasti sangat mempengaruhi kinerja pembangunan daerah. Tugas-tugas struktural maupun fungsional pemerintahan pasti menjadi tidak maksimal, dan daerah menjadi terhambat untuk maju.

Seorang gubernur mengemban dua peran strategis yakni, sebagai kepanjangan tangan dari pemerintahan pusat sekaligus sebagai perwujudan kepentingan lokal. Namun, posisinya memang ambigu karena bupati/walikota juga punya kekuatan politik untuk mengatur daerahnya secara otonom. Itu sebabnya, peran gubernur selaku pemangku kebijakan daerah kerap tidak harmonis ketika bersinggungan dengan kegiatan operasional kekuasaan bupati/walikota. Konflik di antara mereka sering terjadi dalam berbagai bentuk, baik berwujud persaingan politik yang tidak fair hingga benturan dalam pelaksanaan kewenangan desentralisasi.

Hal itu kemudian menimbulkan sederet pertanyaan. Mengapa hal itu terjadi? Apakah ada yang salah dengan desain desentralisasi dan otonomi daerah, terutama terkait dengan hubungan antar level pemerintahan? Atau, apakah regulasi yang ada tidak cukup jelas mendukung terselenggaranya hubungan kekuasaan yang harmonis? Ataukah justru agenda demokrasi ikut andil mempengaruhi keharmonisan hubungan kekuasaan administratif antara gubernur dengan bupati dan walikota?

Sepanjang pengamatan saya, ketidakharmonisan itu bisa disebabkan oleh beberapa hal; pertama, adanya perbedaan persepsi dalam menerjemahkan regulasi dan peraturan perundang-undangan. Kedua, adanya perbedaan aliran politik yang dianut oleh para kepala daerah (misalnya gubernurnya dari Golkar, bupati atau walikotanya dari PAN atau PDIP). Hal itu merupakan dampak dari sistem politik Indonesia, yang memiliki kecenderungan memposisikan partai politik sebagai faktor utama demokrasi. Meski ada juga yang partai politiknya sama namun komunikasi dan hubungannya buruk. Dan ketiga, karena para bupati/walikota merasa punya kekuasaan yang sama luas, sehingga kemudian muncul semacam “ego” (merasa direndahkan kalau harus mengikuti arahan gubernur).

Baca Juga :  Gubernur Sultra Tak Lantik Pj Bupati Pilihan Tito, PAN: Pusat Harus Transparan

Dalam praktik, penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah oleh bupati/walikota memang kerap disalahartikan dan bahkan dimaknai berlebihan. Mereka menganggap bahwa otoritas penguasaan terhadap seluruh potensi yang ada di wilayahnya adalah kewenangannya secara keseluruhan. Fenomena itu menegaskan bahwa memang terjadi disharmoni relasi antara pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi, dan juga pemerintah pusat. Itu adalah akibat dari fungsi dan pelaksanaan koordinasi yang tidak efektif, baik secara vertikal maupun fungsional.

Secara administratif, peran gubernur itu tidak cukup hanya sebagai wakil pusat di daerah dalam hal pengawasan dan pembinaan bupati/walikota. Tapi, harusnya juga terkait koordinasi atas instansi-instansi vertikal milik kementerian dan lembaga yang ada di daerahnya.

Sedangkan dari sisi etika pemerintahan, akibat seorang bupati/walikota masih sibuk memikirkan soal partai padahal sudah menjabat sebagai kepala daerah, akhirnya membuat loyalitas kepada partai menjadi lebih kuat daripada loyalitas kepada hierarki pemerintahan. Sehingga, apa pun arahan dari gubernur, bahkan dari Kementerian Dalam Negeri yang merupakan pembina umum pemerintah daerah kerap diabaikan. Padahal, secara etika politik, mestinya kan bupati dan walikota itu taat pada gubernur. Tak peduli dia berasal dari partai mana, tapi di dalam pelaksanaan tugas pemerintahan, ketaatan itu harus hierarkis.

Dampak Konflik

Perselisihan kewenangan antara gubernur dengan bupati/walikota juga bisa terjadi akibat dari ketidakseimbangan kewenangan antar pemerintah pusat dengan provinsi dan dengan kabupaten/kota. Juga karena ketidakjelasan batas-batas kewenangan, sehingga terjadi perebutan dan saling klaim atas kewenangan tersebut. Bupati/walikota menganggap bahwa secara struktural (organisasi pemerintahan) gubernur bukanlah atasannya langsung. Sehingga mereka merasa tidak ada kewajiban untuk melakukan koordinasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya.

Kalau hal itu dibiarkan terus menerus, sudah pasti akan menghambat kinerja pelaksanaan otonomi dan juga mempengaruhi kinerja birokrasi. Dan akhirnya pasti menyentuh ranah publik, dan meluas pada perpecahan dalam tubuh pemerintahan daerah karena kemudian muncul kubu-kubu, dan masing-masing kubu lantas berebut pamor dan pengaruh.

Baca Juga :  Hanya Lantik Pj Bupati Buteng, Ali Mazi ke Muh Yusuf: Jangan Terlibat Politik Praktis!

Saya pikir, kalau saja para kepala daerah itu memiliki visi misi yang sama tentu konflik itu tak akan ada. Karena, semua tugas dan pekerjaan dilaksanakan bersama-sama dan berorientasi pada pengabdian untuk kebaikan masyarakat.

Perbedaan partai politik mestinya tidak menciptakan disharmoni dan menimbulkan konflik, tetapi menjadi satu kekuatan bersama untuk tujuan kebangsaan yang lebih besar.

Loyalitas pada partai mestinya berakhir pada saat loyalitas kepada bangsa telah dimulai.

Menengok ke belakang sejenak, ke titik saat saya masih menjabat sebagai Gubernur dan Pak Saleh Lasata sebagai Wakil Gubernur. Kami berdua memiliki visi dan misi yang sama. Sejak awal bertugas, saya sudah melakukan mapping dan pembagian positioning yang jelas agar tidak terjadi disharmoni di antara kami.

Saya tanamkan betul dalam pikiran bahwa, secara struktural pemerintahan Pak Saleh Lasata adalah wakil saya, tapi secara etika sosial baik secara moralitas maupun emosional, beliau saya tempatkan sebagai senior karena usia kami memang terpaut cukup jauh. Maka, di satu sisi hubungan kami formal Gubernur dan Wakil Gubernur, di sisi lain kami seperti kakak adik. Bahkan terkadang seperti anak dan orang tua. Selama sepuluh tahun bertugas, kami tidak pernah berebut kekuasaan dan tidak ada friksi sama sekali.

Menurut saya, antara pemimpin dengan wakilnya itu ibarat mulut dengan leher. Setiap makanan pasti masuk ke mulut terlebih dahulu, kemudian melewati leher, sebelum akhirnya sampai ke perut dan memberi manfaat untuk kehidupan. Pemimpin dengan wakilnya (juga mulut dengan leher) itu memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing.

Kepada para kepala daerah dan wakilnya, marilah kita masuki dunia baru, dimana segala keserakahan pada hal-hal yang bersifat fisik materialistik dan arogansi ditanggalkan, demi tujuan besar yang lebih bermartabat. Sesama kepala daerah mestinya saling bergandengan tangan dan bersinergi. Bersama-sama menjalin koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi demi kemakmuran rakyat.

Semua kepala daerah dan juga para wakilnya, sejatinya adalah sesama musisi dalam sebuah kelompok orkestra. Masing-masing adalah orang-orang hebat yang ahli dalam memainkan alat musiknya. Mestinya saling menggenapi dan saling melengkapi, agar tercipta musik yang selaras, indah, dan harmonis.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x