LAJUR.CO, KENDARI – Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dijuluki sebagai Bumi Anoa tidak hanya dikenal karena destinasi wisata budaya dan sejarahnya, tetapi juga sebagai daerah yang kaya akan ragam kuliner yang khas.
Adanya makanan khas tradisional hingga kini pun masih dilestarikan dan menjadi indentitas masyarakat. Salah satu makanan khas Sultra yakni Kabuto yang berbahan dasar singkong ini erat kaitannya dengan etnis Suku Muna.
Pada tahun 2024 ini, Kabuto berhasil mendapatkan pengakuan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB), dalam acara Apresiasi Warisan Budaya Indonesia (AWBI) 2024 di Jakarta, Sabtu (16/11/2024).
Penghargaan Kabuto sebagai WBTB ini diserahkan langsung Menteri Kebudayaan, Fadli Zon kepada Pj Gubernur Sultra Andap Budhi Revianto, di Taman Fatahillah, Jakarta. Dengan masuknya kuliner Kabuto menjadi bukti bahwa komitmen dalam menjaga serta melestarikan kekayaan budaya tradisional menjadi sangat penting
.
Kabuto dikenal sebagai makanan khas tradisional masyarakat Pulau Muna, Kabupaten Muna. Sejak zaman dahulu, Kabuto sudah menjadi makanan pokok masyarakat untuk menggantikan peran beras.
Kabuto sangat dibutuhkan dan dikomsumsi oleh masyarakat terutama yang tinggal di daerah pesisir pantai. Kata ‘Kabuto’ sendiri merupakan bahasa lokal daerah Muna yang artinya rusak atau busuk.
Namun hal itu tidak berlaku bagi singkong atau ubi kayu yang menjadi bahan dasar pembuatan Kabuto. Untuk diketahui, bahwa Kabuto dibuat dengan melakukan fermentasi pada ubi kayu dalam waktu yang relatif lama.
Mula-mula, ubi kayu dikupas dan dijemur di bawah sinar matahari langsung. Proses penjemuran dapat berlangsung selama kurang lebih 2-3 hari. Kemudian ubi yang telah dijemur, dibungkus menggunakan wadah seperti karung lalu didiamkan selama 3 hari.
Setelah proses fermentasi selesai, ubi yang telah didiamkan kemudian dijemur kembali agar bisa diolah menjadi makanan. Singkong hasil fermentasi ini akan berwarna hitam dan atau putih keabu-abuan. Proses fermentasi semacam itulah kemudian menjadi asal usul dinamakannya kuliner jenis ini sebagai “Kabuto”.
Ketika ubi kayu yang dijemur sudah kering, maka ubi dimaksud siap untuk diolah menjadi makanan siap saji. Adapun jenis pengolahannya terdiri atas dua yaitu dalam bentuk potongan pendek atau ditumbuk.
Untuk Kabuto yang disajikan dalam bentuk dipotong-potong dan direbus, masyarakat lokal biasa menyebutnya ‘Kantinibhera’. Sementara untuk Kabuto yang telah ditumbuk dan dikukus, lazimnya disajikan dengan parutan kelapa tua.
Proses pembuatannya yang relatif mudah, menjadikan Kabuto sebagai makanan khas yang potensial untuk dikembangkan. Kabuto ini memiliki peluang besar untuk dikembangkan sebagai oleh-oleh khas Sultra.
Rasanya yang begitu khas serta penyajiannya yang autentik, Kabuto juga berpotensi menarik perhatian wisatawan domestik maupun mancanegara. Selain menjadi makanan lezat, Kabuto juga menyimpan cerita sejarah dan tradisi masyarakat suku Muna yang unik.
Laporan : Egit Regina