Penulis :
Nurhaeni
(Jurnalis Lajur.co)
Dalam sepuluh tahun terakhir, industri tenun tradisional terus tumbuh dan berkontribusi signifikan terhadap ekonomi lokal. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagai penggeraknya menyumbang 61,7% Produk Domestik Bruto (PDB), menyerap 97% tenaga kerja, dan menyokong 60,4% investasi nasional (Buletin Insight KNEKS, 2021); (Dwi Ariani et al., 2024).
Di Sulawesi Tenggara (Sultra), tenun berkembang di hampir seluruh kabupaten/kota. Produk unggulan seperti Tenun Masalili (Muna) dan Nira Lakoo (Buton Tengah) telah tampil di ajang nasional dan diminati pasar internasional, termasuk Rusia dan Prancis, berkat filosofi, motif unik, dan kualitasnya.
Tenun sebagai bagian dari subsektor fesyen dalam industri kreatif telah diakui melalui Inpres No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif, yang menegaskan posisinya sebagai aset strategis berbasis kearifan lokal. Namun, keberlanjutan industri ini menghadapi tantangan serius. Keterlibatan generasi muda menjadi kunci keberlanjutan. Keterampilan menenun perlu diwariskan agar tetap hidup dan berkembang menjadi industri kreatif yang adaptif dan bernilai ekonomi.
Tanpa regenerasi, keterampilan ini bisa punah, meski produknya masih ada sebagai simbol budaya. Di Buton Tengah, rentang usia penenun 11–80 tahun, namun dominasi usia tua dan minimnya partisipasi laki-laki menunjukkan lemahnya regenerasi SDM. “Perajin tenun di Buteng rata-rata berusia 11 hingga 80 tahun. Kalau laki-laki hanya 1–3 orang saja,” ujar Kamusi, pemilik Tenun Nira Lakoo, Sabtu (30/8/2025).
Berbagai studi menunjukkan bahwa minat siswa terhadap kerajinan tradisional tidak tumbuh secara alami. Di SMK Ma’arif 1 Wates, Yogyakarta, sebanyak 75,96% siswa yang menyatakan berminat terhadap industri kreatif (Rahmat Setiadi & Nurhidayat, 2018), namun di SMK Karya Wiyata Punggur, Lampung, hanya 40,47% siswa tertarik pada pembelajaran Batik Bali (Putu Krisni, 2024). Ini membuktikan perlunya pendekatan pendidikan yang inovatif dan kontekstual untuk menumbuhkan minat tersebut.
Upaya regenerasi penenun tradisional Sultra melalui integrasi keterampilan menenun dalam pendidikan vokasi di SMK selaras dengan Perda Sultra No. 1 Tahun 2020 tentang Pengembangan dan Perlindungan Ekonomi Kreatif, yang mendorong penguatan subsektor kriya dan wastra tradisional. Namun hingga 2025, implementasi perda belum optimal: kelembagaan belum terbentuk, peta jalan belum tersedia, dan koordinasi antar-dinas masih sektoral. Padahal, dukungan regulatif dari pusat sudah ada melalui Perpres No. 142 Tahun 2018 dan No. 12 Tahun 2025. Karena itu, program regenerasi penenun melalui pendidikan vokasi bukan hanya relevan, tapi mendesak untuk segera diakselerasi secara sistemik.
Eksistensi Tenun di Sulawesi Tenggara (Sultra)
Sulawesi Tenggara (Sultra) merupakan salah satu provinsi dengan kekayaan tenun tradisional yang merepresentasikan nilai budaya, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat. Setiap kabupaten/kota memiliki tenun khas dengan motif sarat makna filosofis dan historis. Beberapa yang dikenal luas antara lain Tenun Nira Lakoo dan Kamoohu dari Buton Tengah, serta Tenun Masalili dari Kabupaten Muna.
Tenun Sultra mencerminkan identitas budaya lokal dan merupakan bagian penting dari warisan budaya bangsa. Keunikan motif, teknik pembuatan, serta simbolisme yang terkandung menjadikan tenun Sultra diminati pasar lokal maupun global. Kini, tenun tidak hanya digunakan sebagai sarung atau selendang, tapi telah bertransformasi menjadi pakaian siap pakai dan aksesori modern, menunjukkan daya adaptasi dalam industri fesyen.
Pengakuan atas tenun Sultra juga datang secara resmi, seperti penetapan Tenun Kamoohu sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kemendikbud RI pada 2021 (Fajar.co.id, diakses 31 Agustus 2025). Produk tenun Sultra juga rutin tampil dalam berbagai pameran wastra nasional dan internasional. Meningkatnya apresiasi terhadap produk belum diimbangi dengan keberlanjutan praktik menenun, yang masih bergantung pada generasi tua dan belum banyak diminati oleh generasi muda.
Pentingnya Regenerasi Sumber Daya Manusia (SDM)
Permasalahan utama pelestarian tenun Sultra terletak pada rendahnya regenerasi SDM. Data Dekranasda Sultra tahun 2025 mencatat lebih dari 3.500 penenun aktif, dengan konsentrasi tertinggi di Kabupaten Muna (±800 orang), namun mayoritas berusia di atas 45 tahun. Ini menunjukkan kesenjangan antara pertumbuhan produk dan keberlanjutan pelaku tenun.
Jika tren ini berlanjut, keterampilan menenun yang diwariskan turun-temurun bisa punah dalam 20–30 tahun ke depan. Padahal, tenun bukan sekadar produk ekonomi kreatif, tetapi juga bagian dari identitas budaya. Karena itu, perlu pemerataan jumlah penenun di seluruh daerah Sultra, dengan cara mendorong minat generasi muda melalui pendidikan, pelatihan, dan inovasi.
Peran generasi tua penting dalam pewarisan keterampilan, sementara pendidikan formal dapat menumbuhkan apresiasi dan ketertarikan terhadap kerajinan tradisional. Hal ini sejalan dengan Teori Human Capital (Schultz, 1961) dalam (Wuttaphan, 2017), yang menyatakan bahwa pendidikan dan pelatihan merupakan investasi penting dalam pembangunan SDM dan pertumbuhan ekonomi.
Tanpa intervensi sistemik, keterampilan menenun akan punah secara alami, meskipun produknya masih beredar di pasar. Karena itu, regenerasi penenun melalui pendidikan vokasi di sekolah kejuruan menjadi langkah strategis yang perlu segera dilakukan.
Analisis SWOT Tenun Tradisional Sultra
Hasil analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) SWOT menunjukkan bahwa tenun tradisional di Sultra memiliki beberapa kekuatan (strength) di antaranya agam motif dan sarat makna filosofi lokal yang unik; telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB); komunitas penenun aktif dan industri rumah tangga sudah ada; dan telah dikenal secara nasional dan mulai masuk pasar internasional.
Selain itu, kain-kain tenun ini juga memiliki potensi (opportunities) untuk diintegrasikan dalam kurikulum SMK di Sultra, dengan didukung kebijakan ekonomi kreatif dan perlindungan HAKI sehingga permintaan pasar terhadap produk lokal dapat meningkat dengan memanfaatkan digitalisasi dan e-commerce untuk pemasaran.
Namun terdapat kelemahan (weakness) yang dialami dalam pelestarian tenun Sultra seperti regenerasi yang masih rendah, keterbatasan dalam kurikulum pendidikan formal; dan belum ada standardisasi dan sertifikasi keterampilan. Minimnya minat generasi muda terhadap budaya tradisional, persaingan dengan produk tekstil pabrikan, potensi punahnya pengetahuan lokal, serta belum adanya ekosistem produksi yang terintegrasi juga menjadi ancaman (threats) yang dihadapi industri tenun.
Optimalisasi SMK sebagai Katalis Regenerasi Penenun Tradisional
Pendidikan vokasi merupakan ruang intervensi strategis dalam menjawab tantangan regenerasi dan pemberdayaan penenun muda di Sultra. Dengan 170 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan 32.740 siswa (BPS, 2024), potensi pengembangan keterampilan berbasis budaya lokal sangat besar.
Kurikulum vokasi dapat disinergikan dengan bidang kriya tekstil, tata busana, desain visual, dan pemasaran digital.
Langkah awal telah dilakukan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sultra lewat program “Tenun Masuk Sekolah” pada November 2024 (Lajur.co, diakses 27 Agustus 2025). Namun, inisiatif ini masih sporadis dan belum masuk dalam kurikulum resmi. Tanpa dukungan regulasi dan infrastruktur pembelajaran yang memadai, upaya ini rentan terhenti.
SMK berpotensi melahirkan penenun muda yang tak hanya terampil menenun, tetapi juga cakap dalam desain, branding, dan pemasaran. Idealnya, setiap kabupaten/kota yang memiliki motif khas tenun memiliki sekolah vokasi sebagai pusat pengembangan kriya lokal. Tenun tidak hanya diajarkan, tetapi dikembangkan menjadi unit usaha siswa, karya desain kompetitif, hingga produk ekspor. Kolaborasi dengan Balai Pelatihan Vokasi dan Produktivitas (BPVP), Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta pelaku industri lokal diperlukan untuk memperkuat ekosistem pembelajaran dan kewirausahaan berbasis budaya.
Setelah dilakukan pemetaan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman melalui analisis SWOT, diperoleh sejumlah strategi yang dapat diimplementasikan untuk mendukung regenerasi penenun di Sultra dengan pendekatan pendidikan vokasi di sekolah kejuruan. Strategi-strategi tersebut perlu diturunkan ke dalam langkah-langkah operasional yang konkret, terukur, dan kontekstual agar dapat diterapkan secara efektif di tingkat satuan pendidikan dan komunitas.
Berikut adalah rekomendasi langkah operasional yang dapat dijalankan. Pertama; integrasi Tenun dalam Kurikulum SMK sebagai muatan lokal atau program keahlian khusus. Kedua; pendirian inkubator usaha tenun di sekolah vokasi sebagai wadah praktik kewirausahaan siswa. Ketiga; pengembangan kurikulum digital yang mencakup desain, branding, dan pemasaran. Keempat; sertifikasi keterampilan menenun, agar lulusan memiliki daya saing di pasar kerja. Kelima; pendaftaran HAKI untuk motif lokal guna melindungi kekayaan intelektual daerah.
Melalui Forum Ekonomi Sultra (Forkestra), pengembangan industri kriya dan pelestarian wastra lokal dengan pendekatan pendidikan vokasi di sekolah kejuruan dapat menjadi topik bahasan yang krusial dalam mendorong transformasi ekonomi kreatif daerah. Dengan potensi 170 SMK di Sultra serta kolaborasi antara pemerintah, pelaku industri, dan komunitas penenun, pendidikan vokasi dapat menjadi katalis dalam regenerasi SDM yang terampil dan adaptif. Integrasi keterampilan menenun ke dalam kurikulum vokasi merupakan strategi jangka panjang yang tidak hanya melestarikan budaya, tetapi juga memperkuat daya saing ekonomi kreatif lokal secara berkelanjutan di masa depan.