OPINI

Mengenal Tradisi Karia: Ritual Penyucian Diri Kalambe Wuna

×

Mengenal Tradisi Karia: Ritual Penyucian Diri Kalambe Wuna

Sebarkan artikel ini

Penulis : Nurhaeni Ranurdin
(Freelance Writer)

Karia merupakan salah satu upacara adat masyarakat etnis Muna turun temurun. Ritual ini telah dilaksanakan sejak sekian lama dan mendarah daging secara turun temurun di tiap generasi. Upacara adat ini menempatkan gadis dalam bahasa Muna disebut Kalambe, yang telah beranjak remaja (ditandai telah mengalami menstruasi pertama) sebagai pelaku utama yang wajib di kaghombo/dipingit sebelum melaksanakan pernikahan. Semua rangkaian ritual dalam upacara ini menggambarkan laku pribadi manusia – perempuan dalam mahligai rumah tangga yang akan dibinanya kelak.

Dalam pandangan masyarakat etnis Muna, karia dijadikan sebagai sarana penggemblengan diri yang tujuannya untuk menempa para gadis yang dipingit agar memiliki kepekaan rasa serta sarana pengendalian diri. Adapun puncak yang sangat istimewa dalam upacara adat karia ini adalah diadakannya pertunjukkan Tari Linda sebagai bentuk pengekspresian pengalaman batiniah para kafosampu mose/gadis yang telah dipingit selama menjalani masa kaghombo/pemeraman.

Tari Linda memiliki simbol-simbol yang sarat makna dalam setiap geraknya. Perempuan yang telah selesai menjalani rangkaian ritual ini akan mengalami kelahiran kembali, sebab kafosampu mose diibaratkan seperti bayi yang baru lahir nan suci.

Disamping itu, karia ini merupakan proses penempaan para gadis/perempuan untuk melewati 4 (empat) alam sebagai proses kejadian manusia sampai dilahirkan dimuka bumi ini yaitu: (1) Alam arwah yaitu roh masuk bersifat rahasia yaitu hanya Tuhan yang mengetahui ; (2) Alam Misal yaitu roh sudah berada disekitar manusia didalam kandungan, (3) Alam Aj’sam yaitu roh sudah dititipkan kepada manusia sehingga manusia lahir dari kandungan dan (4) Alam Insani yaitu manusia telah lahir dan berada dimuka bumi yang fana ini.

Proses pemindahan dari satu alam ke alam yang lain hingga manusia dilahirkan bagaikan kertas putih polos dan suci, dapat digambarkan dari prosesi pelaksanaan acara Karia. Sehingg para perempuan tersebut akan dianggap telah bersih, dan matang baik secara jasmani maupun rohani.

Karia (Bahasa Muna) memiliki makna pembersihan atau penyucian diri sebagai tanda bahwa gadis yang di karia mengalami proses peralihan dari remaja ke dewasa. Selain itu, karia juga mempunyai arti ribut atau keramaian karena dalam setiap perhelatan malam puncak karia ini selalu diwarnai dengan keramaian. Antusiasme kerabat dan masyarakat sekitar mewarnai perhelatan akbar itu.

Pertunjukkan tari linda dalam malam puncak upacara adat ini (malam kafosampu) akan semakin meriah jika para kafosampu mose kedatangan tamu special atau kekasih mereka. Biasanya sang kekasih akan hadir di malam kafosampu dan memberi hadiah terindah baik berupa cincin ataupun hadiah istimewa lainnya.

Pemberian cincin tersebut dimaknai sebagai tanda keseriusan sang pria terhadap gadis tersebut dan diungkapkan dihadapan keluarga besar perempuan. Selain itu, pembuangan selendang sutra (kagholuno samba) juga menjadi moment yang menarik tak terlewatkan bagi para penonton. Kafosampu mose akan memilih siapa saja yang layak untuk menerima selendang mereka, yang kemudian akan dikembalikan dengan berisi uang atau benda berharga lainnya. Hadiah atau kenang-kenangan tersebut sebagai tanda kesyukuran mereka bahwa anak/kerabat perempuan mereka ini telah mampu melewati proses ujian yang berat dan telah memahami seluk beluk kehidupan berumah tangga dan etika bermasyarakat.

Acara kafosampu menjadi moment sangat istimewa bagi perempuan Muna karena hanya akan dialami sekali seumur hidup. Itupun jika orang tua atau keluarga mempunyai rezeki yang lebih untuk merayakan upacara adat ini. Dalam perhelatan akbar ini, tuan rumah harus mempunyai persiapan yang sangat matang mulai dari materi maupun nonmateri.

Pelaksanaan karia mula mula diawali dengan kafoluku/pemasukan, kaghombo/pemeraman, kabhalengka (kalempagi)/pembukaan, katandano wite, kafosampu, linda, mangaro dan kaghorono bhansa/pembuangan mayang pinang. Selama menjalani rangkaian ritus karia ini, ada seorang pemandu mulai dari kafoluku hingga selesai yang disebut dengan pomantoto (imam perempuan) atau pembimbing selama diruang pingitan. Hakikat dari karia ini sebagai proses metafora seorang anak dalam kandungan ibunya, yang terlahir dengan keadaan suci bersih dan matang. Layaknya buah-buahan akan matang setelah diperam, begitu pula dengan para peserta karia yang keluar dari pingitan dalam keadaan matang baik pola pikir maupun perilaku serta siap menjadi ibu rumah tangga.

Sebelum mengawali kafoluku , terlebih dahulu harus dipastikan bahwa piranti yang dibutuhkan harus sudah disediakan oleh petugas yang telah dipercayakan. Adapun hal-hal yang dimaksud tersebut yakni kaalano oe / air yang akan dipingit, dan kaalano bhansano bhea / pengambilan mayang pinang. Dimana pengambilan mayang pinang  tersebut tidak boleh mengarah ke barat (arah mayang pinangnya), serta tidak boleh dijatuhkan dengan kata lain harus dipegang hingga sampai turun ke tanah.

Baca Juga :  H+6 Lebaran, Pelabuhan Raha Masih Dipadati Penumpang

Hal demikian merupakan aturan yang harus dipatuhi, dan menjadi pertanda buruk jika dilanggar. Kafoluku diawali pembacaan haroa (dhoa) yang dipandu oleh hatibi/modhi/imamu, dimana calon peserta karia duduk di tengah-tengah petuah adat dan didampingi kedua orang tuanya. Kemudian dilanjutkan dengan kakadiu/mandi dengan posisi menduduki buah kelapa. Para peserta kaghombo lebih dahulu dimandikan dengan 2 jenis air yang dibacakan oleh imam (lebe) dan memiliki arti tersendiri bagi Kalambe Wuna yang akan dimandikan.

Oe Modaino merupakan analogis menolak dari segala kejahatan, ditandai dengan menghadap ke sebelah barat. Saat dimandikan imam dan para perempuan menghadap kansoopa (sebelah barat) dan menepuk air yang dituangkan oleh pomantoto dan membasahi seluruh badan dengan air tersebut. Sedangkan Oe Metaano merupakan air yang telah dibacakan doa oleh Imam bertujuan permohonan kepada Tuhan agar peserta Karia mendapat Ridho dari Yang Maha Kuasa.

Setelah itu, dilanjutkan dengan kasambu yakni dengan menyuapkan makanan berupa sebiji telur atau ketupat kepada peserta karia. Kemudian para peserta dimasukkan oleh pomantoto ke dalam songi/kamar/ruang pingitan yang telah disediakan. Ruang pingitan ini dibuat dengan sedemikian tertutup dari dunia luar ibaratnya sedang berada dalam kandungan. Prosesi kedua setelah kafoluku adalah kaghombo. Selama dighombo/diperam, para peserta tidak diperkenankan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak termasuk dalam ritus kaghombo.

Para peserta harus menahan nafsu makan, minum, dan aktivitas keseharian lainnya. Larangan tersebut seperti bercerita dan tertawa ria dengan suara menggelegar, memainkan ponsel, buang air besar dan lain lain. Selama masa pemeraman, para peserta diberikan bedak berupa campuran kunyit dan tepung beras oleh foburano/yang make-up_in. Juga diberi makan minum dengan pola dan porsi yang tidak seperti biasanya. Pemberian makan kepada peserta karia yang dibatasi itu mengandung arti bahwa dalam kehidupan duniawi tidak serba cukup dengan keinginan, manusia hanya mampu berusaha, tetapi Tuhanlah yang menentukan segalanya.

Selain itu, katangari/wejangan juga tidak kalah penting untuk ditransformasikan kepada para peserta kaghombo yang berhubungan dengan hal-hal sensitif seperti pengetahuan sex, kesehatan reproduksi dan lain sebagainya sebagai bekal dalam berumah tangga. Rentang waktu masa pemeraman pun bervariasi, ada yang 2 hari 2 malam, atau 4 hari 4 malam. Namun, jika seorang gadis ketika menikah dengan keadaan belum dipingit maka kemungkinan gadis tersebut akan dipingit tanpa upacara adat karia atas beberapa alasan yang mendasarinya.

Kabhalengka dapat berarti pembukaan, yakni para peserta akan dikeluarkan dari ruang pingitan setelah melewati waktu yang telah ditentukan. Proses ini akan dipandu oleh pomantoto di pagi buta dengan diiringi musik gong yang tidak boleh terhenti. Sama halnya seperti mengawali kafoluku dan selama dalam ruang kaghombo, musik gong terus berbunyi dengan dipukul mengiringi ritual yang sedang dijalani oleh para peserta karia. Kabhalengka/kalempagi dapat bermakna bahwa para peserta telah sampai pada proses akhir kaghombo, menandakan pematangan gadis muna yang dilahirkan kembali (telah keluar dari alam kandungan) sebagai manusia yang bersih dan matang sempurna.

Selain itu, kalempagi adalah peralihan kafosampu mose telah melampaui alam rahim dan lahir ke alam nyata dalam keadaan suci bersih tanpa dosa (seperti bayi baru lahir). Usai kabhalengka/kalempagi, para peserta mulai dipersiapkan untuk prosesi selanjutnya yakni malam kafosampu yang diawali dengan katandano wite. Para kafosampu mose dimandikan lagi dengan 2 kali mandi dengan cara menduduki buah kelapa tua dan menghadap ke arah barat, serta membasahi seluruh badan menggunakan air yang dituangkan oleh pomantoto.

Setelah itu, pomantoto akan memukul-mukulkan mayang pinang (bhansano bhea) ke tubuh kafosampu mose. Bhansano bhea tersebut dipukulkan pada setiap persendian di seluruh tubuh. Para kafosampu mose didandani sehingga meningkatkan aura kecantikannya, dilengkapi balutan busana adat Muna yang sarat makna. Namun sebelum didandani, mereka akan dirapikan rambut dan keningnya (debhindu) oleh petugas atau keluarga yang sudah diberi kepercayaan.

Kabhindu merupakan proses pencukuran rambut disekitar wajah khususnya dahi dan alis yang dilakukan oleh orang yang ahli dalam tahapan ini. Semua bulu rambut dan kening ditada pada piring berisi sejumlah uang sebagai syarat kabhindu. Dimana uang itu kemudian diberikan kepada petugas mebhinduni. Sedangkan rambut dan bulu-bulu halus di wajah  kemudian disatukan dengan bhansa masing-masing kafosampu mose. Dalam proses ini, silet digunakan sebagai alat utama dalam kabhindu.

Dalam pelaksanaan kafosampu, masyarakat etnis ini wajib melakukan acara kaharoano kaghombo/pembacaan doa yang dipandu seorang modhi/hatibi/imamu. Katandano wite (menyentuhkan tanah) memiliki artian bahwa pada dasarnya manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Dengan begitu, para kafosampu mose diharapkan akan menyadari hakikatnya ia hidup dan kemana ia kelak.

Baca Juga :  Gempa Tektonik Tektonik 4,2 SR Guncang Kabupaten Muna

Katandano wite dilakukan dengan menyentuhkan tanah kepada para kafosampu mose yakni pada ubun-ubun, dahi, lengan kanan, lengan kiri, siku kanan, siku kiri, lutut kanan, lutut kiri, dan telapak kaki. Penyentuhan tanah ini dilakukan oleh modhi atau pegawai sarah, dengan menyentuhkan tanah ke bagian tubuh peserta karia menggambarkan huruf alif. Huruf alif merupakan isyarat bahwa peserta Karia telah digodok dan diisi secara sempurnah terutama yang berkaitan dengan kehidupan berumahtangga dan pengenalan diri secara utuh. Huruf alif dalam Al Qur’an memiliki kriteria tersendiri yaitu tidak dapat disambungkan dengan huruf lain dan mayoritas dapat mematikan huruf-huruf lainnya, sehingga pada huruf ini tersimpul banyak rahasia Allah SWT.

Katandano Wite yang digambarkan dengan huruf alif adalah menjadi simpul dari ungkapan: Rahasia Tuhan ada pada manusia, Rahasia manusia ada ditangan Tuhan. Rahasia laki-laki ada pada perempuan dan rahasia perempuan ada pada laki-laki. Adapun tanah yang digunakan pada prosesi ini, sebelum disentuhkan di bagian tersebut maka modhi akan menyentuhkannya terlebih dahulu pada api sulutaru. Konon, nyala api (lilin) pada sulutaru menggambarkan masa depan (jodoh) kafosampu mose yang bersangkutan.

Sulutaru merupakan pohon terang (dari batang pisang) diberi hiasan kertas warna warni dan diatasnya dipasang lilin yang menyala menerangi bhawono koruma (panggung). Masing-masing peserta karia mempunyai 1 pohon sultar, biasanya dipegang oleh seorang gadis yang ditugaskan langsung oleh koparapuuno, dan gadis pemegang sultar tersebut haruslah mereka yang masih lengkap kedua orang tuanya. Tujuannya adalah sebagai bentuk kesyukuran kepada Tuhan yang maha penerang (Nur/Cahaya). Perjalanannya selama berupaya menemukan jodohnya dapat terlihat pada nyala api tersebut.

Jika api membakar lilin secepat kilat (nopikipio/cepat padam/cepat meleleh), maka begitulah kiranya jodoh akan mendatanginya. Kemudian sebaliknya, lilin yang lambat meleleh maka seperti itulah perjalanan cintanya. Maka tidak heran jika diantara kafosampu mose ada yang lilin sulutarunya cepat padam, dia akan menjadi topik bahasan kamokulahi (orang tua) yang memahami akan maknanya. Intinya, nyala api tersebut menjadi pertanda baik dalam kehidupan selanjutnya para kafosampu mose.

Selama proses katandano wite, kafosampu mose harus mematuhi larangan yang ditujukan kepada mereka. Pandangan mata harus tertuju pada satu arah kedepan dan tidak boleh melihat ke orang lain. Sekeras apapun musik gong, seriuh bagaimanapun penonton, kafosampu mose tidak boleh menghiraukan semua itu. Para kafosampu mose hanya dapat leluasa bergerak dan boleh berbicara ketika prosesi katandano wite selesai. Para peserta akan dikeluarkan dari rumah menuju panggung dengan berjalan diatas bentangan kain putih polos. Dalam tari linda, wajah kafosampu mose harus benar benar tampak polos dan kosong. Ketika menari, tubuh tidak boleh tegang, tidak boleh melamun, tidak harus pasrah dan rilex, serta tidak boleh over.

Gerakan tarian akan mengalir bersama darah melepaskan emosi-emosi negatif yang dimiliki para kafosampu mose. Bagian yang sangat ditunggu-tunggu usai katandano wite adalah kalinda (menari). Para kafosampu mose akan menari, mengekspresikan diri seperti burung yang bebas dari sangkarnya. Kehadiran seni ini menjadi sarana untuk menunjukkan kebutuhan dan harapan akan keselamatan juga kesejahteraan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, juga dapat berfungsi sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas anugerah Tuhan, sang maha pencipta kepada hamba-hambanya. Pada setiap geraknya secara spontan, tari linda mengekspresikan emosi yang dirasakan para kafosampu mose.

Pendapat Brown dalam Kusmayati (2007: 21-22), musik (Karia Koghandano) dan gerak (tari Linda), bertindak sebagai tekanan moral pada seseorang (Kafosampu Mose). Pada masing-masing rasa bersatu dan rasa kesetiakawanan sangat dirasakan oleh setiap penari (Kafosampu Mose) secara intensif dan ini merupakan fungsi utama tari (Linda) sebagai contoh tentang kebiasaan dan agama. Tari linda juga dalam komunitas etnis muna dipandang memiliki keterhubungan dengan intelektual yang dimiliki kafosampu mose.

Pertunjukkan tari linda ini diiringi musik gong yang cepat dan keras namun tidak seirama antara gerak tari dan bunyi musik yang dimainkan. Hal demikian mempunyai makna sebagai godaan bagi kafosampu mose tetapi mereka harus tetap tenang meski godaan tersebut semakin keras menghantam. Perempuan Muna harus melaksanakan ajaran dari leluhurnya tanpa dipengaruhi oleh godaan yang berasal dari luar. Nilai-nilai yang harus tetap dan terus terpatri dalam jiwa kalambe wuna seperti kesucian, ketulusan, kesetiaan, keimanan yang kuat, kejujuran, ketabahan, keadilan dan nilai-nilai luhur lainnya tergambarkan dalam setiap gerak tari linda. Nilai-nilai tersebut akan dapat dirasakan setelah memahami gerak tari linda secara utuh.

Baca Juga :  Melihat Tradisi Salat Jumat 'Unik' di Masigino Wuna

Mangaro/kalobhino kalei (menebang pohon pisang) lazimnya dilaksanakan usai merayakan malam puncak kafosampu. Jika upacara adat karia dirangkaikan dengan resepsi pernikahan keesokan harinya, maka mangaro akan dilakukan usai acara tersebut. Dalam prosesi mangaro, piranti yang digunakan adalah sebatang pohon pisang yang sengaja ditanam. Pohon pisang ini melambangkan sebagai musuh dan kemudian akan ditebang oleh pesilat muna (pobhelono).  Keberhasilan dalam menebang pohon pisang ini memberi makna bahwa masyarakat harus memiliki sifat pahlawan, yang dapat mengalahkan musuh sebagai penyebab penderitaan dan kesengsaraan hidup masyarakat Muna. Lebih menariknya lagi, usai pohon pisang ditebang, maka kopeehano/tuan rumah akan didudukkan diatas pohon yang telah ditebang tersebut dengan cara diangkat secara gotong royong.

Kaghorono /kafolantono bhansa (pembuangan mayang pinang) menjadi penutup dalam upacara adat ini. Kaghorono bhansa memiliki arti selain untuk meramal jodoh dan nasib, juga berfungsi memberikan pelajaran kepada para kalambe wuna agar selalu memperbaiki dan merawat diri baik fisik maupun psikis. Para perempuan muna harus senantiasa menjaga sikap dan perilaku sebagai manusia yang tidak sempurna. Selama mempersiapkan bekal untuk berumah tangga, para kalambe wuna harus selalu rendah hati dan berempati.

Waktunya tidak mengikat, boleh dilakukan sehari sesudah acara kahapui dan boleh pula lebih dari itu, karena tergantung kesepakatan dan kesempatan seluruh peserta Karia dan keluarga. Tempat untuk melakukan acara tersebut pada sebuah kali/sungai yang airnya mengalir.

Pakaian para gadis yang dipingit yaitu pakaian kalempagi yang diiringi oleh pomantoto, kedua orang tua, keluarga, sanak saudara, pemuda dan pemudi yang bersimpati dengan iringan gong dan gendang hingga tiba ditempat yang dituju.

Pada acara ini yang difolanto atau yang dibuang (ghoro) adalah Mayang Pinang (bhansa) yang dipergunakan memukul-mukul badan Kasampu Moose (pingit) pada saat dalam pingitan (Kaghombo). Filosofi dari acara ini adalah melepaskan segala etika buruk yang ada pada peserta Karia. Tetapi menurut orang tua di Muna hal ini menjadi isyarat bahwa jodoh, nasib dan takdir peserta Karia walaupun disadari bahwa semua itu adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Misalnya, pada saat dilakukan acara keromantisan atau kategori bhansa, kondisi mayang pinang berbeda-beda, ada yang tenggelam, ada yang terapung, ada yang melayang, dan ada pula yang hanyut terbawa air. Semua ini dapat dimaknai oleh orang-orang tua, tetapi itu hanya sebatas praduga dan kebenarannya tidak dapat dipastikan.

Upacara adat karia berfungsi sebagai wadah melangsungkan struktur sosial budaya masyarakat etnis Muna dalam kehidupannya. Karia berkembang dalam kehidupan masyarakat ini dengan pola kehidupan yang masih tradisional. Selain sebagai ritual, karia juga berfungsi dalam bidang sosial. Masyarakat etnis Muna memandang penting bahwa seorang gadis wajib menjalani proses ritual kaghombo. Kaghombo dimaknai sebagai proses peralihan dari remaja menuju dewasa.
Sebagaimana pernyataan Kusmayati (1990: 2), Karia (pingitan) adalah merupakan wujud pengesahan yang tidak terpisahkan dari pandangan alam pikiran yang erat kaitannya dengan kepercayaan kepada unsur-unsur kaembali (sakti), maupun makhluk halus.

Di sisi lain, masa peralihan dari gadis remaja menuju tingkatan dewasa adalah masa krisis hidup yang dapat menimbulkan berbagai dampak, dalam kehidupannya yang disebabkan oleh perubahan atau peralihan tahap hidup tersebut. Upacara adat karia bertujuan untuk menghindarkan diri para kalambe/gadis dari segala marabahaya. Simbolis  dalam upacara ini dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, juga untuk menjamin agar interaksi antar makhluk hidup dapat terlaksana secara tertib dan teratur.

Karena mempunyai anak perempuan merupakan sebagai anugrah, maka para kalambe harus dijaga dan dofeompunighie (segala perhatian, cinta dan kasih sayang dicurahkan kepadanya) sehingga mereka tumbuh dengan baik sehingga kelangsungan hidup tetap akan terjaga. Kelak mereka akan melahirkan dan meneruskan kehidupan generasi selanjutnya. Karia selain memiliki nilai ekonomi, sosial, budaya, etika, estetika, ritual, kerukunan dalam keluarga, kedisiplinan dan kebersihan (kesucian), kepedulian/kesetiakawanan sosial. Juga memuat nilai dan makna berupa ajaran hidup, khususnya bagi kaum perempuan untuk memahami proses kehidupan yang akan dilewati bersama keluarga baru yang akan dibangunnya atau menjalani kehidupan sebagai perempuan dewasa baik umur maupun pemikiran.

Berikut Ayat-ayat Al-Quran tentang  pingitan yakni terdapat dalam surah Ar-Rahman ayat 72 dan 74 :
“(Bidadari-bidadari) yang jelita putih berish, dipingit dalam rumah. (bidadari-bidadari itu sangat jelita) mata mereka sangat jelita (mereka dipingit) tertutup (di dalam kemah-kemah) yang terbuat dari permata yang dilubangi, keadaan mereka diserupakan dengan gadis-gadis

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x