BERITA TERKINICORNER

Mengenal Tradisi Karia, Ritual Penyucian Diri Perempuan Suku Muna

×

Mengenal Tradisi Karia, Ritual Penyucian Diri Perempuan Suku Muna

Sebarkan artikel ini
Tahapan Katandano Wite.
Tahapan Katandano Wite.

LAJUR.CO, KENDARI – Karia merupakan salah satu upacara adat masyarakat etnis Muna. Hingga kini tradisi Karia masih terus dipertahankan, menjadi ritual wajib dalam satu keluarga Suku Muna dan dijalankan secata turun-temurun.

Anak remaja yang ditandai dengan gejala menstruasi diwajibkan mengikuti ritual Karia sebelum akhirnya mereka melaksanakan upacara pernikahan. Dalam tradisi ini, para remaja Suku Muna akan menjalani masa kaghombo atau dipingit yang menjadi bagian dari tradisi Karia.

Karia dijadikan sebagai sarana penggemblengan diri yang bertujuan melatih para gadis yang dipingit agar memiliki kepekaan rasa serta belajar fase pengendalian diri. Beberapa ritual dalam adat Karia dijalani oleh perempuan Suku Muna menandai simbol proses lahirnya manusia di muka bumi. Mulai dari alam arwah, alam roh, alam aj’sam dan alam insani.

Transformasi dari satu alam ke alam yang lain hingga manusia dilahirkan bagaikan kertas putih polos dan suci, digambarkan dalam setiap tahapan prosesi Karia. Dengan menjalani ritual Karia, perempuan dianggap telah lahir kembali dalam keadaan bersih, matang baik secara jasmani maupun rohani.

Makna Karia

Setiap perempuan Muna atau dalam bahasa Muna disebut Kalambe Wuna yang beranjak dewasa wajib menjalani prosesi pingitan atau Kaghombo. Kaghombo dalam bahasa lokal diartikan diperam. Dalam fase ini perempuan dikurung dalam satu ruangan atau kamar yang disebut Songi. Proses pemeraman dilakukan selama empat hari empat malam atau paling singkat satu malam.

Kaghombo disebut juga Karia (Bahasa Muna) memiliki makna pembersihan atau penyucian diri. Penyucian itu dijadikan sebagai tanda bahwa gadis yang di “karia” mengalami proses peralihan dari remaja ke dewasa. Selain itu, secara etimologi, Karia dari kata ria artinya ribut. Karia mempunyai arti ribut atau keramaian karena dalam setiap perhelatan malam puncak karia ini selalu diwarnai dengan keramaian. Antusiasme kerabat dan masyarakat sekitar mewarnai perhelatan akbar itu.

Menurut tokoh adat masyarakat Muna, La Kusa, Karia memiliki makna secara filosofis sebagai puncak kesucian.

“Filosofi Karia itu adalah puncak kesucian atau tompano kangkilo (dalam bahasa lokal). Orang yang dikaria itu dalam budaya Muna sama halnya seperti dilahirkan kembali. Ibarat bayi yang baru lahir,” kata La Kusa, seorang tokoh adat masyarakat Muna, Jumat (24/6/2022).

Hakikat dari karia ini sebagai proses metafora seorang anak dalam kandungan ibunya, yang terlahir dengan keadaan suci bersih dan matang. Layaknya buah-buahan akan matang setelah diperam, begitu pula dengan para peserta karia yang keluar dari pingitan dalam keadaan matang baik pola pikir maupun perilaku sehingga siap menjalani bahtera rumah tangga.

Adapun syarat yang harus dipenuhi seorang perempuan agar dapat menjalani prosesi Karia adalah telah memasuki fase dewasa dan masih gadis atau belum menikah. Peserta Karia merupakan para perempuan yang memiliki ikatan keluarga atau kerabat dekat. Semakin banyak peserta maka ritual Karia akan semakin meriah.

“Syaratnya orang di-Karia harus masih gadis. Karena pernikahan ini dianggap suci dan sakral, makanya sebelum menikah disucikan melalui Karia,” tambah La Kusa, yang juga berperan Modhi Kamokula/Imam di Masjid Muna.

Selain perempuan, konon laki-laki juga dapat menjalani pingitan/Karia. Semua prosesi pingitan yang dijalani laki-laki sama hal dengan perempuan.

“Dahulu, laki laki juga bisa di-Karia. Prosesi selama Karia itu sama dengan prosesinya untuk perempuan. Yang membedakan terletak pada prosesi Katandano Wite. Kalau pria yang di-Karia, selesai Kabhalengka langsung kabasano dhoa. Tapi sekarang yang umumnya, kita tau yang di-Karia itu hanya perempuan,” ujar Modhi Kamokula.

Ritual Karia telah dilaksanakan sejak sekian lama dan mendarah daging secara turun temurun di tiap generasi. Hal itu berdasarkan keterangan dari La Kusa (76) bahwa Karia sudah dimulai pada masa pemerintahan Raja Muna ke 16 yakni La Ode Muhammad Husaini atau raja yang bergelar Omputo Sangia (1716-1767)

Tahapan Prosesi Karia

Pelaksanaan Karia diawali dengan Kafoluku/pemasukan, Kaghombo/pemeraman, Kabhalengka (kalempagi)/pembukaan, Katandano wite, Kafosampu, Mangaro diakhiri Kaghorono Bhansa/pembuangan mayang pinang. Selama menjalani rangkaian ritual Karia ini, ada seorang pemandu mulai dari Kafoluku hingga selesai yang disebut dengan Pomantoto (imam perempuan) atau pembimbing selama di ruang pingitan.

Berikut adalah tahapan Kafoluku.
Sebelum Kafoluku dimulai, terlebih dahulu harus dipastikan bahwa piranti yang dibutuhkan harus sudah disediakan oleh petugas yang telah dipercayakan, seperti Kaalano Oe/air yang akan dipingit, dan Kaalano Bhansano Bhea/pengambilan mayang pinang.

Proses pengambilan mayang pinang tersebut tidak boleh mengarah ke barat (arah mayang pinangnya), serta tidak boleh dijatuhkan, dengan kata lain harus dipegang hingga sampai turun ke tanah. Jika ini dilanggar, akan menjadi pertanda buruk.

Kafoluku diawali pembacaan doa (Haroa) yang dipandu oleh imam (Hatibi/Modhi/Imamu), dimana calon peserta karia duduk di tengah-tengah petuah adat dan didampingi kedua orang tuanya. Kemudian dilanjutkan dengan mandi (Kakadiu) dengan posisi masing-masing menduduki buah kelapa. Para peserta Kaghombo lebih dahulu dimandikan dengan 2 jenis air yang dibacakan oleh imam (Lebe) dan memiliki arti tersendiri bagi perempuan (Kalambe Wuna) yang akan dimandikan/diguyur air seluruh badannya.

Dua jenis air itu terdiri atas Oe Modaino dan Oe Metaano. Oe Modaino merupakan analogis menolak dari segala kejahatan, ditandai dengan menghadap ke sebelah barat. Saat dimandikan imam dan para perempuan menghadap sebelah barat (Kansoopa) dan menepuk air yang dituangkan oleh Pomantoto serta membasahi seluruh badan dengan air tersebut. Sedangkan Oe Metaano merupakan air yang telah dibacakan doa oleh imam bertujuan permohonan kepada Tuhan agar peserta Karia mendapat ridho dari Yang Maha Kuasa.

Setelah itu, dilanjutkan dengan Kasambu yakni dengan menyuapkan makanan berupa sebiji telur atau ketupat kepada peserta Karia. Kemudian para peserta dimasukkan oleh Pomantoto ke dalam Songi/kamar/ruang pingitan yang telah disediakan. Ruang pingitan ini dibuat tertutup dari dunia luar, ibarat bayi yang berada dalam kandungan.

Baca Juga :  Gempa Tektonik Tektonik 4,2 SR Guncang Kabupaten Muna

Berikut adalah tahapan Kaghombo.
Selama dighombo/diperam, para peserta tidak diperkenankan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang tidak termasuk dalam ritual Kaghombo. Para peserta harus menahan nafsu makan, minum, dan aktivitas keseharian lainnya. Larangan tersebut seperti bercerita dan tertawa ria dengan suara menggelegar, memainkan ponsel, buang air besar dan lain lain.

Selama masa pemeraman, para peserta diberikan bedak berupa campuran kunyit dan tepung beras oleh Foburano/yang memberi make-up. Mereka juga diberi makan minum dengan pola dan porsi yang sedikit. Pemberian makan kepada peserta karia yang dibatasi itu mengandung arti bahwa dalam kehidupan duniawi tidak serba cukup dengan keinginan, manusia hanya mampu berusaha, tetapi Tuhanlah yang menentukan segalanya.

Selain itu, Katangari/wejangan juga tidak kalah penting untuk ditransformasikan kepada para peserta Kaghombo yang berhubungan dengan hal-hal sensitif seperti pengetahuan sex, kesehatan reproduksi dan lain sebagainya sebagai bekal dalam berumah tangga.

Rentang waktu masa pemeraman pun bervariasi. Ada yang 2 hari 2 malam, atau 4 hari 4 malam. Namun, jika seorang gadis yang hendak menikah namun belum menjalani adat Karia, kemungkinan gadis tersebut hanya akan dipingit tanpa rangkaian upacara adat Karia atas beberapa alasan yang mendasarinya.

“Untuk waktunya, sekarang yang umumnya empat hari. Paling singkatnya satu hari. Yang satu hari, selesai isya di Foluku/masuk Songi, tiba subuh sudah di Bahlengka. Ini namanya Kaghombono Oe,” kata La Kusa.

Berikut adalah tahap Kabhalengka.
Kabhalengka dapat berarti pembukaan, yakni para peserta akan dikeluarkan dari ruang pingitan setelah melewati waktu yang telah ditentukan. Proses ini akan dipandu oleh Pomantoto di pagi buta dengan diiringi musik gong (Mbololo) yang tidak boleh terhenti. Sama halnya seperti mengawali Kafoluku dan selama dalam ruang Kaghombo, bunyi gong didengungkan.

Kabhalengka/Kalempagi dapat bermakna bahwa para peserta telah sampai pada proses akhir Kaghombo. Ini menandakan gadis Muna tersebut telah dilahirkan kembali (telah keluar dari alam kandungan) sebagai manusia yang bersih dan matang sempurna. Selain itu, Kalempagi adalah peralihan gadis pingitan (Kafosampu Mose) yang telah melewati alam rahim dan lahir ke alam nyata dalam keadaan suci, bersih tanpa dosa (seperti bayi baru lahir).

Selanjutnya adalah fase Kakadiu.
Usai Kabhalengka/Kalempagi, para peserta mulai dipersiapkan untuk prosesi selanjutnya yakni malam Kafosampu yang diawali dengan Katandano Wite. Para Kafosampu Mose dimandikan sebanyak dua kali dengan cara menduduki buah kelapa tua dan menghadap ke arah barat, serta membasahi seluruh badan menggunakan air yang dituangkan oleh Pomantoto.

Setelah itu, Pomantoto akan memukul-mukulkan mayang pinang (Bhansano Bhea) ke tubuh Kafosampu Mose. Bhansano Bhea tersebut dipukulkan pada setiap persendian di seluruh tubuh.

Berikut fase Kabhindu. Para Kafosampu Mose kemudian didandani agar aura kecantikannya terpancar. Mereka dibalut busana adat Muna atau Badhu Wuna yang sarat makna. Namun sebelum didandani, rambut dan keningnya (Debhindu) peserta Karia akan dirapikan oleh petugas atau keluarga yang sudah diberi kepercayaan.

Kabhindu merupakan proses mencukur rambut di sekitar wajah, khususnya dahi dan alis yang dilakukan oleh orang yang dianggap ahli. Sisa bulu rambut dan kening yang dipotong ditampung pada piring berisi sejumlah uang sebagai syarat Kabhindu. Uang itu kemudian diberikan kepada petugas Kabhindu (Fobhinduno). Sedangkan rambut dan bulu-bulu halus di wajah kemudian disatukan dengan bhansa masing-masing Kafosampu Mose. Dalam proses ini, silet digunakan sebagai alat utama dalam Kabhindu.

Katandano Wite dan Kafosampu
Dalam pelaksanaan Kafosampu, masyarakat etnis ini wajib melakukan acara Kaharoano Kaghombo/pembacaan doa yang dipandu seorang Modhi/Hatibi/Imamu. Katandano Wite (menyentuhkan tanah) memiliki artian bahwa pada dasarnya manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Dengan begitu, para Kafosampu Mose diharapkan dapat menyadari hakikatnya hidup dan kemana ia kelak setelah melewati dunia fana.

Tahapan Katandano Wite.
Tahapan Katandano Wite.

Katandano Wite dilakukan dengan menyentuhkan tanah kepada para Kafosampu Mose yakni pada ubun-ubun, dahi, lengan kanan, lengan kiri, siku kanan, siku kiri, lutut kanan, lutut kiri, dan telapak kaki. Penyentuhan tanah ini dilakukan oleh Modhi atau pegawai sarah, dengan menyentuhkan tanah ke bagian tubuh peserta Karia menggambarkan huruf alif.

Huruf alif merupakan isyarat bahwa peserta Karia telah digodok dan diisi secara sempurna terutama yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga dan pengenalan diri secara utuh. Huruf alif dalam Al Qur’an memiliki kriteria tersendiri yaitu tidak dapat disambungkan dengan huruf lain dan mayoritas dapat mematikan huruf-huruf lainnya, sehingga pada huruf ini tersimpul banyak rahasia Allah SWT.

Katandano Wite yang digambarkan dengan huruf alif adalah menjadi simpul dari ungkapan: rahasia Tuhan ada pada manusia, rahasia manusia ada di tangan Tuhan. Rahasia laki-laki ada pada perempuan dan rahasia perempuan ada pada laki-laki. Adapun tanah yang digunakan pada prosesi ini, sebelum disentuhkan di bagian tersebut maka Modhi akan menyentuhkannya terlebih dahulu pada api Sulutaru. Konon, nyala api (lilin) pada Sulutaru menggambarkan masa depan (jodoh) Kafosampu Mose yang bersangkutan.

Sulutaru merupakan pohon terang (dari batang pisang) diberi hiasan kertas warna warni dan di atasnya dipasang lilin yang menyala menerangi Bhawono Koruma (panggung). Masing-masing peserta Karia mempunyai 1 pohon Sultara, biasanya dipegang oleh seorang gadis yang ditugaskan langsung oleh Koparapuuno (yang empunya acara karia). Serta gadis pemegang Sulutaru tersebut haruslah mereka yang masih lengkap kedua orang tuanya. Tujuannya adalah sebagai bentuk kesyukuran kepada Tuhan yang maha penerang (nur/cahaya).

Perjalanannya selama berupaya menemukan jodohnya dapat terlihat pada nyala api Sulutaru-nya. Jika api membakar lilin secepat kilat (Nopikipio/cepat padam/cepat meleleh), maka begitulah kiranya jodoh/rezeki akan mendatanginya. Kemudian sebaliknya, jika lilin yang lambat meleleh maka seperti itulah perjalanan cintanya.

Baca Juga :  PAUD, TK dan SDIT Ittiba'ul Atsar Buka Pendaftaran Siswa Baru

Pohon Sulutaru peserta Karia.
Pohon Sulutaru peserta Karia.

Maka tidak heran jika diantara Kafosampu Mose ada yang lilin Sulutaru-nya cepat padam, dia akan menjadi topik bahasan Kamokulahi (orang tua) yang memahami akan maknanya. Intinya, nyala api tersebut menjadi pertanda baik dalam kehidupan selanjutnya para Kafosampu Mose.

Selama proses Katandano Wite, Kafosampu Mose harus mematuhi larangan yang ditujukan kepada mereka. Pandangan mata harus tertuju pada satu arah kedepan dan tidak boleh melihat ke orang lain. Sekeras apapun musik gong, seriuh bagaimanapun penonton, Kafosampu Mose tidak boleh menghiraukan semua itu. Para Kafosampu Mose hanya dapat leluasa bergerak dan boleh berbicara ketika prosesi Katandano Wite selesai.

Para peserta yang dikeluarkan dari rumah menuju panggung, berjalan di atas bentangan kain putih polos. Wajah Kafosampu Mose harus benar benar tampak polos dan kosong. Ketika Kafosampu dan menari, tubuh tidak boleh tegang, tidak boleh melamun, tidak harus pasrah dan rilex, serta tidak boleh over.

Adapun puncak yang sangat istimewa dalam upacara adat karia ini adalah diadakannya pertunjukkan Tari Linda. Pertunjukan tarian sebagai bentuk ekspresi pengalaman batiniah para Kafosampu Mose/gadis yang telah dipingit selama menjalani masa Kaghombo/pemeraman. Tari Linda memiliki simbol-simbol yang sarat makna dalam setiap geraknya. Perempuan yang telah selesai menjalani rangkaian ritual ini dianggap sebagai manusia yang lahir kembali, bak bayi yang baru lahir nan suci.

Gerakan tarian akan mengalir bersama darah melepaskan emosi-emosi negatif yang dimiliki para kafosampu mose. Bagian yang sangat ditunggu-tunggu usai Katandano Wite adalah Kalinda (menari). Para Kafosampu Mose akan menari, mengekspresikan diri seperti burung yang bebas dari sangkarnya. Kehadiran seni ini menjadi sarana untuk menunjukkan kebutuhan dan harapan akan keselamatan juga kesejahteraan dalam kehidupan sehari-hari.

Tari Linda dilakoni oleh peserta Karia.
Tari Linda dilakoni oleh peserta Karia.

Selain itu, juga dapat berfungsi sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas anugerah Tuhan, sang maha pencipta kepada hamba-hambanya. Pada setiap geraknya secara spontan, Tari Linda mengekspresikan emosi yang dirasakan para Kafosampu Mose.

Pendapat Brown dalam Kusmayati (2007), musik (Karia Koghandano) dan gerak (tari Linda), bertindak sebagai tekanan moral pada seseorang (Kafosampu Mose). Pada masing-masing rasa bersatu dan rasa kesetiakawanan sangat dirasakan oleh setiap penari (Kafosampu Mose) secara intensif dan ini merupakan fungsi utama tari (Linda) sebagai contoh tentang kebiasaan dan agama. Tari Linda juga dalam komunitas etnis Muna dipandang memiliki keterhubungan dengan intelektual yang dimiliki Kafosampu Mose.

Pertunjukkan Tari Linda ini diiringi musik gong yang cepat dan keras, namun tidak seirama antara gerak tari dan bunyi musik yang dimainkan. Alunan gong yang tak seirama dianggap sebagai godaan bagi Kafosampu Mose. Mereka diharuskan tetap tenang meski godaan tersebut semakin keras menghantam.

Ini juga bermakna perempuan Muna harus melaksanakan ajaran dari leluhurnya tanpa dipengaruhi oleh godaan yang berasal dari luar. Nilai-nilai yang harus tetap dan terus terpatri dalam jiwa Kalambe Wuna seperti kesucian, ketulusan, kesetiaan, keimanan yang kuat, kejujuran, ketabahan, keadilan dan nilai-nilai luhur lainnya tergambarkan dalam setiap gerak Tari Linda. Nilai-nilai tersebut akan dapat dirasakan setelah memahami gerak tari linda secara utuh.

Pertunjukkan Tari Linda dalam malam puncak upacara adat ini (malam Kafosampu) akan semakin meriah jika para Kafosampu Mose kedatangan tamu spesial atau kekasih mereka. Biasanya sang kekasih akan hadir di malam Kafosampu dan memberi hadiah terindah baik berupa cincin ataupun hadiah istimewa lainnya.

Pemberian cincin tersebut dimaknai sebagai tanda keseriusan sang pria terhadap gadis tersebut dan diungkapkan di hadapan keluarga besar perempuan. Selain itu, pembuangan selendang Sutra (Kagholuno Samba). Ini menjadi momen yang menarik dan dinanti para penonton. Kafosampu Mose akan memilih siapa saja yang layak untuk menerima selendang mereka. Si penerima kemudian mengembalikan selendang dengan menyelipkan uang atau benda berharga lainnya. Hadiah atau kenang-kenangan tersebut sebagai tanda kesyukuran mereka bahwa anak/kerabat perempuan mereka ini telah mampu melewati proses ujian yang berat dan telah memahami seluk beluk kehidupan berumah tangga dan etika bermasyarakat.

Berikut adalah fase Mangaro. Mangaro/Kalobhino Kalei (menebang pohon pisang) lazimnya dilaksanakan usai merayakan malam puncak Kafosampu. Jika upacara adat karia dirangkaikan dengan resepsi pernikahan keesokan harinya, maka Mangaro akan dilakukan usai acara tersebut.

Dalam prosesi Mangaro, piranti yang digunakan adalah sebatang pohon pisang yang sengaja ditanam. Pohon pisang ini melambangkan sebagai musuh dan kemudian akan ditebang oleh pesilat Muna (Pobhelono). Keberhasilan dalam menebang pohon pisang ini memberi makna bahwa masyarakat harus memiliki sifat pahlawan, yang dapat mengalahkan musuh sebagai penyebab penderitaan dan kesengsaraan hidup masyarakat Muna.

Lebih menariknya lagi, usai pohon pisang ditebang, maka Kopeehano/tuan rumah akan didudukkan di atas pohon yang telah ditebang tersebut dengan cara diangkat secara gotong royong.

Tahapan terakhir adalah Kaghorono Bhansa. Kaghorono /Kafolantono Bhansa (pembuangan mayang pinang) menjadi penutup dalam upacara adat ini. Kaghorono Bhansa memiliki arti selain untuk meramal jodoh dan nasib, juga berfungsi memberikan pelajaran kepada para kalambe Wuna agar selalu memperbaiki dan merawat diri baik fisik maupun psikis.

Waktunya tidak mengikat, boleh dilakukan sehari sesudah acara Kahapui dan boleh pula lebih dari itu. Karena tergantung kesepakatan dan kesempatan seluruh peserta Karia dan keluarga. Tempat untuk melakukan acara tersebut harus dilakukan pada sebuah kali/sungai yang airnya mengalir.

Pakaian para gadis yang dipingit yaitu pakaian Kalempagi yang diiringi oleh Pomantoto, kedua orang tua, keluarga, sanak saudara, pemuda dan pemudi yang bersimpati dengan iringan gong dan gendang hingga tiba ditempat yang dituju.

Baca Juga :  Manfaat Kulit Bawang untuk Tanaman, Jangan Langsung Dibuang

Pada acara ini yang Difolanto atau yang dibuang (Ghoro) adalah mayang pinang (Bhansa) yang dipergunakan memukul-mukul badan Kasampu Moose (pingit) pada saat dalam pingitan (Kaghombo).

Filosofi dari acara ini adalah melepaskan segala etika buruk yang ada pada peserta Karia. Tetapi menurut orang tua di Muna hal ini menjadi isyarat bahwa jodoh, nasib dan takdir peserta Karia adalah atas kuasa Tuhan Yang Maha Esa.

Misalnya, pada saat dilakukan acara keromantisan atau kategori Bhansa, kondisi mayang pinang berbeda-beda, ada yang tenggelam, ada yang terapung, ada yang melayang, dan ada pula yang hanyut terbawa air. Semua ini dapat dimaknai oleh orang-orang tua, tetapi itu hanya sebatas praduga dan kebenarannya tidak dapat dipastikan.

Fungsi Ritual Karia

Upacara adat karia berfungsi sebagai wadah melangsungkan struktur sosial budaya masyarakat etnis Muna dalam kehidupannya. Karia berkembang dalam kehidupan masyarakat ini dengan pola kehidupan yang masih tradisional.

Selain sebagai ritual, Karia juga berfungsi dalam bidang sosial. Masyarakat etnis Muna memandang penting bahwa seorang gadis wajib menjalani proses ritual Kaghombo. Kaghombo dimaknai sebagai proses peralihan dari remaja menuju dewasa.

Sebagaimana pernyataan Kusmayati (1990), Karia (pingitan) adalah merupakan wujud pengesahan yang tidak terpisahkan dari pandangan alam pikiran yang erat kaitannya dengan kepercayaan kepada unsur-unsur Kaembali (sakti), maupun makhluk halus.

Di sisi lain, masa peralihan dari gadis remaja menuju tingkatan dewasa adalah masa krisis hidup yang dapat menimbulkan berbagai dampak, dalam kehidupannya yang disebabkan oleh perubahan atau peralihan tahap hidup tersebut.

Upacara adat karia bertujuan untuk menghindarkan diri para Kalambe/gadis dari segala marabahaya. Simbolis dalam upacara ini dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, juga untuk menjamin agar interaksi antar makhluk hidup dapat terlaksana secara tertib dan teratur.

Karia selain memiliki nilai ekonomi, sosial, budaya, etika, estetika, ritual, kerukunan dalam keluarga, kedisiplinan dan kebersihan (kesucian), kepedulian/kesetiakawanan sosial. Juga memuat nilai dan makna berupa ajaran hidup, khususnya bagi kaum perempuan untuk memahami proses kehidupan yang akan dilewati bersama keluarga baru yang akan dibangunnya atau menjalani kehidupan sebagai perempuan dewasa baik umur maupun pemikiran.

Butuh Budget yang Besar

Oleh masyarakat Suku Muna, memiliki anak perempuan dianggap sebagai anugerah. Maka para Kalambe harus dijaga dan Dofeompunighie (segala perhatian, cinta dan kasih sayang dicurahkan kepadanya). Sehingga mereka tumbuh dengan baik agar kelangsungan hidup tetap akan terjaga. Kelak mereka akan melahirkan dan meneruskan kehidupan generasi selanjutnya.

Sebelum melangsungkan pernikahan, sangat penting seorang gadis Muna untuk di Karia. Karia sebagai syarat yang harus dilakukan karena berkaitan erat dengan kesucian dan sakralnya pernikahan.

Seorang guru sekolah dasar negeri di kabupaten Muna Barat, Ibu Wa Rami membeberkan alasan dirinya mengadakan acara karia. Wa Rami menggembleng keenam anak perempuannya menjalani prosesi karia selama dua hari dua malam.

“Mengapa penting? Itu menjadi syaratnya kita sebenarnya. Kalau misalnya perempuan Muna menikah dengan sistem kawin lari/Dopofuleigho, harus Dighombo minimal satu malam. Kalau kita ini orang Muna, misalnya setelah Katoba (pengislaman), para orang tua menyuruh kita anak anak untuk belajar Kangkilo. Kalau sudah menjalani Kaghombo, ketika menikah sudah dalam keadaan suci. Karena sakralnya itu pernikahan,” kata Wa Rami, Jumat (24/6/2022) .

Setiap orang tua dalam etnis suku Muna yang memiliki anak perempuan berharap jika kelak dapat melakukan prosesi Karia. Namun, karena ritual ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, maka hanya orang tertentu yang dapat mengadakan Karia. Sejak hendak mengadakan Karia, satu atau dua bulan sebelumnya harus dipersiapkan secara matang segala kebutuhannya.

Acara Kafosampu menjadi momen sangat istimewa bagi perempuan Muna karena hanya akan dialami sekali seumur hidup. Itupun jika orang tua atau keluarga mempunyai rezeki yang lebih untuk merayakan upacara adat ini. Dalam perhelatan akbar ini, tuan rumah harus mempunyai persiapan yang sangat matang mulai dari materi maupun non materi.

“Persiapannya dari jauh-jauh hari. Biayanya tembus puluhan juta. Apalagi jika dirangkaikan dengan pernikahan salah satu yang di karia,” sambung Wa Rami.

Guru di salah satu SD di Kabupaten Muna Barat itu berharap anak-anaknya yang telah menjalani ritual Karia senantiasa menjaga sikap dan perilaku sebagai manusia yang tidak sempurna. Sebagai perempuan Muna, wajib mempersiapkan bekal untuk berumah tangga dengan baik dan selalu menanamkan sikap rendah hati dan berempati.

Di tempat terpisah, salah seorang peserta Karia asal Kabupaten Muna berbagi pengalamannya selama menjalani ritual perempuan Muna sekali dalam seumur hidup itu.

“Penasaran. Selama ini hanya dengar cerita dari teman–teman. Ternyata sangat unik dan seru setelah saya alami. Ini sudah menjadi tradisi gadis Muna harus dipingit. Sebelum masuk Kaghombo, kita hanya diperbolehkan memakai sarung. Dikasih sisir, jadi kalau gatal tidak boleh garuk pakai tangan. Banyak tradisi unik di dalamnya yang filosofinya saya belum terlalu paham,” ujar Wa Ode Novia, Rabu (22/6/2022).

Hal tersulit yang dialami Novia, adalah ketika tidak diperkenankan untuk buang air. Sementara untuk pola makan, Novia bersama kawan peserta lainnya hanya diberi telur rebus dan sedikit nasi.

“Hal tersulit yang saya alami selama Kaghombo, tidak boleh buang air kecil. Selama 3 hari 2 malam makannya hanya dikasih telur dan nasi sedikit. Tengah malam dibangunkan untuk memakai bedak kunyit dan tepung beras. Bosan dan tidak nyaman sekali,” jelas Novia.

Namun begitu, sebagai gadis Muna, Novia bersyukur bisa menjalani prosesi Karia. Ia mengatakan menjalani ritual Karoa saat berusia 25 tahun, tepat seminggu sebelum pesta pernikahannya digelar.

LAPORAN : NURHAENI

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x