LAJUR.CO, JAKARTA – Debat calon wakil presiden (capres) pada Minggu (21/1) berlangsung cukup panas. Salah satunya, saat cawapres Gibran Rakabuming Raka menyinggung soal greenflation.
Greenflation pun kemudian menjadi istilah yang ramai dibicarakan. Lalu, apa itu greenflation?
Inflasi hijau sendiri mengacu pada kenaikan harga yang terjadi sebagai imbas dari transisi energi.
Mengutip laman European Central Bank (ECB) Senin (22/1/2024), dijelaskan, banyak perusahaan mengadaptasi proses produksi sebagai upaya untuk mengurangi emisi karbon. Namun, sebagian besar teknologi ramah lingkungan memerlukan sejumlah logam dan mineral seperti tembaga, lithium dan kobalt selama masa transisi.
Pada kendaraan listrik misalnya. Kendaraan listrik memerlukan enam kali lebih banyak dibanding kendaraan konvensional. Lalu, pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai membutuhkan jumlah tembaga tujuh kalilipat dibandingkan pembangkit listrik tenaga gas.
Teknologi ramah lingkungan akan mendorong permintaan sebagian besar logam mineral di masa mendatang.
Ketidakseimbangan antara meningkatnya permintaan dan terbatasnya pasokan menjadi penyebab banyaknya harga komoditas penting meningkat beberapa waktu lalu. Harga lithium misalnya yang telah meningkat 1.000% sejak Januari 2020. Laporan ECB ini terbit Maret 2022.
Hal itu menggambarkan perjuangan yang harus ditempuh untuk melawan perubahan iklim. Semakin cepat dan mendesak menuju perekonomian yang ramah lingkungan, maka akan semakin mahal pula biaya yang harus dikeluarkan dalam jangka pendek.
Meski demikian, laporan ini mencatat, dampak greenflation terhadap konsumen akhir jauh lebih kecil dibandingkan fossilflation atau inflasi yang disebabkan oleh energi fosil.
Namun, seiring semakin banyaknya industri yang beralih ke teknologi rendah emisi, greenflation diperkirakan akan memberikan tekanan pada harga berbagai produk selama masa transisi.
Sebagai informasi, Gibran menanyakan cara mengatasi greenflation kepada cawapres Mahfud MD dalam debat semalam.
“Bagaimana cara mengatasi greenflation?” ujarnya dalam acara Debat Pilpres keempat di JCC Senayan, Jakarta, Minggu (21/1).
Pertanyaan Gibran itu langsung membuat tempat debat riuh. Moderator pun meminta Gibran untuk menjelaskan pertanyaannya dan meminta Gibran untuk menggunakan istilah yang bisa dimengerti.
“Baik, nggak, tunggu. Ini tadi tidak saya jelaskan karena kan beliau profesor, greenflation adalah inflasi hijau, sesimple itu,” tambah Gibran.
Sementara, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto memberikan sejumlah contoh greenflation atau inflasi hijau. Istilah greenflation dimunculkan calon wakil presiden (cawapres) Gibran Rakabuming Raka dalam debat cawapres semalam.
Djoko menerangkan, greenflation merupakan istilah yang mengacu pada kenaikan harga barang dan jasa akibat transisi ke ekonomi yang lebih ramah lingkungan atau netral karbon. Greenflation dapat dipicu oleh faktor-faktor seperti pajak karbon, permintaan bahan mentah dan energi yang tinggi, serta pembatasan produksi yang berpolusi.
Ia menyebut, contoh greenflation ialah kaitannya dengan harga lithium yakni bahan baku untuk membuat baterai mobil listrik. Harga lithium sempat meningkat sebesar 400% pada tahun 2021 dan diperkirakan akan terus naik seiring dengan permintaan global yang meningkat.
“Harga aluminium, yang digunakan untuk menghasilkan energi surya dan angin, naik dua kali lipat antara tahun 2021 dan 2022, dan mencapai titik tertinggi sepanjang masa. Hal ini disebabkan oleh keputusan China, yang memproduksi 60% dari seluruh aluminium, untuk membatasi produksi pabrik baru yang berpolusi tinggi,” terang Djoko dalam keterangannya.
Berikutnya, kebijakan pajak karbon di Prancis yang menyebabkan harga bahan bakar melambung tinggi.
“Kebijakan pajak karbon di Prancis, yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, menyebabkan harga bahan bakar naik dan memicu gerakan protes rompi kuning,” katanya.
Lebih lanjut, dia mengatakan, ada beberapa cara mengatasi greenflation. Sebutnya, meningkatkan efisiensi energi dan penggunaan sumber energi terbarukan yang lebih murah dan bersih.
“Mendorong inovasi teknologi dan penelitian yang dapat menurunkan biaya produksi dan konsumsi barang dan jasa yang ramah lingkungan,” katanya.
Kemudian, melakukan kerja sama untuk mengatur pasar karbon hingga memberikan insentif untuk sektor yang berkontribusi pada transisi hijau.
“Melakukan kerjasama internasional dan regional untuk mengatur pasar karbon, menghapus subsidi energi fosil, dan memberikan insentif bagi sektor-sektor yang berkontribusi terhadap transisi hijau,” katanya. Adm
Sumber : Detikcom