LAJUR.CO, MUNA BARAT – Kabupaten Muna Barat tidak hanya dikenal akan potensi hasil pertanian, perkebunan maupun perikanan. Menyusuri Desa Walelei, Kecamatan Barangka, Kabupaten Muna Barat, Anda dapat menyaksikan potret pandai besi yang dilakoni masyarakat setempat.
Produk pandai besi yang dihasilkan rerata merupakan alat-alat pertanian yang menunjang aktivitas petani di sana. Diantaranya jenis parang, cakul hingga tembilang.
Mereka menjadi pengrajin pandai besi secara turun temurun. Kerajinan mengolah besi ini diketahui telah ada sejak zaman dahulu, saat mayoritas masyarakat Suku Muna masih mendiami wilayah Kampung Lama, Tongkuno. Kampung Lama layaknya kota tua yang ada sejak zaman Kerajaan Muna berdiri.
Uniknya, kerajinan tangan pengolahan besi di Bumi Praja Laworo ini hanya bisa diturunkan kepada orang-orang tertentu atau yang merupakan keturunan Walelei.
Mitosnya, konon jika dilakukan oleh orang bukan bagian dari keturunan tersebut maka akan ditimpa berbagai penyakit. Hal itu dapat dilihat pada saat para pengrajin mendirikan rumah produksi, atau dikenal sebagai Buso oleh masyarakat lokal. Peletakan batu pertama bangunan Buso mesti diaplikasikan oleh orang yang dianggap pintar (Mandeno, dalam bahasa Muna).
Hingga kini, profesi pandai besi ini menjadi sumber mata pencaharian sejumlah masyarakat. Terdapat sekitar 25 orang yang menekuni usaha ini dan terbagi dalam enam kelompok, dimana setiap kelompok masing-masing memiliki satu rumah produksi.
Dalam rumah produksi dilengkapi peralatan diantaranya dapur tempa, palu besar, palu kecil, gerinda, tang, dan pemahat, serta besi sebagai tumpuan.
Meski jumlah keuntungan yang diperoleh dalam sebulan masih relatif berkisar dua hingga tiga juta rupiah, para pandai besi di Kampung Walelei ini tetap menekuni pekerjaannya. Seperti yang dibeberkan salah satu pengrajin bernama La Mudi ini. Dirinya dapat meraup laba sampai Rp3 juta per bulannya.
“Bagi kita usaha ini menjadi profesi yang diandalkan sebagai sumber penghasilan. Dalam sebulan kita dapat meraup keuntungan hingga 2 – 3 juta rupiah,” ucap La Mudi, Kamis (9/3/2023).
Profit yang mereka hasilkan relatif tinggi. Sebab, para pengrajin rerata hanya mengeluarkan biaya produksi sekitar seratus ribu untuk satu buah parang dan atau pisau. Mereka hanya butuh bahan baku berupa besi dan arang. Besi dapat diperoleh dengan harga Rp9 ribu sampai Rp12 ribu dari pengumpul. Sementara arang dalam satuan karung dibanderol Rp50 ribu.
Setiap hari, pengrajin dapat menghasilkan 8 – 10 bilah parang hingga 20 bilah pisau kecil. Harga sebilah parang hanya dibanderol mulai Rp150 ribu sampai Rp250 ribu. Sementara untuk pisau berukuran kecil dipatok dengan harga Rp40 ribu.
Sejauh ini, produk yang dihasilkan masih cenderung parang dan pisau, sedangkan untuk produk lainnya seperti badik, cangkul dan linggis hanya dapat diproduksi berdasarkan pesanan. Bisnis yang terbilang menjanjikan ini ternyata proses pembuatannya tidak mudah.
Mulai dari tahap pembelahan besi, pemipihan, pengasahan, penyepuhan hingga pemasangan gagang hanya bisa dilakukan tenaga terampil. Selain itu, juga dibutuhkan kesabaran dan keuletan dalam menempa besi secara apik sampai menjadi barang bernilai jual tinggi. Adm