LAJUR.CO, KENDARI – Indonesia kembali mendapat rapor merah. Laporan World Competitiveness Ranking 2025 mencatat, peringkat daya saing Indonesia turun drastis dari posisi 34 ke 41 dari total 67 negara. Ini penurunan tajam, sekaligus alarm bagi masa depan pembangunan nasional karena terjadi bersamaan dengan bonus demografi.
Laporan yang dikeluarkan IMD WCC (International Institute for Management Development World Competitiveness Center) ini menganalisis dan memberi peringkat kapasitas negara-negara untuk menciptakan dan memelihara lingkungan yang mendukung daya saing perusahaan.
Dalam penilaian ini, WCC menyasar empat pilar utama, yaitu kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan infrastruktur. Lembaga Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (LM FEB) Universitas Indonesia menjadi mitra WCC dalam penelitian ini, khususnya tentang kondisi Indonesia.
Indonesia mengalami penurunan pada tiga dari empat aspek tersebut. Peringkat performa ekonomi stagnan, sementara efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis, dan infrastruktur mengalami penurunan.
Padahal dalam tiga tahun sebelumnya, Indonesia terus memperbaiki posisi dari peringkat 44 di 2022, naik ke peringkat 34 di 2023, hingga akhirnya ada posisi 27 pada 2024. Ini bisa menjadi alarm juga bahwa peningkatan performa Indonesia sebelumnya tak ditopang fondasi kokoh.
“Pascapandemi, Indonesia merupakan salah satu negara dengan performa daya saing terbaik dalam peringkat WCR yang naik 11 peringkat,” jelas Arturo Bris, Direktur IMD World Competitive Center (WCC), dalam keterangan tertulis, pada Rabu (18/6/2025).
Kenaikan peringkat daya saing tersebut didongkrak dari nilai ekspor migas dan komoditas. Namun, saat ini peringkat daya saing Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara anjlok imbas dari perang tarif yang ditujukan ke kawasan ini.
Tiga dari lima negara Asia Tenggara yang diukur dalam survei mengalami penurunan, Thailand turun 5 peringkat dan Singapura turun satu peringkat. Di sisi lain, posisi Malaysia meroket 11 peringkat dan Filipina naik satu peringkat. Kenaikan peringkat kedua negara ini didorong kebijakan industri dan investasi digital yang strategis.
Mayoritas negara di Asia Tenggara ini daya saingnya dinilai lebih baik dari Indonesia Singapura berada di peringkat 2, Thailand di peringkat 30, dan Malaysia 23. Indonesia hanya lebih baik dari Filipina yang berada di peringkat 51.
Riset WCR 2025, mengukur tingkat daya saing 69 negara dunia menggunakan data keras dan hasil survei. WCC memperhitungkan 262 informasi berupa 170 data eksternal dan 92 respons survei terhadap 6.162 responden eksekutif di tiap negara.
Berdasarkan survei, sebanyak 66,1 persen eksekutif Indonesia menganggap kurangnya peluang ekonomi jadi pendorong polarisasi. Artinya, masalah ekonomi mendasar seperti infrastruktur yang tidak memadai, lembaga lemah, dan keterbatasan talenta SDM (sumber daya manusia) mesti mendapat porsi perhatian yang besar.
Pembangunan yang dilakukan negara dianggap tidak inklusif membuat ketimpangan struktural, angka pengangguran tinggi, dan pembangunan yang tidak merata. Minimnya penciptaan lapangan kerja baru ini membuat warga frustrasi karena mempersulit mereka “naik kelas”.
Sektor yang harus diperbaiki
Untuk memperbaiki daya saing Indonesia, kita perlu melihat lebih rinci empat pilar yang dijadikan penilaian oleh WCC. Untuk urusan performa ekonomi, investasi internasional ke Indonesia perlu ditingkatkan, karena turun dari peringkat 36 ke 42.
Selain itu nilai ekspor layanan komersial tergolong rendah karena ada di peringkat 63 dari 69 negara. Kekuatan performa ekonomi Indonesia ditopang pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) per kapita dan riil. Ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas mentah, seperti batubara dan nikel, membuat kita rentan pada gejolak pasar global.
Hilirisasi belum berjalan efektif dan banyak menuai kontroversi, mulai dari konflik lahan hingga kerusakan lingkungan. Bahkan, proyek transisi energi seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) belum menyentuh substansi keadilan sosial dan lingkungan.
Terkait efisiensi pemerintah, kerangka kerja institusional mendapat rapor merah, turun dari peringkat 25 ke 51. Padahal selama ini pemerintah telah melakukan efisiensi anggaran, yang berdampak pada sejumlah program, bahkan berdampak tidak langsung pada lesunya sejumlah sektor terkait.
Pemerintah terus menggembar-gemborkan keberhasilan ekonomi makro dan berbagai proyek besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan transisi energi. Namun di lapangan, birokrasi masih berbelit, kebijakan sering berubah tanpa arah jelas, dan proses perizinan jauh dari kata efisien. Penilaian investor global menyoroti ketidakpastian ini.
Untuk itu pemerintah perlu memperbaiki struktur biaya yang tidak efektif, kemudahan prosedur membuat perusahaan baru, cadangan mata uang asing per kapita, hingga tingkat kekuatan paspor Indonesia. Sementara kekuatan efisiensi pemerintah terletak pada pengumpulan pajak pendapatan serta orang pribadi.
Efisiensi bisnis Indonesia turun dari 14 ke 26. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian yakni persoalan ketersediaan tenaga kerja asing, akses ke layanan finansial, serta tingkat produktivitas keseluruhan dan tenaga kerja.
Sementara di sektor infrastruktur paling perlu mendapat perhatian terkait infrastruktur teknologi yang merosot dari 32 ke 46. Penurunan ini akibat rendahnya total belanja kesehatan (68 dari 69 negara), belanja pemerintah untuk pendidikan (66), jumlah paten yang berlaku (66), dan kecepatan bandwidth internet (66) hanya 28,9 Mbps dari rata-rata 138 Mbps.
Kita juga bisa berkaca dengan negara lain yang memiliki daya saing tinggi. Dalam laporan ini, Swiss, Singapura, dan Hong Kong dinobatkan sebagai negara dengan perekonomian paling kompetitif di dunia. Sementara Kanada, Jerman, dan Luksemburg sebagai negara dengan peningkatan paling pesat dalam 20 negara teratas.
“Mata uang kuat muncul sebagai indikator keberhasilan jangka panjang,” kata Arturo Bris. Pada saat sama, reorganisasi jaringan perdagangan global memperlihatkan negara-negara yang mudah diakses bertindak demi kepentingan terbaik mereka, dan konsensus menunjukkan dirinya sebagai hal baik bagi perekonomian – kontras dengan dampak polarisasi.”
Jika ditarik mundur, peringkat tingkat daya saing keahlian sumber daya manusia Indonesia belum pernah masuk 30 besar.
Bukan hanya soal ekonomi
José Caballero, Ekonom Senior WCC dalam laporan ini mengingatkan, daya saing melampaui kinerja ekonomi. Daya saing mencakup kapasitas suatu negara untuk mengembangkan dan memelihara ekosistem yang mendukung penciptaan nilai jangka panjang dan kesejahteraan warga negaranya.
Negara yang membangun ekosistem seperti itu mampu mencapai tingkat daya saing yang tinggi. Dalam konteks seperti itu, polarisasi masyarakat dalam bentuk fragmentasi sosial-ekonomi dan politik (misalnya, ketimpangan pendapatan, fragmentasi politik, dan eksklusi sosial) menjadi faktor penting bagi kinerja dan stabilitas.
Ketimpangan pendapatan, misalnya, menurut Caballero, secara signifikan merusak kohesi sosial, yang penting bagi lingkungan ekonomi yang stabil dan produktif. Lebih jauh, inklusi sosial berhubungan negatif dengan ketimpangan pendapatan.
Selain itu, modal sosial – kombinasi kepercayaan dan keterlibatan warga negara – dan mobilitas sosial merupakan hal mendasar bagi kohesi masyarakat.
Negara-negara dengan kesenjangan pendapatan tinggi kerap mengalami penurunan kepercayaan pada lembaga dan berkurangnya partisipasi warga negara. Negara-negara seperti itu menunjukkan warga terfragmentasi sehingga menghambat upaya kolektif untuk meningkatkan daya saing.
Adapun LM FEB Universitas Indonesia yang jadi mitra WCC menyarankan pengembangan tenaga kerja produktif yang mampu meningkatkan daya saing ekonomi. Indonesia juga perlu melakukan integrasi strategi dari hulu ke hilir. Sebab, kebijakan pemerintah menjadi pendukung daya saing jangka panjang.
Investasi pada sumber daya manusia menjadi kunci dalam mendukung daya saing jangka panjang ini. Berdasarkan perhitungan data WCR 2025, Indonesia tertinggal urusan pendidikan (62 dari 69 negara), kesehatan dan lingkungan (63), dan kerangka institusional pemerintah yang efektif (51).
Meski bonus demografi sering dibanggakan, daya saing tenaga kerja Indonesia belum membaik signifikan. Mutu pendidikan masih timpang, terutama di luar Jawa.
Keterampilan teknis dan digital yang dibutuhkan industri masa depan belum menjadi prioritas. Kita sedang menuju industri 4.0, tetapi banyak tenaga kerja masih tertahan di era 2.0.
Jika kondisi ini berlanjut, bonus demografi di Indonesia bakal jadi beban di masa depan. Melonjaknya angkatan kerja muda tanpa kemampuan memadai hanya akan menambah masalah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2024 menunjukkan, tingkat pengangguran usia muda (15–24 tahun) di Indonesia 17,32 persen.
Sementara angka youth NEET (youth not in employment, education, and training) mencapai 20,31 persen. Hal ini berarti 1 dari 5 atau sekitar 9 dari 44 juta usia muda, sedang tidak bekerja, tidak sedang bersekolah, dan tidak sedang mengikuti pelatihan/kursus.
Jumlah NEET di Indonesia ini lebih tinggi dari rata-rata di ASEAN sebesar 16,3 persen. Singapura memiliki NEET hanya 4,1 persen, Vietnam 10,82 persen, Malaysia 13,63 persen, dan Thailand 15 persen.
Penurunan daya saing dan NEET yang mengkhawatirkan ini bukan sekadar angka. Ia mencerminkan kualitas tata kelola negara. Di tengah krisis iklim, ketegangan geopolitik, dan disrupsi teknologi, Indonesia justru terjebak dalam stagnasi struktural yang memperburuk iklim ekonomi.
Kini saatnya pemerintah menyadari bahwa daya saing tidak dibangun dengan proyek-proyek mercusuar, tetapi lewat perbaikan institusi, pendidikan, dan kepastian hukum. Transisi energi, ekonomi hijau, atau digitalisasi hanya bisa berjalan jika fondasi sosial dan politiknya kuat.
Penurunan peringkat WCR ini seharusnya menjadi cermin koreksi, bukan dibantah dengan retorika kosong. Perlu dicatat, selain dipengaruhi kinerja ekonomi yang dipengaruhi beberapa faktor termasuk dukungan SDM, iklim investasi tidak lepas dari kualitas demokrasi.
Ketika kebebasan sipil menyempit, transparansi merosot, dan hukum tidak berdiri tegak, maka investor pun ragu. Dunia usaha membutuhkan kepastian hukum dan ruang publik yang sehat. Tanpa itu, pembangunan ekonomi hanya menjadi narasi elitis yang jauh dari rakyat. Adm
Sumber : Kompas.id