ADVETORIALBERITA TERKINIHEADLINE

Beda Tradisi Haroa & ‘Munggahan’ Khas Jawa, Perdana Digelar Pj Gubernur Andap Budhi di Sultra

×

Beda Tradisi Haroa & ‘Munggahan’ Khas Jawa, Perdana Digelar Pj Gubernur Andap Budhi di Sultra

Sebarkan artikel ini

LAJUR.CO, KENDARI – Pj Gubernur Sulawesi Tenggara Andap Budhi Revianto menggelar tradisi Munggahan jelang bulan Ramadan 2024, Jumat (8/3/2024). Ini adalah ritual Munggahan perdana dilalui Sekjen Kemenkumham RI sejak mengemban amanah 01 Bumi Anoa.

Ritual menandai awal bulan puasa dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran oleh Qori Dewi Sartika, pembacaan doa dalam menyambut bulan Suci Ramadhan 1445 H, hingga pemberian santunan kepada 50 anak yatim piatu serta perwakilan masyarakat tidak mampu.

Kegiatan mengusung tema “Jadikan Ramadhan sebagai momentum melatih kesabaran menggapai ketakwaan, serta membentuk pribadi yang peduli dan pandai bersyukur”, dihadiri Imam Besar Mesjid Agung Al-Kautsar KH. Djakri Napu, kepala OPD Sultra, Karo Kesra Sultra Iwan Susanto serta anak-anak Pondok Hidayatullah.

Kata Andap, ini adalah kali pertama dirinya menggelar ritual Munggahan di Sultra. Jika biasa tradisi masyarakat lokal mengisi tradisi Haroa atau Meharoa menyambut bulan suci Ramadan, khusus bagi pendatang dikenal dengan tradisi “Munggahan”. Munggahan yang diambil dari salah satu bahasa daerah berarti naik di tempat yang lebih tinggi dan mulia.

Munggahan digelar Biro Kesra Pemprov Sultra menyambut awal Ramadan, Jumat (8/3/2024).

Tradisi tersebut menandai rasa syukur kepada Allah SWT, agar dapat dipertemukan dengan Bulan Suci Ramadan berikutnya. Pertemuan ini juga menjadi momen saling memaafkan antara umat manusia baik antar ASN, anak-anak, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh wanita

Baca Juga :  Target Raih Sembilan Kursi di DPRD Sultra, Partai NasDem Gelar Konsolidasi Kemenangan di Kendari

“Semoga kegiatan ini dapat berlanjut nanti, siapapun pimpinannya, siapapun gubernurnya mungkin dari waktu ke waktu lebih ditingkatkan kembali, dan Ketiga, sebagai ajang silahturahmi diantara kita, ditengah kesibukan kita masing-masing tentu kita harus meningkatkan silahturahmi diantara kita sesuai tema yang kita susun tahun ini,” ucap Andap.

Eks Kapolda Sultra itu tak lupa menyampaikan Marhaban Ya Ramadhan, mohon maaf lahir dan batin serta suka cita menyambut bulan yang suci dan penuh keberkahan dengan segenap hati yang bersih, saling memaafkan.

“Mohon maaf lahir dan batin, semoga dipertemukan di bulan Suci Ramadan sebagai pembelajaran dan momentum kembali ke fitri, selamat menunaikan ibadah puasa, sehingga ibadah kita diterima oleh Allah SWT,” ungkap Andap.

Munggahan dan Haroa Tradisi Nusantara Menyambut Bulan Puasa

Dilansir situs Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, Munggahan adalah tradisi masyarakat Islam suku Sunda untuk menyambut datangnya bulan Ramadan. Munggahan berasal dari kata bahasa sunda ‘Munggah’ yang artinya berjalan/naik atau keluar dari kebiasaan kehidupan sehari-hari.

Baca Juga :  Instruksi Pj Gubernur Andap Tak Mempan, PT VDNI Ngeyel Bayar Tunggakan Pajak Rp26 Miliar

Munggahan merupakan tradisi yang dilakukan dengan berbagai cara sebagai tanda gembira dan suka cita menyambut bulan suci Ramadan yang penuh keberkahan.

Secara harfiah, munggah dalam bahasa Jawa artinya naik, bisa disimpulkan munggahan bermakna naik ke bulan suci yang derajatnya lebih tinggi.

Jika di Jawa ada tradisi Munggahan, di Provinsi Sultra mengenal ritual Meharoa. Tradisi lokal di kalangan masyarakat Bumi Anoa digelar temurun jelang bulan puasa.

Tradisi Meharoa digelar masyarakat Islam di Sultra menyambut Ramadan.

Dikutip dari Wikipedia, Haroa adalah tradisi menyambut bulan Ramadan oleh masyarakat Buton dan Muna di Sulawesi Tenggara. Kata haroa berarti sesajen (sajian makanan) yang disiapkan untuk menyambut datangnya bulan Ramadan. Sedangkan dalam bahasa Muna, Haroa berasal kata “haro” yang artinya ‘sapu’ atau ‘membersihkan’. Haroa yang juga dilaksanakan oleh masyarakat Liya bukan sekedar ritual belaka, tetapi merupakan kebiasaan turun temurun dan memiliki nilai tertentu.

Pada tradisi Haroa akan disajikan makanan berupa sepiring nasi minyak tertutup telur yang berada ditengah talang dan kue tradisional berupa onde-onde, wajik (waje), ubi goreng (ngkaowi-owi), cucur (cucuru), kue beras (baruasa), pisang goreng (sanggara), kue pasta (epu-epu), dan bolu serta Manu nasu wolio (ayam masak khas wolio) yang disajikan dalam cangkir. Sajian tersebut akan diletakkan di wadah bernama Tala (talang berkaki) dengan penutup yang oleh masyarakat Liya menyebutnya dengan katubangko.

Baca Juga :  Dua Daerah di Sultra Tak Laksanakan Rekomendasi PSU dari Bawaslu RI
Makanan tradisional Sultra disajikan pada ritual Meharoa.

Sajian ini akan berbeda yang meliputi tata letak/piranti saji maupun perbedaan jumlah kuliner yang didasarkan pada status sosial. Pada beberapa wilayah memiliki tata cara pengisian talang yang berbeda-beda, misalnya masyarakat Wajo-Lamangga, Melai, Wameo dan Kadolo.[3] Juga ada perbedaan jumlah setiap makanan yang akan disajikan, yaitu satu piring untuk satu jenis makanan dan berjumlah ganjil jika Haroa tersebut untuk bulan baik sedangkan untuk Haroa orang yang telah meninggal jumlah sajian akan berjumlah genap.

Selain menjadi upacara mengucap syukur, tradisi Haroa juga bisa berfungsi sebagai media penyelesaian konflik dan penyatuan masyarakat yang beda suku, dikarenakan acara ini mengundang para kenalan tidak terbatas oleh suku tertentu saja. Adm

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x