LAJUR.CO, KENDARI – Pohon bakau atau mangrove ditebang, lalu diambil untuk dijadikan kayu bakar. Warga setempat memanfaatkan keberadaan pohon bakau sebagai lokasi sumber pengambilan kayu bakar digunakan di rumah mereka. Inilah yang terjadi di Desa Umba, Kecamatan Napano Kusambi, Kabupaten Muna Barat (Mubar). Desa Umba merupakan salah satu wilayah tumbuhnya pohon bakau di Kabupaten Mubar.
Hal itu dikemukakan langsung Kepala Desa Umba, La Ode Alwi Haidatul saat diwawancarai awak Lajur.co, Rabu (17/7/2024). Hutan mangrove ratusan hektar di desa itu belum dikelola secara optimal sehingga masih dimanfaatkan sebagai kayu bakar oleh warga yang membutuhkan.
“Masyarakat setempat yang menebang, untuk kayu bakar. Luasnya 387 hektar,” ujar La Ode Alwi.
Pohon mangrove tumbuh di air payau dan dipengaruhi pasang – surutnya air laut. Salah satu jenis mangrove adalah Rhizophora mucronate atau dikenal dengan bakau. Pohon ini tumbuh khusus di tempat-tempat terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai tempat air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ketika penebangan pohon dilakukan secara terus-terusan, maka hutan mangrove akan mengalami degradasi bahkan kepunahan di kemudian hari. Ketika hutan bakau rusak maka akan menurunkan kualitas air, polutan dan limpatan nutrisi akan lebih mudah masuk ke dalam laut. Aktivitas penebangan pohon ini juga akan membawa dampak buruk bagi spesies yang hidup di dalamnya.
Hutan mangrove di Kabupaten Mubar hanyalah sebagian kecil kawasan mangrove yang ada di Sulawesi Tenggara (Sultra). Selain di Desa Umba, hutan mangrove juga tersebar di beberapa wilayah seperti di Desa Tondasi, Tiworo Utara, dan di sejumlah kecamatan lainnya.
Dipaparkan Kabid Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Dishut Sultra, La Ode Yulardhi bahwa total luas hutan mangrove di Sulawesi Tenggara (Sultra) adalah 93.564,98 hektar. Hutan itu terdiri atas luas potensi dan luas existing. Potensi habitat mangrove meliputi area terabrasi, lahan terbuka, mangrove terabrasi, tambak dan tanah timbul.
Hal ini disampaikan La Ode Yulardhi selaku Ketua Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) Sultra saat webinar “Potret Tata Kelola Mangrove di Muna dan Muna Barat” diselenggarakan Yayasan Blue Forest dan Mongabay Indonesia, Rabu (10/7). Kegiatan ini dilaksanakan sebagai rangkaian peringatan Internasional Mangrove Day 2024.
Baik di Sultra maupun di Indonesia secara umum, hutan mangrove banyak dijadikan sebagai spot wisata. Eksotisme mangrove menjadi daya tarik tersendiri di sebuah kawasan yang dikelola sebagai Lokasi destinasi liburan. Oleh karena itu, lanjut La Ode Alwi bahwa ratusan hektar di Desa Umba tersebut akan dijadikan sebagai lokasi Tracking Mangrove. Sejumlah keanekaragaman hayati banyak terdapat di dalamnya.
“Tahun depan Insya Allah mau dijadikan tracking mangrove, kami sudah lakukan perencanaan dan langkah-langkah,” papar La Ode Alwi.
Dengan adanya tracking mangrove dapat mengurangi aktivitas penebangan pohon oleh oknum – oknum tertentu, sebab wilayahnya telah dikelola untuk pelestarian lingkungan. Tour mangrove termasuk kegiatan wisata yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Selain itu, juga dapat mendukung usaha – usaha masyarakat lokal di sekitar kawasan hutan mangrove. Red