SULTRABERITA.ID, KENDARI – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut kasus pelanggaran hak anak masih tinggi di tahun 2019. Tercatat dari data yang dihimpun KPAI, sebanyak 4.369 kasus pelanggaran hak anak terjadi di tahun 2019.
BACA JUGA :
- Tips Mengemudi Aman Mudik Lebaran 2025
- Melihat Atraksi Pawai Ogoh-Ogoh di Koltim, Abd Azis: Budaya Lokal, Wajib Dilestarikan!
- Catat! Golongan Wajib Pajak Ini Tak Perlu Lapor SPT 2025
- Gelontorkan Duit Pribadi Rp1 Miliar, ASR Lepas Mudik Gratis Gelombang Pertama
- Jerih Payah Atlet Peraih Medali PON Terbayarkan, Gubernur ASR: Tak Ada Lagi Bonus Atlet yang Telat!
Ketua KPAI Susanto mengatakan sebanyak 2.430 kasus pelanggaran tersebut bersumber dari hasil pengawasan. Kemudian, sebanyak 1.939 kasus pelanggaran hak anak berasal dari data pengaduan masyarakat langsung kepada KPAI.
“Jumlah kasus pelanggaran hak anak di tahun 2019 mengalami penurunan sebesar 5,5% dibandingkan dengan tahun 2018 yang berjumlah 4.885 kasus,” kata Susanto kepada wartawan di kantor KPAI, Jl Teuku Umar, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (18/2/2020).
Susanto mengatakan dalam kasus pelanggaran hak anak paling dominan adalah kasus anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) sebanyak 1.251 kasus. Kemudian, kata dia, disusul oleh kasus pelanggaran hak anak dalam bidang keluarga dan pengasuhan alternatif sebanyak 896 kasus.
“Kasus pelanggaran hak anak terkait pornografi dan cyber crime sebesar 653, kasus pelanggaran hak anak terkait dengan kesehatan dan napza sebesar 344 kasus,” katanya.
Lebih jauh, Susanto menuturkan dalam kasus pelanggaran terhadap anak dalam 10 tahun terakhir cenderung tidak stabil. Menurutnya, ada beberapa kendala dalam melakukan pencegahan agar pelanggaran terus menurun.
“Pertama adalah peran pengasuhan karena belum seluruh masyarakat Indonesia yang punya anak dan calon orang tua memiliki perspektif dan kemampuan terkait pengasuhan yang ramah anak. Faktanya bukan hanya menjadi pelaku tapi dalam beberapa kasus kan permisif dalam pengasuhan,” katanya.
Kedua, kata dia, lingkungan sosial yang kini terjadi dalam kelompok masyarakat tertentu cenderung individualistis dan materialistis. Menurutnya, faktor kepekaan sosial juga dapat mempengaruhi dalam pencegahan kasus-kasus pelanggaran terhadap anak di lingkungan tertentu.
“Makanya semangatnya kegotongroyongan yang ini menjadi nilai yang melekat di Pancasila saya kira butuh dibudayakan agar semangat kita mendeteksi, membantu orang lain dan anak agar tidak menjadi korban,” katanya.
Selanjutnya, Susanto menyebut dinamisme media sosial yang luar biasa mempengaruhi pelanggaran terhadap anak masih tinggi. Menurutnya, masyarakat dapat dengan mudah menyebarkan konten video kekerasan tersebut lewat medsos yang seharusnya tidak boleh terjadi.
“Saya imbau kepada masyarakat berhenti di kalian, jangan sampai video kekerasan itu di-share di grup atau ke orang lain. Karena sangat membahayakan dan bisa berpotensi anak-anak kita terpapar dan terimitasi dari konten dalam video itu,” katanya.
Terakhir, kata dia, sejumlah program layak anak di kabupaten dan kota harus terus dievaluasi dan di-inovasi. “Peran daerah memang dalam sejumlah kasus sudah mulai membaik. Contoh ada program kabupaten atau kota layak anak, dari sisi program cenderung membaik. Tapi kualitas itu yang harus terus di-inovasikan, harus dikuatkan dan terus di evaluasi,” sebut Susanto. Adm
Sumber : detik.com
Judul : https://m.detik.com/news/berita/d-4903880/kpai-catat-4369-kasus-pelanggaran-hak-anak-di-tahun-2019