BERITA TERKININASIONAL

MA Disebut Mengalami ‘Kemunduran Luar Biasa’ karena Melarang Hakim Kabulkan Permohonan Nikah Beda Agama

×

MA Disebut Mengalami ‘Kemunduran Luar Biasa’ karena Melarang Hakim Kabulkan Permohonan Nikah Beda Agama

Sebarkan artikel ini
Foto : Ist

LAJUR.CO, JAKARTA – Mahkamah Agung didesak mencabut Surat Edaran yang ditujukan kepada para hakim untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan nikah beda agama.

Akan tetapi Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, mendukung aturan teranyar ini karena meyakini bahwa peristiwa pernikahan merupakan peristiwa keagamaan.

Kata dia, jika Islam menyatakan perkawinan beda agama tidak sah maka tidak bisa dicatatkan secara resmi oleh negara.

Mahkamah Agung baru saja mengeluarkan Surat Edaran (SEMA) tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat yang Berbeda Agama dan Keyakinan.

Surat yang ditandatangani Ketua MA, Muhammad Syarifuddin pada 17 Juli 2023 ini memerintahkan para hakim untuk “tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan”.

Rujukan MA didasarkan pada Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di Pasal 2 Ayat 1 yang berbunyi: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

Dan Pasal 8 UU Perkawinan yang menyebutkan ada enam larangan perkawinan antara dua orang, salah satunya “mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.

Direktur Program Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP), Ahmad Nurcholis –yang juga sebagai konselor pasangan beda agama– mengatakan terbitnya SEMA merupakan kemunduran yang luar biasa bagi Mahkamah Agung. Pasalnya dibandingkan lembaga yudikatif lain seperti Mahkamah Konstitusi, MA tergolong progresif dalam hal perkawinan beda agama dengan terbitnya putusan MA nomor 1400/K/Pdt/1986.

Putusan itu menyatakan perkawinan beda agama sah di Indonesia dengan jalan penetapan pengadilan –yang kemudian menjadi yurisprudensi bagi hakim lain dalam memutus perkara serupa.

“Jadi sebetulnya putusan MA tahun 1986 itu memberikan jalan keluar. Karena itu saya kecewa dan terkejut kenapa Mahkamah Agung justru ikut-ikutan Mahkamah Konstitusi yang kurang bersahabat terhadap pasangan beda agama,” imbuh Nurcholis kepada BBC News Indonesia, Rabu (19/07).

Kini setelah keluarnya SEMA, Nurcholis khawatir hakim-hakim progresif bakal terpengaruh secara psikologis untuk menolak gugatan permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Itu artinya menutup peluang secara legal untuk mengesahkan perkawinan beda agama.

“Keluarnya SEMA bisa jadi hakim di pengadilan negeri lebih berhati-hati atau bahkan bisa tiarap tidak mengabulkan terlebih dahulu.”

“Kalau begitu peluangnya hanya menikah di luar negeri baru dicatatkan ulang di Indonesia atau pindah agama sementara walaupun sebetulnya tricky dan tidak dikehendaki pasangan itu,” jelas Nurcholis.

Baca Juga :  7 Penyebab Perubahan Iklim yang Bikin Bumi Makin Panas

“Tapi terpaksa karena aturan negara tidak cukup friendly terhadap pernikahan beda agama.”

‘MA cabut surat edaran karena sarat intervensi politik’

Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menjelaskan SEMA dibuat untuk mengontrol peradilan dan mengikat bagi hakim serta harus ditaati.

Namun dalam proses pembuatannya, tidak ada mekanisme kontrol lantaran sepenuhnya menjadi kewenangan MA sehingga terkadang rawan disalahgunakan.

Meskipun secara teknis hukum SEMA bisa digugat di PTUN, kata Bivitri, tetapi sudah pasti akan ditolak.

“Bisa diuji tapi yang menguji adalah hakim PTUN, masak jeruk makan jeruk?” imbuhnya.

Pengamatan Bivitri, SEMA nomor 2 tahun 2023 ini tak bisa dilepaskan dari kunjungan Wakil Ketua MPR Yandri Susanto ke Mahkamah Agung sepekan sebelum keluarnya peraturan tersebut.

Pada pertemuan itu, sebagaimana dilaporkan kantor berita Antara, Yandri meminta Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama pada akhir Juni lalu.

“Dan ternyata benar keluar SEMA. Ini kuat mengindikasikan ada intervensi politik.”

Setelah terbitnya peraturan anyar ini, kata Bivitri, peluang melegalkan pernikahan beda agama jadi tertutup. Pasalnya putusan MA nomor 1400/K/Pdt/1986 tidak lagi bisa dijadikan rujukan hakim dalam memutus perkara.

Sehingga celah yang tersisa bagi pasangan beda agama adalah pindah agama sementara agar bisa dicatatkan di kantor catatan sipil.

“Aturan ini menimbulkan masalah baru, membuat orang mengonversi agama demi melegalkan pernikahan atau kawin di luar negeri.”

“Bagi generasi muda akan jadi jauh dari agama. Membuat orang dalam melihat agama semakin menjadi penghalang dan tidak relevan bagi hidup mereka.”

Kendati dari pengamatannya, Surat Edaran MA ini sebetulnya menabrak Undang-Undang Administrasi Kependudukan –yang tidak melarang pencatatan perkawinan beda agama. Selain itu larangan perkawinan beda agama melanggar hak asasi manusia.

Pasal 16 ayat 1 Deklarasi Universal HAM menyatakan “Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga.”

Kemudian pasal 23 ayat 2 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik menyebutkan, “Hak laki-laki dan perempuan dalam usia perkawinan untuk menikah dan membentuk keluarga harus diakui.”

“Sebaiknya MA mencabut atau merevisi surat edarannya, itu lebih masuk akal agar tidak melanggar UU Admiduk.”

Apa respons MUI?

Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, mengapresiasi langkah Mahkamah Agung menerbitkan aturan tentang larangan pencatatan perkawinan beda agama.

Baca Juga :   Jokowi Teken Perpres Soal Kementerian Kelautan dan Perikanan

Sebab, kata Asrorun, Undang-Undang Perkawinan pasal 2 ayat 1 tidak memberikan legalitas terhadap praktik perkawinan beda agama baik secara ritual keagamaan maupun peraturan perundang-undangan.

Itu mengapa klaimnya, surat edaran ini wujud harapan publik agar tidak ada kesimpangsiuran pemahaman.

“SEMA ini adalah penegasan bahwa perkawinan beda agama itu bertentangan dengan hukum dan karena itu tidak memenuhi asas legalitas sehingga tidak bisa dicatatkan,” ucap Asrorun kepada BBC News Indonesia.

“Jadi tidak logis peristiwa agamanya tidak absah dicatatkan sebagai peristiwa yang sah.”Dia berharap setelah adanya peraturan terbaru dari Mahkamah Agung, tidak ada lagi praktik-praktik penyelundupan hukum yang dilakukan oleh orang-orang yang disebutnya “pura-pura tidak paham aturan”.

Praktik penyelundupan hukum yang dia maksud yakni pindah agama sementara untuk sekadar bisa dicatatkan di kantor catatan sipil.

Pengadilan mana saja yang mengabulkan pernikahan beda agama?

Beberapa pengadilan di Indonesia disebut sudah mulai mengabulkan permohonan pernikahan beda agama dengan bersandar pada UU Adminduk, putusan MA nomor 1400/K/Pdt/1986, dan alasan sosiologis.

Pasa Juni 2022 misalnya Pengadilan Negeri Surabaya mengesahkan pernikahan beda agama pasangan Islam dan Kristen. Dalam putusannya hakim memerintahkan dukcapil mencatatkan perkawinan tersebut.

Pemohon dalam gugatan itu adalah RA sang calon pengantin pria dan EDS yang menjadi calon pengantin perempuan.

Keduanya diketahui menikah sesuai agama masing-masing pada Maret 2022. Tapi saat hendak mencatatkan ke Dinas Catatan Sipil ditolak. Mereka lalu mengajukan penetapan ke PN Surabaya agar diizinkan menikah beda agama.

“Memberikan izin kepada Para Pemohon untuk melangsungkan perkawinan beda agama di hadapan pejabat Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Madya Surabaya,” demikian bunyi penetapan yang diketok oleh hakim tunggal Imam Supriyadi.

Kemudian pada akhir November 2022, Pengadilan Negeri Tangerang juga mengesahkan perkawinan sepasang pengantin beragama Islam dan Kristen yakni EHS dan MG.

Keduanya menikah di sebuah paroki di Rantauprapat pada 23 Juli 2022. Setelah menikah mereka hidup serumah di Serpong, Tangsel, Provinsi Banten.

Mereka lantas meminta penetapan dari pengadilan agar Dukcapil mau mencatat pernikahan beda agama keduanya.

Oleh hakim tunggal Aji Suryo, pasangan itu diberikan izin untuk mengesahkan perkawinan beda agama menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Tangsel.

Baca Juga :  Distanak Sultra: Mahfud MD Jadi Penilai Penghargaan Satyalencana Wirakarya Diterima Gubernur Ali Mazi

Pengadian Negeri Yogyakarta juga tercatat pernah mengesahkan pernikahan antara AP yang beragama Islam dan NY yang beragama Katolik. Perkawinan keduanya disahkan hakim untuk mencegah terjadinya kumpul kebo.

Dilansir dari situs Mahkamah Agung pada 16 Desember 2022, pasangan itu menikah pada 3 September 2022 di sebuah gereja di Sleman. Setelah menikah mereka tinggal di Bantul.

Namun keduanya mengalami kendala saat ingin mencatatkan pernikahannya ke Dinas Dukcapil Kota Yogyakarta lantaran perbedaan keyakinan

Karenanya pasangan tersebut meminta penetapan dari PN Yogyakarta dan akhirnya dikabulkan.

Baru-baru ini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga membuat terobosan serupa.

Hakim tunggal I Dewa Made Budiwatsara mengizinkan pasangan YT yang beragama Islam dan CM yang Katolik mendaftarkan perkawinannya ke Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Jaksel.

Pasangan itu diketahui sudah menikah di sebuah gereja di Jakarta, akan tetapi ketika hendak mendaftarkan ke Dukcapil, diminta meminta izin terlebih dahulu ke pengadilan.

Hakim mengabulkan permohonan mereka dan memerintahkan Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Jaksel untuk mencatatkan Perkawinan Beda Agama Para Pemohon ke Register Pencatatan Perkawinan yang digunakan untuk itu dan segera menerbitkan Akta Perkawinan tersebut.

Teranyar adalah PN Jakarta Pusat yang pada akhir Juni 2023 membolehkan pernikahan beda agama terhadap pasangan JEA yang beragama Kristen dan SW yang menganut agama Islam.

Pasangan tersebut menikah di sebuah gereja di Pamulang, namun kala ingin mendaftarkan ke negara ditolak dengan alasan perbedaan agama.

Itu sebabnya mereka mengajukan permohonan ke PN Jakpus.

“Memberikan izin kepada para pemohon untuk mencatatkan perkawinan beda agama di Kantor Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Jakpus,” demikian putus hakim tunggal Bintang AL.

Hakim Bintang AL menyatakan putusan itu sesuai Pasal 35 huruf a UU 232006 tentang Adminduk.

Juga berdasarkan putusan MA Nomor 1400 K/PDT/1986 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang izin perkawinan beda agama.

“Bahwa dengan demikian pula Pengadilan berpendapat bahwa perkawinan antar agama secara obyektif sosiologis adalah wajar dan sangat memungkinkan terjadi mengingat letak geografis Indonesia, heterogenitas penduduk Indonesia dan bermacam agama yang diakui secara sah keberadaannya di Indonesia, maka sangat ironis bilamana perkawinan beda agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undang-undang,” ucap hakim Bintang AL. Adm

Sumber : Kumparan.com

 

 

 

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x