LAJUR.CO, KENDARI – Layang – layang tertua di dunia, atau dikenal “Kaghati Kolope” yang biasanya ditampilkan dengan ukuran besar dalam acara – acara tertentu, kini bisa digunakan sebagai cinderamata unik. Layang-layang purba ini telah lama wara wiri di berbagai kegiatan nasional maupun internasional.
Salah seorang pelayang di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara (Sultra) Suharmin berbagi cerita soal pembuatan cinderamata mini ‘Kaghati Kolope’ sejak beberapa tahun terakhir. Suharmin mulai membuat mini ‘Kaghati Kolope’ pada tahun 2020 untuk dijadikan oleh – oleh. Saat itu, jangkauan pasar hasil karya tangannya hanya di lingkup Pemda Muna untuk tokoh – tokoh penting yang berkunjung di sana.
“Setelah kita ikut kegiatan rekor muri di Jakarta waktu itu, kita pulang kita berpikir untuk membuat miniatur karena kalau layang – layang besar susah bawanya kemana mana. Kaghati jadi salah satu cinderamata selain tenun,” ujar Suharmin, kepada awak Lajur.co, Selasa (23/7/2024).
Kaghati Kolope telah ada sejak zaman dahulu dan keberadaannya dibuktikan dengan adanya lukisan tangan manusia yang menggambarkan layang – layang di dalam Gua Sugi Patani di Desa Liangkabori. Lukisan tangan itu ditemukan seorang antropolog Jerman bernama Wolfgang Bick.
Jangkauan pasar mini ‘Kaghati Kolope’ kemudian berkembang seiring perkembangan teknologi informasi. Kata Ketua Perkumpulan Pelayang Indonesia (Pelangi) Sultra itu, kini dirinya sudah mulai menerima pesanan lewat online.
“Ada juga yang pesan online, atau misal orang Muna ke Kalimantan dia beli untuk dia bawa sebagai oleh – oleh,” lanjutnya.
Untuk bahan yang digunakan dalam pembuatan layang-layang ini adalah daun umbi hutan yang dikenal dengan nama daun Kolope dalam bahasa Muna. Layang – layang ini juga menggunakan serat nenas hutan sebagai talinya serta bambu buluh untuk kerangka serta penyambung antar daunnya.
Namun, dalam proses pembuatannya ini, Suharmin mengalami sejumlah kendala. Mulai dari perolehan bahan yang berasal dari alam, hingga sulitnya mendapat frame atau bingkai yang kuat dan tahan lama. Saat ini dirinya sudah menggunakan bingkai akrilik yang lebih ringan dibanding bingkai terbuat dari kayu.
“Kemarin itu buat dari kayu frame-nya jadi berat, issah dibawa, gampang pecah karena terlalu besar karena masih tradisional. kita modifikasi framenya pakai akrilik tapi harganya mahal,” tuturnya.
“Kalau ambil daun itu biasanya kita di Masjid Muna, kampung lama paling bagus daunnya. Di sana lebih tebal, lebih lebar, lebih panjang. Tapi ini kendalanya sekarang, daun Kolope sudah dimakan sapi, jadi jauh kita jalan sampai dapat,” sambungnya.
Sementara untuk pembuatannya sendiri membutuhkan keuletan dan kesabaran dalam mulai dari membuat rangka hingga menjadi sebuah layang – layang. Daun Kolope atau umbi hutan yang sangat mudah sobek memerlukan kehati-hatian saat digunakan. Layang – layang ini dijahit menggunakan benang serat nenas dan rautan bambu buluh ukuran kecil, sedang rangkanya terbuat dari bambu.
“Kalau mau buat Kaghati ini gampang – gampang susah, karenanya rapuh sekali. Kalau dipegang terlalu keras itu robek. Gampang rusak. Nanti setelah daun diasapi dijemur sampai kering, disetrika dan dipotong potong baru bisa dibentuk jadi layang – layang,” jelas Suharmin yang juga merupakan penyuluh pertanian di Desa Bea, Kecamatan Kabawo ini.
Meski demikian, cinderamata jenis ini bisa lebih awet dan mudah dibawa kemana – mana daripada layang – layang ukuran besar. Cinderamata ini dibanderol dengan harga sebesar Rp400 ribu – Rp500 ribu. Sementara untuk ukurannya yakni 40 cm x 37 cm, sedang bingkainya 40 cm x 45 cm.
Selain sebagai cinderamata, Suharmin juga kerap membuat kegiatan workshop mengajar anak-anak membuat miniatur Kaghati Kolope. Para peserta begitu antusias mengitu tata cara pembuatan layang – layang tersebut mulai dari Menyusun daunnya hingga menjadi sebuah layangan siap pakai. Red
Semoga selalu ada jalan dan kemudahan agar bisa terus melestarikan dan mengembangkan kegiatan ini.
Sukses selalu dan terimakasih pak atas kepeduliannya menjaga salah satu identitas daerah kita tercinta ini.