LAJUR.CO, KENDARI – Stres bisa disebabkan oleh berbagai hal, entah tuntutan pekerjaan atau banyaknya tugas di rumah.
Meski kita mencoba menutupi stres, nyatanya hal itu bisa dilihat dari kondisi kulit kita.
Lalu, bagaimana stres memengaruhi kulit dan apa yang bisa dilakukan dalam menjaga kulit agar tetap sehat?
Stres bisa memicu peradangan
“Begitu banyak masalah kulit terkait pelepasan bahan kimia inflamasi yang tidak tepat,” kata Richard Fried, MD, PhD, dokter kulit, psikolog klinis, dan direktur klinis Yardley Dermatology.
Peradangan adalah respons tubuh terhadap gangguan kesehatan kita.
Peradangan berperan penting menjaga kita tetap sehat, karena tubuh perlu mempertahankan diri dari bahaya virus, seperti virus flu.
Namun terkadang tubuh bereaksi berlebihan terhadap zat yang sebenarnya tidak berbahaya, seperti alergi atau sesuatu yang tidak memerlukan respons berlebihan –dalam hal ini, stres.
“Respons stres, apakah kita memiliki tenggat waktu pekerjaan, mengalami masalah dengan keluarga atau cinta, semuanya sama,” ujar Fried.
“Sistem kekebalan kita bersiap-siap untuk berperang.”
Alhasil, sistem kekebalan tubuh akan melepaskan bahan kimia seperti interleukin yang berfungsi melindungi kesehatan kita, dan pada akhirnya memicu peradangan.
Jika faktor lingkungan atau genetik membuat kita rentan terkena penyakit kulit tertentu, maka peradangan dapat meningkatkan risiko penyakit.
“Stres adalah pemicu umum yang dapat membuat kulit bereaksi secara tidak semestinya,” imbuh Fried.
Stres menyebabkan kulit sensitif
Seperti dilaporkan Mayo Clinic, merasa kewalahan karena stres merupakan salah satu pemicu kulit kering, gatal, dan meradang di seluruh bagian tubuh atau juga dikenal dengan penyakit eksim.
Juga, stres akan menyebabkan penyakit psoriasis, kondisi timbulnya luka, iritasi, bercak bersisik, dan rosacea yang memicu kulit wajah memerah disertai benjolan yang terasa panas ketika disentuh, hingga jerawat.
Sejumlah kondisi lain yang terkait erat dengan stres yaitu dermatitis seboroik dan telogen effluvium.
Dermatitis seboroik adalah bercak berminyak yang biasa terlihat di kulit kepala dan mampu menyebabkan ketombe.
Sementara itu, telogen effluvium merupakan kondisi di mana rambut rontok berlebihan karena stres yang parah.
“Stres dan bahan kimia pro-inflamasi menyebabkan rambut beralih dari fase pertumbuhan ke fase rontok,” papar Arielle Nagler, MD, dokter kulit di NYU Langone Health.
Masalah kesehatan lain berupa skin picking disorder atau trichotillomania (gangguan pengendalian yang ditandai dengan keinginan mencabut rambut) juga terkait dengan stres.
Shannon Bennett, PhD, psikolog di Weill Cornell Medicine dan NewYork-Presbyterian mendeskripsikan trichotillomania sebagai gangguan pengendalian impuls yang bisa bertambah buruk jika individu stres.
Menarik rambut bisa menjadi cara individu untuk mencoba mengatasi emosi negatif. Jika merasa stres, maka individu tersebut bisa lebih sering melakukan tindakan ini.
Trichotillomania dapat berdampak secara fisik maupun mental, di mana individu dengan gangguan tersebut akan mengalami infeksi kulit, hingga diliputi perasaan bersalah dan malu.
Menurut Fried, stres yang dibiarkan dalam waktu lama dapat membuat sistem kekebalan kita menjadi hiperiritasi dan mengganggu kulit.
Hal itu sama seperti saat kita disibukkan dengan pekerjaan dalam waktu seminggu, dan tiba-tiba seseorang menghalangi perjalanan menuju kantor hingga akhirnya kita terlambat bekerja.
Kemungkinan besar emosi kita akan memuncak ketika seseorang menghalangi kita, dibandingkan jika hal serupa terjadi saat hidup kita berjalan baik.
“Kami menggunakan konsep itu untuk sistem kekebalan.”
“Ketika sistem kekebalan kita dalam kondisi baik, tidak masalah. Jika sistem kekebalan tidak dalam kondisi baik, stres dapat membuat kulit kita bertingkah buruk,” kata Fried.
“Bisa saja kulit menunjukkan reaksi negatif saat kita memakai pelembap biasa dan wewangian biasa, makan makanan yang sama, atau memakai pewarna rambut yang biasanya tidak merusak kulit kepala.”
Gaya hidup yang buruk mengganggu kesehatan kulit
Kebiasaan menyentuh wajah saat gugup atau stres dapat menimbulkan jerawat. Masalah ini tidak disebabkan oleh sistem kekebalan yang terganggu, melainkan dari kebiasaan kita sehari-hari.
“Jerawat sangat terkait dengan individu yang menyentuh wajah mereka,” ujar Nagler.
“Saya selalu mengatakan hal itu kepada pasien saya.”
Stres juga membuat kita lebih cenderung malas menerapkan gaya hidup yang sehat.
“Ketika kita mengalami banyak stres, biasanya kita lebih jarang merawat diri,” ujar Bennett.
“Jika kita tidak tidur nyenyak, tidak mencuci muka, tidak makan dengan baik atau mengonsumsi air putih dalam jumlah cukup, itu dapat berdampak negatif pada kulit.”
Menghilangkan stres bukan solusi
Meredakan stres dengan beberapa cara seperti teknik pernapasan dalam atau meditasi akan bermanfaat bagi kita.
Namun, menurut Bennett, menghilangkan stres bukan solusi untuk mengatasi masalah kulit.
“Tidak berarti jika kita hanya menangani stres dengan lebih baik, kondisi kulit kita akan membaik,” tegas Fried.
Faktanya, menekankan keinginan untuk menghilangkan stres agar kulit menjadi sehat justru membuat kita merasa lebih stres.
Memeriksakan diri ke dokter kulit
Fried menyarankan kita untuk berkonsultasi dengan dokter kulit dan menjelaskan masalah kulit yang kita alami, baik itu eksim, jerawat, atau masalah lainnya.
Dari situ, dokter akan merekomendasikan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi masalah kulit.
Sedangkan untuk meredakan stres, kita dapat berkonsultasi dengan psikolog atau terapis.
Sumber : Kompas.com