LAJUR.CO, KENDARI – Identitas dan orientasi seksual adalah aspek penting dalam kehidupan setiap individu. Perkembangan ini tidak lepas dari pengaruh lingkungan, terutama peran orangtua.
Menurut Psikiatri Prasila Darwin, pada saat anak berusia 2 hingga 4 tahun, ia mulai mengenali jenis kelaminnya sendiri. Lalu, pada usia 4 hingga 6 tahun, ia mulai mengenali lawan jenisnya.
“Kalau sudah mulai 4 hingga 6 tahun, dia mulai mengenal identitas kelamin yang berbeda,” ujarnya, Senin (14/10/2024).
Di mana anak perempuan sudah tahu bahwa dirinya adalah perempuan dan bisa mengenali orang lain yang berjenis kelamin laki-laki, dan sebaliknya.
Dalam fase ini, biasanya anak cenderung lebih dekat dengan orangtua yang jenis kelaminnya sama.
“Di usia 6 tahunan, anak perempuan cenderung dekat dengan ibunya dan anak laki-laki cenderung lebih dekat dengan ayahnya,” ungkap Prasila.
Hingga kadang anak hanya menempel pada satu orangtuanya dan tidak mau dengan orangtua lainnya. Dalam fase ini, kedua orangtua tetap harus berperan.
“Dalam fase ini justru kedua orangtua harus berperan, karena pola asuh itu sangat penting untuk menentukan anak akan jadi karakter yang bagaimana nantinya,” jelas Prasila.
Orangtua tidak boleh membiarkan anak hanya dekat dengan satu orangtuanya saja. Misalnya, anak perempuan yang hanya dekat dengan ibunya. Lalu, ayahnya membiarkannya begitu saja.
“Dengan anggapan, ‘Ah, dia dekatnya sama ibunya saja, biarin saja begitu,'” tutur Prasila.
Ayah seharusnya tetap mendekatkan diri pada anak perempuannya dan memberikan kasih sayang, sehingga anak merasa dicintai dan membentuk persepsi cinta yang baik dengan lawan jenis.
Absennya sosok ayah akan berakibat buruk bagi anak perempuan, yaitu kebencian terhadap sosok laki-laki.
“Kalau tidak mendapat figur ayah, biasanya akhirnya bisa jadi kebencian terhadap laki-laki,” jelas Prasila.
Di mana ia cenderung tidak mau berhubungan dengan laki-laki. Hal ini kemudian dapat merusak orientasi seksual anak perempuan, yang membuat ia lebih tertarik pada sesama perempuan.
Lalu, bagaimana dengan anak laki-laki? Anak laki-laki sudah seharusnya dekat dengan ayahnya. Pasalnya, sosok ayahlah yang dapat memberikan contoh bagaimana itu maskulinitas seorang laki-laki.
“Misalnya, anak laki-laki tidak dekat dengan ayah karena orangtuanya berpisah, padahal dia fasenya dekat sama ayah. Maka, ia akan sangat mencari figur laki,” lanjut Prasila.
Anak laki-laki yang kekurangan sosok seorang ayah akan sangat mencari figur laki-laki dari orang lain. Mereka cenderung memiliki sifat yang lebih feminin, karena hanya dekat dengan ibunya saja tanpa ada contoh figur seorang laki-laki.
“Jadi bahaya kalau dia terlalu mencari figur laki-laki, karena orientasinya bisa jadi homoseksual,” pungkas Prasila.
Artinya, tidak adanya sosok ayah dapat membuat anak laki-laki mengalami penyimpangan berupa lebih tertarik dengan laki-laki, atau homoseksual.
Oleh sebab itu, penting bagi kedua orangtua tetap dekat dengan anak-anaknya. Tidak hanya ibu yang bertugas mengurus anak, ayah juga memiliki peran besar dalam membentuk karakter anak di masa depan.
“Jadi memang pola asuh penting untuk menentukan anak akan jadi seperti apa, juga agar anak bisa menentukan baik dan buruk,” tutup Prasila. Adm
Sumber : Kompas.comst