LAJUR.CO, KENDARI – Masyarakat Suku Muna memiliki tradisi unik dalam membayar zakat fitrah yang berbeda dari kebiasaan umat Islam lainnya. Beberapa hari menjelang Hari Raya Idulfitri, mereka mulai berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan kewajiban zakat fitrah.
Salah satu tradisi khas yang dilakukan saat pembayaran zakat adalah ‘Pundu Pitara’. Kalimat ‘Pundu Pitara’ merupakan istilah dalam bahasa Muna, yang erat kaitannya dengan kewajiban membayar zakat fitrah.
Prosesi ini dilakukan oleh kepala keluarga atau wakilnya, seperti istri atau anggota keluarga inti lainnya, saat hendak membayar zakat.
Pada pelaksanaannya, bahan pokok yang digunakan untuk zakat, seperti beras atau jagung, disiapkan dalam wadah, biasanya sebuah loyang. Muzakki dan Amil Zakat akan mengangkat loyang tersebut bersama-sama, lalu diiringi dengan ucapan doa khusus.
Berikut doa yang dibacakan seorang imam dalam bahasa lokal saat prosesi ini berlangsung kurang lebih berbunyi:
“Amoampe zakati fitara mani, (sebut jumlah jiwa), amosampe giu taghu setaghu, sumalingi gantano rasulullah, amoangkae ne imamu Maliki, sodhalamanimo we aherati.”
Pembayar zakat akan mengikuti imam dalam membaca doa ini. Untaian kalimat tersebut dapat setidaknya memuat doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk diberi keberkahan atas rezeki atau harta yang diperoleh selama ini.
Setelah doa tersebut, imam akan menggenggam beras dan membacakannya doa sambil menyebutkan nama setiap jiwa yang zakatnya dibayar, dengan satu genggaman beras setiap kali nama disebut.
Saat prosesi Pundu Pitara selesai, imam akan kembali membaca doa. Uang yang dibayarkan sebagai zakat kemudian ditempatkan di atas beras dalam loyang tersebut, yang disusun di hadapan pemandu doa.
Begitu doa selesai dibacakan, proses pembayaran zakat dianggap selesai. Pembayar zakat kemudian diperbolehkan mengambil segenggam beras yang tadi untuk dibawa pulang. Beras tersebut dapat dicampurkan dengan beras yang akan dijadikan bahan konsumsi sebagai bagian dari kebiasaan mereka. Red