LAJUR.CO, JAKARTA – Toko ritel yang seharusnya dijadikan bisnis yang cukup menguntungkan menjadi lahan yang mengkhawatirkan saat ini. Salah satunya dengan adanya kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang direncanakan menjadi 12% per 1 Januari 2025. Hal ini menimbulkan banyak pemikiran negatif mengenai keadaan ekonomi yang semakin memburuk.
Dilansir detikfinance, Ketua Asosiasi Pengelolaan Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menjelaskan, kenaikan tarif PPN bertolak belakang dengan strategi pemulihan ekonomi di banyak negara. Alasan tersebut membuat banyak pengusaha ritel saat ini menimbang-nimbang apakah bisnis ritel akan semakin menguntungkan atau membuntungkan. Adanya rencana kebijakan penerapan PPN 12% menjadi ancaman serius bagi toko ritel di Indonesia.
Kurangnya Sumber Pendapatan Negara
Mungkin kita semua bertanya-tanya mengapa tarif PPN direncanakan akan naik? Pertanyaan ini sudah dijawab oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bahwa rata-rata PPN di seluruh dunia saja sudah mencapai batas maksimal pengenaan PPN yakni 15%. Hal tersebut yang menjadi pertimbangan Menkeu beserta seluruh jajarannya untuk menjadikan kebijakan ini sebagai celah untuk menambal beban keuangan negara serta memperkuat fondasi perpajakan di Indonesia. Sehingga, bukan sesuatu yang terlalu mengejutkan bila rencana kenaikan PPN menjadi 12% terealisasikan.
Daya Beli Masyarakat yang Belum Adaptif
Kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia secara merata seperti kebijakan dalam Kepmenkeu No. 251/KMK.03/2002 bahwa besaran tarif PPN untuk jasa pengiriman paket sebesar 1,1% yang biasanya transaksi lainnya dikenakan PPN 11%. Meskipun kebijakan tersebut merupakan pengecualian, namun apakah tidak berdampak pada sektor jasa lainnya yang dikenakan PPN 11%?
Masyarakat yang kurang mampu semakin sulit memperoleh kebutuhan jasa maupun barang yang diinginkan. Bagi pengusaha toko ritel, hal ini menjadi pertimbangan serius mengingat bahwa masyarakat yang berbelanja tidak hanya berasal dari kalangan yang mampu saja. Menurut Mekari, dalam rentang 2017 – 2019 daya beli masyarakat menurun 10 – 12% dapat dibayangkan daya beli masyarakat dewasa ini setelah dipengaruhi oleh COVID-19.
Kenaikan tarif PPN menjadi 11% sudah membuat minat konsumen mengonsumsi barang maupun jasa berkurang. Pengusaha ritel mau tidak mau memberikan banyak potongan harga untuk barang yang diminati atau mengurangi stok barang yang kurang diminati konsumen. Hal ini menjadi solusi yang cukup membantu dalam mempertahankan eksistensi usaha meskipun memungkinkan mendapatkan kerugian dari solusi tersebut.
Ketidaksiapan Pengusaha Ritel
Pandemi COVID-19 membuat banyak sektor mengalami kemerosotan. Kemerosotan ini dirasakan juga oleh para pengusaha ritel di Indonesia; mereka merasa betapa sulitnya menjual barang di kala pandemi. Kesulitan ini ditambah lagi dengan adanya rencana kenaikan PPN menjadi 12%.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budiharjo Iduansjah berkomentar bahwa kalau seperti ini caranya pengusaha ritel akan sulit menjual barang dan terpaksa menaikkan harga barang. Dia juga meminta pemerintah mempertimbangkan kembali rencananya serta memberikan solusi terkait rencana ini di mana pemerintah sebaiknya memperluas jumlah wajib pajak, bukan menaikkan tarif PPN. Dengan diperluasnya jumlah wajib pajak, pendapatan negara bertambah tanpa adanya kenaikan tarif pajak. Adm
Sumber : Detik.com