LAJUR.CO, KENDARI – Kasus dugaan kekerasan seksual dialami salah satu mahasiswi yang menyeret oknum guru besar kampus Universitas Halu Oleo (UHO) mendapat atensi serius dari sejumlah komunitas perempuan.
Dalam rapat zoom bersama sejumlah mahasiswi yang tergabung di dalam organisasi eksternal kampus mulai dari HMI, GMNI, PMII serta lembaga perempuan di tingkat nasional, Kamis (28/7/2022), mereka meminta agar tindak kekerasan seksual yang santer terjadi di lingkungan kampus UHO Kendari segera dihentikan.
Sebelas komunitas yang mengeluarkan kecaman terhadap tidak kekerasan seksual di kampus UHO yakni Kohati HMI MPO Cabang Kendari, Kohati Badko HMI Sultra, DPD GMNI Sulawesi Tenggara, DPD IMM Sultra, Aliansi Perempuan Sultra (ALPEN SULTRA), Gerakan Penggiat Sultra (GPS), FAMM Indonesia, Yayasan Karampuang Sulawesi Barat, MALEO Sulawesi Tengah, Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Sulawesi Tengah
serta Lembaga Advokasi Perempuan Damar Lampung.
Dalam siaran pers disampaikan ke redaksi Lajur.co, Kamis (28/7/2022), Direktur Penggiat Sultra Elly Anggraeni menyebut, dugaan kekerasan seksual yang terjadi pada salah satu mahasiswi oleh oknum guru besar atau dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UHO, Kota Kendari, Provinsi Sultra bukan satu dua kali terjadi.
Kasus yang ramai menjadi diberitakan berbagai media menjadi tabir pembuka dari sekian banyaknya indikasi kasus kekerasan seksual yang telah terjadi tahun sebelumnya kampus ternama di Bumi Anoa tersebut.
Komunitas perempuan ini mengklaim masih ada korban mahasiswi lain yang diduga juga mengalami kekerasan seksual oleh pelaku yang sama. Bahkan oleh dosen lain.
Dari data yang dihimpun oleh Komunitas Perempuan Muda (KPM) Sultra menemukan bahwa pada Desember Tahun 2021 di FKIP-UHO terjadi juga kasus pelecehan seksual pada mahasiswa oleh dosen.
“Modusnya beragam. Diantaranya, ada korban yang sengaja diajak naik ke mobil dosen lalu pelaku melancarkan aksi dengan meraba paha korban. Pelaku juga kerap mengajak mahasiswa perempuan untuk konsultasi di hotel atau tempat karaoke hingga jalan berdua,” kata Elly.
Tahun 2018, masih di fakultas dan kampus yang sama, komunitas perempuan ini menyatakan kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswi juga ditengarai dipraktikkan oleh oknum dosen berbeda.
“Kejadian di ruangan belajar di mana korban di raba tubuhnya oleh pelaku. Pelaku ini juga sering mengirimkan foto-foto porno ke group mata kuliah yang dibimbingnya. Dan kerap juga mengirim foto porno atau video porno ke mahasiswa perempuan melalui chat pribadi. Pelaku juga sering mengancam soal nilai, jika mahasiswa perempuan tidak memenuhi keinginannya. Tahun 2018 di FSIP-UHO, pelaku adalah seorang pimpinan Fakultas dan korban adalah mahasiswa yang sedang mengurus cuti-study,” bebernya.
Kaya Elly, pelaku mengajak mahasiswa untuk pergi ke karoke berdua sebelum izin cuti-study disetujui. Deretan data kasus ini menjadi indikasi bahwa kampus UHO tidak memberikan perlindungan kepada mahasiswa khususnya perempuan untuk menjalankan study dengan rasa aman dan optimal.
Dalam Permendikbudristek No.30 tahun 2021 yang mengatur tentang Pencegahan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, lanjut Elly seharusnya sudah diimplementasikan oleh Universitas Haluoleo demi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkup kampus.
Adapun bentuk kekerasan seksual yang diatur oleh Permendikbudristek ini adalah (1) merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh dan atau fungsi reproduksi seseorang; (2) berada dalam kondisi ketimpangan relasi kuasa atau ketimpangan; gender; (3) berakibat menceritakan korban secara psikis, fisik, menganggu Kesehatan reproduksi dan kesempatan belajar dengan aman dan optimal. Semangat Permendikbudristek ini adalah untuk mendorong pemimpin perguruan tinggi dan setiap warga kampus untuk meningkatkan keamanan lingkungan kampus dari kekerasan seksual, termasuk memulihkan hak atas hidup korban.
Menyikapi data-data yang tersampaikan oleh para korban kepada KPM Sultra dan merefleksikan proses penanganan kasus dugaan pelecehan seksual oleh pelaku Prof B (dosen UHO) terhadap RN (mahasiswi UHO), Komunitas Perempuan ini mendesak Rektor UHO Prof Muh Zamrun segera membentuk Satgas sesuai Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 yang melibatkan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan, hingga pembuat keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi untuk memulihkan korban dan menjatuhkan sanksi bagi pelaku.
Lembaga ini juga mendesak Rektor Universitas Haluoleo untuk Mengevaluasi Anggota Dewan Etik yang melakukan sidang kode etik tanggal 25 July 2022 dan telah menyampaikan pertanyaan –pertanyaan yang intimidatif terhadap korban RN.
“Pertanyaan tersebut antara lain:
‘Bagaimana kalau kamu (korban) di posisi pelaku yang juga sudah depresi dan tidak makan?,
lalu ada lagi pertanyaan “jika kamu mau melanjutkan kasus ini secara hukum, ini proses nya panjang dan bisa menjadi boomerang buat kamu (korban)”. Pertanyaan ini mengakibatkan korban lebih terpojokkan dan sangat traumatis,” tegasnya.
Berikut tuntutan komunitas perempuan yakni menuntut rektor UHO untuk memberikan perlindungan dan pemulihan terhadap korban dan saksi saksi. Mekanisme Perlindungan dan Pemulihan merujuk pada Permendikbudristek No. 30 tahun 2021. Menghimbau para pendidik, tenaga kependidikan dan BEM Se-UHO untuk mendukung proses pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus sebagai upaya mengoptimalkan penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan meningkatkan kualitas pendidikan tinggi,
Selanjutnya lembaga ini mengajak dan meminta Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Tekhnologi Republik Indonesia untuk memastikan, mengawal dan mengawasi implementasi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 di Univesitas Haluoleo. Adm