LAJUR.CO, KENDARI – Tanggal 2 Mei pada setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Peringatan Hardiknas selalu menjadi momen merayakan jasa para pejuang di bidang pendidikan. Di hari peringatan inilah, saat untuk melihat kembali asa mereka yang senantiasa mengabdikan diri untuk pendidikan, di daerah terpencil sekalipun.
Asa dan napas pendidikan ini ditemui dalam diri seorang guru di Kabupaten Konawe Selatan (Konsel).
Sejak tahun 2009, S.W Sapto Hadji, S.Pd.,SD memulai pengabdiannya di SD – SMPN Satu Atap 19 Konsel. Dirinya merasakan betul pahit manisnya menjadi tenaga pengajar di sebuah lokasi yang terisolasi.
Sekolah tempat Sapto Hadji mengimplementasikan ilmunya itu terletak di Kelurahan Tinanggea, Konsel. Untuk bisa sampai ke sekolah, ia mesti menyeberangi lautan selama kurang lebih 45 menit. Surutnya air di perairan yang membelah wilayah domisilinya dengan sekolah tempat mengabdi, tidak sesurut semangatnya.
“Sejak 2009 sampai sekarang tentu banyak suka duka yang saya alami. Mulai dari pengalaman naik perahu Katingting untuk sampai ke sekolah bahkan jalan diatas lumpur karena kering air agar bisa sampai di perahu,” ujar S.W Sapto Hadji, Kamis (2/5/2024).
Meski harus berjalan di atas lumpur saat pasang surut, dirinya tetap berupaya mendatangi sekolah tersebut, tempat ia berinteraksi dengan siswanya. Terhitung, sudah lima belas tahun ia menggunakan Bahasa Bajo setiap kali membawakan mata pelajaran yang ia ampu.
“Murid yang kurang memahami bahasa Indonesia karena bahasa sehari-hari mereka adalah Bahasa Bajo. Itu mengharuskan saya mempelajari Bahasa Bajo sebagai pengantar pembelajaran,” ucapnya.
Selain kondisi geografis, Ibu Sapto juga harus menerima situasi saat hujan datang disertai angin kencang. Dirinya merupakan satu dari beberapa orang guru di sekolah yang sama, berasal dari pemukiman di daratan. Rencana pergi ke sekolah saat musim hujan pun urung dilakukan, karena mereka tidak dapat melakukan penyeberangan.
“Posisi sekolah yang terletak di atas laut jadi jaringan kurang bagus, kalau hujan deras serta kencang angin kita tidak bisa menyeberang,” curhatnya.
Selama menjadi pengajar, ia menemui banyak persoalan berasal dari lingkungan sekitar sekolah. Orang tua murid yang latar belakang pendidikannya masih terbilang rendah, turut menjadi salah satu penghalang mengajak anak-anak untuk mencintai pendidikan.
Mayoritas orang tua siswanya bekerja sebagai nelayan dan petani rumput laut. Sehingga jika musim panen tiba, para orang tua membawa serta anak mereka saat pergi melaut. Kadangkala, para murid ikut bekerja membantu orang tuanya di laut selama berminggu-minggu.
Keadaan seperti ini, kata Ibu Sapto juga dipengaruhi oleh mindset atau pola pikir para orang tua siswa. Kalimat “yang penting bisa membaca” semacam fatwa orang tua siswa saat anak mereka diajak bersekolah. Di samping itu, kalimat tersebut juga seakan menjadi momok bagi anak-anak yang murni memiliki keinginan menempuh pendidikan formal.
“Banyak orang tua tidak sekolah bahkan tidak tahu membaca. Pola pikir orang tua bahwa yang penting anak bisa membaca dan mencari uang, berhenti sekolah,” keluh Guru Penggerak ini.
Bangga Seorang Guru Melahirkan Guru
Motivasi dan semangat Ibu Sapto bersama rekannya yang lain sesama pendidik tidak pernah padam. Mereka terus bergiat mengembangkan sekolah dimaksud dengan memasifkan proses sosialisasi pendidikan.
Seiring waktu, mindset masyarakat di sana mulai berubah. Kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi seorang anak tumbuh subur di antara mereka. Sampai pada akhirnya, sejumlah siswa dari SD – SMPN Satu Atap 19 Konsel itu melanjutkan perjuangan ke bangku kuliah.
“Seiring waktu orang tua memahami pentingnya pendidikan. Karena sepandai apapun kita tanpa ijazah tidak diakui dan warisan yang tidak akan pernah habis. Alhamdulillah sekarang sudah banyak yang melanjutkan pendidikan bahkan sampai perguruan tinggi,” Ibu Sapto mengucap syukur atas perjuangannya.
Filosofi Ki Hadjar Dewantara yakni ‘guru bak petani menanam bibit serta merawatnya sehingga akan menjadi bibit unggul’ bisa mereka wujudkan. Saat ini, di sekolah tempatnya mengabdi selama belasan tahun itu, Ibu Sapto bertumbuh bersama mantan siswanya. Sebanyak 5 orang mantan siswanya, telah menjadi rekan guru di sekolah yang sama.
Mereka melakukan proses belajar-mengajar bersama-sama sembari saling mendukung mengembangkan diri masing-masing. Ibu Sapto sendiri juga seorang guru Penggerak angkatan 9. Kini, ia tengah menunggu sertifikat sebagai hasil dari upayanya selama ini. Ia menyebut, satu hal penting dari proses pendidikan ialah bagaimana caranya mengimplementasikan ilmu yang telah diperoleh.
“Hal terpenting dari pendidikan yang saya ikuti adalah mengimplementasikan ilmu yang sudah saya dapatkan selama mengikuti pendidikan tersebut,” tuturnya.
Melalui peringatan Hardiknas 2024, dia merefleksi pentingnya kehadiran seorang guru di tengah-tengah masyarakat. Menurutnya, pembelajaran yang berpusat kepada murid dapat mengoptimalkan minat dan bakat sesuai kebutuhan para siswa.
Ia pun menyebut jika Guru harus berdedikasi tinggi serta dapat menjadi role model serta teladan bagi murid sehingga dapat mewujudkan profil pelajar Pancasila. Red