BERITA TERKINIHEADLINE

Cerita Dedikasi Etty Permatasari, Bidan Asal Jeneponto Bantu Tangani Stunting di Busel Sultra

×

Cerita Dedikasi Etty Permatasari, Bidan Asal Jeneponto Bantu Tangani Stunting di Busel Sultra

Sebarkan artikel ini
Ketgam : Kegiatan Rembuk Stunting di Desa Burangasi, Kecamatan Lapandewa pada Agustus 2024.

LAJUR.CO, KENDARI – Etty Permatasari (26), perempuan kelahiran Jeneponto, Sulawesi Selatan (Sulsel) ini mengabdi sebagai bidan di Kabupaten Buton Selatan (Busel), Sulawesi Tenggara (Sultra). Tepatnya di Desa Burangasi, Kecamatan Lapandewa, menjadi lokasi penugasan alumni Kebidanan Politeknik Kesehatan Kemenkes Makassar ini.

Terhitung sudah 2 tahun, Etty menjadi bidan di Desa Burangasi melalui program Bidan Untuk Negeri (BUN) Layanan Kesehatan Cuma-cuma Dompet Dhuafa. Sebelum ke Burangasi, Etty sendiri telah mengabdi sebagai bidan di daerah asalnya, Sulsel selama 3 tahun.

Bidan Untuk Negeri (BUN) adalah program yang bertujuan meningkatkan akses pelayanan kesehatan ibu dan anak di lokasi yang belum memiliki akses memadai karena letak geografis. Ada tiga pilar yang diterapkan BUN dalam melakukan kegiatannya di daerah tersebut diantaranya Pelayanan, Pembelaan, dan Pemberdayaan.

“Saya telah bertugas sebagai bidan selama 5 tahun, selama 2 tahun ini menjadi PIC BUN Layanan Kesehatan Cuma-Cuma Dompet Dhuafa,” ujar Etty, Rabu (23/10/2024).

Menjadi bidan adalah cita-cita Etty sejak dulu, orang tuanya pun demikian yang ingin Etty menjadi pelayan kesehatan bagi masyarakat. Kata Etty, menjadi bidan adalah salah satu cara agar bermanfaat bagi keluarga dan lingkungannya.

Program BUN Layanan Kesehatan Cuma-cuma Dompet Dhuafa menjadi jembatan antara Etty dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Dirinya bersyukur diamanahi sebagai petugas kesehatan di Desa Burangasi untuk fokus menangani stunting.

Pelaksanaan Posyandu Milenial dalam program Bidan Untuk Negeri (BUN) Dompet Dhuafa di Buton Selatan.

Angka prevalensi stunting di Busel mulai dari tahun 2021 hingga 2023 mengalami fluktuasi. Berdasarkan data elektronik pencatatan dan pelaporan berbasis masyarakat (PPBGM), prevalensi stunting di daerah itu pada tahun 2021 yakni 32.5%, kemudian turun ke angka 26.3% pada tahun 2022, dan kembali naik pada November 2023 di angka 29.1%.

Baca Juga :  Dinkop UMKM Sultra Perdana Gelar Pelatihan Kewirausahaan Bagi Penyandang Disabilitas

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis jumlah Tenaga Kesehatan di Kecamatan Lapandewa tahun 2023 bahwa tenaga medis ada 4 orang, perawat ada 22 orang, bidan 20 orang dan Tenaga Kefarmasian sebanyak 4 orang.

Kemudian 5 orang Tenaga Kesehatan Masyarakat, 2 orang Tenaga Kesehatan Lingkungan, dan 7 orang Tenaga Gizi. Sementara itu, untuk fasilitas rumah sakit umum dan rumah sakit khusus hanya ditemukan di Kecamatan Baruga masing-masing 1 unit.

Sejak 4 Oktober 2022 hingga saat ini, Etty melihat permasalahan kesehatan di lingkungan masyarakat yang cukup beragam. Pola asuh yang berbeda-beda, sanitasi, dan nutrisi menjadi penyebab adanya gizi kurang bahkan gizi buruk bagi anak-anak di daerah itu. Dikutip dari laman promkes.kemkes.go.id, stunting merupakan permasalahan gizi kronis karena kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama.

“Beberapa anak yang kami dapati di lapangan mengalami gizi kurang hingga gizi buruk yang diakibatkan oleh beberapa penyebab seperti pola asuh yang kurang, sanitasi, dan nutrisi,” ucap Etty.

Pada akhir tahun 2022, Etty bersama timnya menyediakan Pos Gizi sebagai upaya memperbaiki perkembangan gizi anak di lokasi tempatnya mengabdi. Pos gizi adalah salah satu program peningkatan status gizi bayi balita dengan malnutrisi selama 12 hari.

Baca Juga :  Gaduh Nikah Muda di Medsos, Dokter Wanti-wanti Risiko Stunting Tinggi

Tentunya, penerapan misi Pos Gizi ini disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat lokal Burangasi. Beberapa hasil yang baik ditunjukkan dengan perubahan secara positif status gizi bayi dan pola asuh para orangtua serta tingkah laku hidup sehat bagi ibu dan anak.

Sebagai bidan pendatang baru di Busel, Etty melihat satu hal tabu baginya yang biasa terjadi di kalangan masyarakat. Salah satu kebiasaan dari nenek moyang yang masih dilakukan adalah memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) di bawah usia 6 bulan. Menurutnya, MPASI tidak boleh diberikan kepada anak di bawah usia 6 bulan. Hal itu agar tumbuh kembang bayi dapat maksimal terutama pada usia 1000 hari pertama kehidupan (HPK).

Selain persoalan MPASI dan perilaku hidup bersih dan sehat yang masih minim, Etty juga mendapati jika masih banyak ibu hamil melakukan pijat pada dukun. Dukun (Ina dalam bahasa lokal) sangat perlu diberi pendampingan pada saat melakukan pemijatan pada seorang wanita yang tengah mengandung.

Lanjutnya, keberadaan dukun beranak ini masih erat kaitannya dengan kepercayaan masyarakat dan adat istiadat setempat. Oleh karena itu, edukasi kepada para ibu hamil dan dukungan tenaga ahli kesehatan sangat diperlukan, untuk meminimalisir adanya risiko berbahaya pada ibu dan bayinya.

“Pijat urut kepada Ina beresiko menyebabkan perdarahan saat hamil, dan akan membahayakan ibu dan janinnya. Kebiasaan ini tidak akan bisa diubah. Alangkah baiknya jika para Ina dirangkul oleh tenaga kesehatan untuk bersama-sama mengedukasi ibu hamil,” jelasnya.

Baca Juga :  Sekda Asrun Lio Wakili Pj Gubernur Sultra Hadiri Upacara Peringatan HUT ke-79 TNI

Terkait pelayanan kesehatan yang pelayanan diberikan pemerintah desa dan fasilitas kesehatan setempat, bagi Etty itu sudah baik namun masih perlu diperhatikan keefektifannya. Ada sejumlah program yang Etty selenggarakan bersama timnya sebagai upaya meningkatkan efektivitas layanan kesehatan masyarakat tersebut.

Mulai dari Pelaksanaan Posyandu Ramah Anak, Posyandu Remaja, Kunjungan dan Pemeriksaan Ibu hamil, Skrining Kesehatan bagi masyarakat usia produktif dan lansia, juga Senam sehat. Dengan dukungan pemerintah dan puskesmas setempat, program tersebut terlaksana dengan baik.

“Pada akhirnya program yang kami jalankan dapat mengubah pola perilaku hidup sehat bagi seluruh masyarakat penerima manfaat di Desa Burangasi,” tambah Etty.

Meski kadang mengalami kendala saat berkomunikasi karena perbedaan bahasa daerah, Etty menganggap warga Burangasi sebagai keluarga keduanya. Selama dua tahun berada di tengah-tengah masyarakat Burangasi, Etty kagum dengan cara pelestarian budayanya.

“Saya kagumi cara masyarakat menjaga dan melestarikan budaya yang sudah lebih dari 500 tahun namun dapat dikenalkan ke dunia hingga saat ini. Bagi saya budaya gotong royong disini masih sangat dirasakan keberadaannya, berbeda dengan di perkotaan,” pungkas dia.

Di tengah-tengah arus globalisasi ini, dia berharap akan lahir Local Hero di Burangasi, untuk dapat membawa desa itu menjadi salah satu pencetak generasi-generasi terbaik untuk masa depan Indonesia lebih baik. Red

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x