SULTRABERITA.ID, KENDARI – Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang terpaksa diterapkan di tengah pandemi Covid-19 memunculkan kebiasaan dan rutinitas baru bagi siswa di sebagian besar sekolah.
Beberapa siswa dan guru mulai terbiasa dengan penerapan belajar daring maupun luring memasuki bulan kesembilan sekolah ditutup dari aktivitas tatap muka.
Namun diantaranya juga ada yang masih terseok-seok. Terlebih bagi siswa yang tak punya fasilitas, kesulitan akses belajar, maupun mereka yang mengalami dampak psikososial lain dari merebaknya wabah.
Sejumlah kasus yang mencuat di publik belakangan ini memunculkan kekhawatiran PJJ memakan korban. Lantaran dua kasus bunuh diri siswa di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan dan Tarakan, Kalimantan Utara diduga dipicu PJJ sebagai salah satu alasan depresi korban.
Psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan UI Mira Amir mengatakan orang tua atau orang sekitar harus sigap menangani anak yang terindikasi memiliki gejala depresi. Gejala yang paling umum didapati adalah perubahan pola tidur dan makan.
“Jadi sulit tidur atau justru banyak tidur banget. Jadi sulit makan atau makan yang berlebihan,” katanya dikutib dari CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Minggu (1/11).
Menurutnya, pada kebanyakan kasus bunuh diri korban didapati bercerita dengan orang sekitar akan rencana maupun keinginannya mengakhiri hidup. Pertanda ini perlu ditanggapi dan diantisipasi dengan serius.
Ia bercerita pada sejumlah kasus yang dijumpai, orang tua sering kali menyepelekan cerita atau pikiran anak yang ingin mengakhiri hidupnya.
“Orang tua mikirnya ketika anak sedang cry for help, dipikir hanya main-main, ini cuma efek dari konsumsi tontonan. Yang sering kami temui seperti itu,” ujarnya.
Padahal, lanjut Mira, ini merupakan tanda depresi yang harus diantisipasi dengan sigap. Ia menyarankan agar orang tua langsung membawa anak ke klinik, puskesmas atau rumah sakit untuk mendapat pertolongan jika ditemukan indikasi keinginan bunuh diri.
Dari situ, pihak profesional bisa mendiagnosa dan memutuskan jika korban membutuhkan pertolongan obat atau terapi yang sesuai dengan kondisi dan situasinya.
Ia sendiri mengamini bahwa di tengah pandemi ditemukan peningkatan tekanan psikologis pada anak, khususnya terkait PJJ. Ini karena anak harus terbiasa dengan rutinitas yang jauh dari normal.
Salah satunya karena orang tua yang menjadi pendamping belajar tidak memiliki latar belakang pendidik seperti halnya guru. Belum lagi ditambah kondisi masing-masing keluarga siswa yang berbeda.
“Kami juga mencermati aktivitas manusia. Ketika seseorang berangkat ke sekolah, ada aktivitas fisik, diantar dengan kendaraan atau naik kendaraan umum. Itu menstimulasi kerja otak. Melihat kondisi yang berbeda dibanding di rumah,” tuturnya.
“Kalau ruang terbatas [selama PJJ], akhirnya ruang lingkupnya segitu-gitu saja. Di sini dia juga mengalami kelelahan psikologis,” lanjut Mira. Adm
Sumber: Cnnindonesia.com