BERITA TERKINIHUKRIMNASIONAL

Mahasiswa RI Diduga Jadi Korban Perdagangan Orang, Berkedok Magang ke Jepang

×

Mahasiswa RI Diduga Jadi Korban Perdagangan Orang, Berkedok Magang ke Jepang

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi dugaan praktik TPPO. Foto: Ist

LAJUR.CO, JAKARTA – Penetapan dua tersangka kasus dugaan perdagangan orang (TPPO) terhadap mahasiswa di sebuah politeknik di Sumatra Barat dapat menjadi momentum untuk mengevaluasi dan memperbaiki proses pemagangan di luar negeri yang ‘rawan perbudakan’, kata pegiat buruh.

Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Hariyanto mengatakan, kasus dugaan TPPO mahasiswa magang di Sumatera Barat (Sumbar) “bukanlah yang pertama terjadi” di Indonesia.

“Kasus-kasus dengan modus dan pola seperti ini sudah banyak terjadi, tidak hanya yang di Sumbar, tapi juga dulu pernah terjadi di Malang, Yogyakarta, dan wilayah lain,” kata Hariyanto, Kamis (29/06).

Hariyanto mengatakan, dugaan praktik TPPO dalam pemagangan muncul salah satunya disebabkan oleh tawaran gaji yang besar dari luar negeri di tengah sulitnya mencari pekerjaan di dalam negeri.

“Sehingga banyak yang tergiur untuk magang padahal melalui proses yang non-prosedural,” katanya.

Pengawasan yang lemah juga disebutnya sebagai faktor lainnya.

Sejauh ini, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menetapkan dua mantan direktur politeknik di Payakumbuh itu menjadi tersangka TPPO, Selasa (27/06) lalu.

Baca Juga :  Pelaku dan Korban Kekerasan Mahasiswa Teknik Sipil UHO Sepakat Berdamai

Mereka diduga menjadikan mahasiswa “sebagai buruh di Jepang saat magang”.

Sementara itu, Direktur Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh John Nefri mengatakan, proses magang mahasiswa ke Jepang telah melalui prosedur yang resmi dan bukan ilegal.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumbar Nizam Ul Muluk mengatakan, dugaan TPPO dan proses magang mahasiswa ke Jepang tidak berada di dalam kewenangan instansinya.

“Untuk pengawasan, saya tidak bisa mengawasi karena di luar prosedur ketenagakerjaan. Mungkin ada yang bermain pihak swasta atau imigrasi, kan bisa jadi,” katanya.

‘Bekerja 14 jam sehari, tanpa libur’
Bareskrim Polri telah menetapkan dua mantan direktur sebuah politeknik di Sumbar sebaga tersangka kasus dugaan TPPO dengan mengirimkan mahasiswa magang ke Jepang.

Mereka adalah G, direktur politeknik pada periode 2013-2018, dan EH, direktur periode 2018-2022.

“Selama satu tahun magang, korban melaksanakan pekerjaan bukan layaknya magang, akan tetapi bekerja seperti buruh,” kata Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Brigjen Pol Djuhandani Rahardjo Puro di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (27/06).

Baca Juga :  Mahasiswa Teknik Geologi Ditemukan Tewas di Asrama Bidikmisi UHO

Praktik TPPO ini disebut diduga telah berlangsung sejak tahun 2012.

Polisi menjerat para tersangka dengan Pasal 4 dan Pasal 11 UU Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO dengan ancaman hukuman penjara maksimal 15 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.

Djuhandani menjelaskan, para mahasiswa tersebut bekerja selama 14 jam setiap hari, tanpa ada hari libur, dan hanya diberikan waktu makan maksimal 15 menit.

Setiap mahasiswa itu diberikan upah sekitar Rp5 juta per bulan, namun tambah Djuhandani, gaji itu kemudian diberikan Rp2 juta per bulan ke kampus sebagai dana kontribusi.

Djuhandani mengatakan, dugaan TPPO itu terbongkar ketika dua orang mahasiswa yang menjadi korban, yaitu ZA dan FY melapor dugaan ‘kerja sebagai buruh’ ke KBRI Tokyo, Jepang.

Selain dua orang itu, terdapat sembilan mahasiswa lain yang juga menjadi korban.

Baca Juga :  Cerita Mahasiswa Korban Tindakan Represif Aparat Kepolisian Saat Unjuk Rasa di Mapolda Sultra

Para mahasiswa itu, kata Djuhandani, diberangkatkan dengan menggunakan visa pelajar selama satu tahun. Kemudian, pihak perusahaan Jepang memperpanjangnya menjadi visa kerja selama enam bulan.

Para korban kemudian melaporkan hal itu ke kampusnya dan meminta untuk dipulangkan.

Namun, terduga pelaku mengancam mahasiswa itu, “apabila kerja sama politeknik dengan pihak perusahaan Jepang rusak, maka korban akan di-drop out (DO),” katanya.

Dari hasil penyidikan, Djuhandani menjelaskan, pihak politeknik tidak memiliki izin proses pemagangan di luar negeri, tidak memiliki kurikulum pemagangan di luar negeri, dan juga menjalin kerja sama dengan perusahaan Jepang tanpa diketahui oleh KBRI.

Selain mendapatkan keuntungan dana kontribusi dari para mahasiswa magang, kata Djuhandi, politeknik juga mendapatkan keuntungan yaitu, dua program studi mereka mendapat akreditasi dari B ke A.

Polisi terus mendalami kasus tersebut untuk melihat dugaan adanya keterlibatan pihak lain. Adm

Sumber : Bbcnews.Indonesia

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x