LAJUR.CO, JAKARTA – Saat ini, pemerintah lagi gencar mendorong semua produk yang beredar di Indonesia agar punya sertifikat halal. Langkah ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi konsumen dan memastikan kehalalan produk yang kita beli dan konsumsi benar-benar halal.
Saat memilih suatu produk kamu mungkin pernah mendengar istilah tentang titik kritis halal. Lantas apa sih sebenarnya yang dimaksud titik kritis halal?
Menurut Raafqi Ranasasmita, Corporate Secretary Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM), titik kritis halal adalah tahap atau komponen dalam proses produksi yang bisa bikin status halal suatu produk jadi meragukan, bahkan bisa berubah jadi tidak halal.
“Ini bisa terjadi karena adanya kemungkinan pencampuran dengan bahan haram, proses kontaminasi silang, atau penggunaan alat produksi yang tidak sesuai dengan standar halal,” kata, Rabu (23/4).
Karena itu, identifikasi titik kritis ini jadi bagian penting dalam proses sertifikasi halal. Dengan tahu bagian mana saja yang rawan, produsen bisa lebih waspada dan menjaga kehalalan produk sejak awal.
“Pengetahuan ini juga mendorong produsen untuk lebih bertanggung jawab dan transparan dalam menghasilkan produk yang sesuai dengan prinsip syariah. Edukasi terkait titik kritis halal juga berperan dalam membangun ekosistem halal yang kuat, karena menciptakan kesadaran dari hulu ke hilir, mulai dari penyedia bahan baku hingga konsumen akhir,” kata dia.
Dalam proses sertifikasi halal, identifikasi titik kritis umumnya terbagi menjadi dua, yaitu bahan dan proses produksi. Dari sisi bahan, semua komponen, baik bahan baku utama, bahan tambahan, bahan penolong, hingga kemasan yang bersentuhan langsung dengan produk, harus ditelusuri kehalalannya.
Bahkan pelumas mesin dan bahan pembersih yang berpotensi bersentuhan dengan produk pun tak luput dari perhatian. Jika ada bahan yang tergolong kritis, perusahaan diwajibkan menyertakan dokumen pendukung seperti sertifikat halal atau hasil uji laboratorium sebagai bukti validasi.
“Dalam konteks halal, perusahaan harus memiliki komitmen tertulis berupa kebijakan halal. Kebijakan ini menjadi dasar bagi perusahaan untuk terus-menerus menghasilkan produk halal. Dokumen ini harus diketahui oleh seluruh pihak terkait, baik internal perusahaan maupun pihak luar yang berkepentingan,” jelas Raafqi.
Lalu, bagaimana auditor halal menilai titik-titik ini dalam praktik lapangan?
Dalam proses audit, auditor akan melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap seluruh rantai proses produksi, mulai dari bahan baku, alur produksi, fasilitas, penyimpanan, hingga distribusi. Mereka akan menilai keaslian dokumen bahan, kemudian mencocokkannya dengan pemeriksaan fisik di lokasi. Bahan-bahan yang rumit seperti turunan hewani (gelatin, whey, enzim), flavor sintetis, hingga pewarna menjadi perhatian khusus karena rentan mengandung unsur non-halal.
“Bahan kritis harus dilengkapi dengan sertifikat halal. Auditor akan menilai keaslian dokumen bahan dan dibandingkan dengan pemeriksaan fisik saat audit dilakukan,” beber Raafqi.
Auditor juga akan meninjau seluruh fasilitas produksi. Gudang penerimaan, ruang produksi, penyimpanan produk jadi, hingga sarana transportasi harus dipastikan bebas dari potensi kontaminasi, baik dari bahan haram maupun bahan yang status kehalalannya belum jelas.
Untuk produk tertentu, pengambilan sampel dilakukan guna menjalani uji laboratorium. Misalnya, uji etanol pada minuman, uji DNA babi untuk bahan turunan hewani, hingga pengujian daya tembus air untuk produk kosmetik. Semua pengujian ini bertujuan memastikan bahwa produk memang sesuai dengan ketentuan fatwa MUI dan regulasi yang berlaku. Adm
Sumber : Kumparan.com