LAJUR.CO, JAKARTA – Tren deflasi di Indonesia diprediksi berlanjut hingga September 2024. Artinya, Indonesia akan mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut. Kondisi ini mendekati rekor deflasi terpanjang pada saat krisis ekonomi-finansial 1999, saat itu deflasi terjadi selama tujuh bulan beruntun.
Kepala Ekonomi Bank Permata, Josua Pardede, memperkirakan Indeks Harga Konsumen (IHK) umum pada bulan ini akan mencatat deflasi bulanan sebesar 0,04 persen month-on-month (mom). Melanjutkan tren deflasi sebelumnya yang tercatat pada Agustus 0,03 persen mom, Juli 0,18 persen mom, Juni 0,08 persen mom, dan Mei 0,03 persen mom.
“Tren deflasi ini terutama didorong oleh komponen harga bergejolak, khususnya penurunan harga bahan pangan seperti cabai merah dan cabai rawit. Kami memperkirakan IHK komponen bergejolak akan mengalami deflasi bulanan sebesar 1,01 persen mom,” kata Josua kepada kumparan, Selasa (1/10).
Selain itu, Josua mengatakan, inflasi komponen inti dan harga yang diatur pemerintah tetap terkendali. Komponen inti diproyeksikan mengalami inflasi sebesar 0,17 persen mom. Sementara komponen harga yang diatur pemerintah mencatat inflasi 0,05 persen mom, sejalan dengan penyesuaian harga bahan bakar non-subsidi dan normalisasi inflasi terkait biaya pendidikan.
Di samping itu, Josua menyebut, deflasi yang terjadi selama beberapa bulan terakhir berdampak pada penurunan inflasi year-to-date (ytd) dari Januari hingga September 2024 yang diperkirakan hanya sebesar 0,83 persen ytd. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan 1,69 persen ytd yang tercatat pada periode yang sama tahun lalu.
Josua juga memproyeksikan inflasi tahunan (year on year/yoy) akan melandai dari 2,12 persen yoy pada Agustus menjadi 1,92 persen yoy di bulan September.
“Ini menunjukkan tren penurunan inflasi yang masih berada dalam kisaran target Bank Indonesia, yaitu 1,5 persen hingga 3,5 persen pada tahun 2024,” tambahnya.
Lebih lanjut, inflasi tahunan dari komponen harga bergejolak diperkirakan turun secara signifikan, dari 3,04 persen yoy pada Agustus menjadi hanya 0,79 persen yoy pada September, akibat penurunan harga bahan pangan.
Josua menjelaskan, rendahnya tekanan inflasi sepanjang sisa tahun ini juga didukung oleh penguatan nilai tukar rupiah.
“Penguatan nilai tukar Rupiah ini dipengaruhi oleh potensi penurunan suku bunga The Fed yang dapat meningkatkan arus modal masuk ke Indonesia. Hal ini membantu menahan tekanan inflasi dari sisi impor,” ujarnya.
Meski begitu, terdapat potensi peningkatan inflasi pada akhir tahun akibat kenaikan permintaan musiman selama perayaan Natal dan Tahun Baru. Namun, Josua memperkirakan inflasi akan tetap mendekati angka 2 persen pada akhir 2024.
“Risiko imported inflation cenderung rendah karena nilai tukar rupiah yang kuat. Di sisi lain, ketidakpastian geopolitik di Timur Tengah yang mempengaruhi harga energi global mungkin akan diimbangi oleh risiko penurunan permintaan global,”pungkasnya. Adm
Sumber : Kumparan.com