LAJUR.CO, KENDARI – Pemerintah tengah merevisi metode penghitungan kemiskinan nasional yang selama ini digunakan sejak 1998. Langkah ini dianggap penting karena aturan lama dinilai sudah tidak mencerminkan kondisi hidup masyarakat Indonesia yang kini berstatus sebagai negara berpendapatan menengah.
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory, menjelaskan ada lima alasan utama mengapa revisi ini mendesak.
Pertama, garis kemiskinan nasional Indonesia saat ini hanya sedikit di atas batas kemiskinan ekstrem internasional, yang umumnya dipakai oleh negara-negara termiskin.
Kedua, standar hidup masyarakat Indonesia telah berubah drastis dalam dua dekade terakhir, namun metode penghitungan kemiskinan belum mengalami pembaruan. Ketiga, negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam sudah lebih dulu menyesuaikan standar mereka.
Keempat, data kemiskinan yang tidak akurat bisa menyesatkan arah kebijakan publik. Dan kelima, ketidaksesuaian antara data resmi dan realitas di lapangan bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
“Revisi garis kemiskinan ekstrem Bank Dunia baru-baru ini dari USD 2.15 ke USD 3 juga disebabkan karena 70 persen negara acuan melakukan perubahan garis kemiskinan menjadi lebih tinggi. Semakin sejahtera aspirasi masyarakat akan kemiskinan meningkat, pola konsumsi juga meningkat,” kata Arief kepada kumparan, Rabu (11/6).
Meski dilakukan saat Bank Dunia juga mengubah garis kemiskinan global, revisi pemerintah Indonesia tidak serta-merta mengikuti standar internasional. Perubahan ini dirancang berdasarkan kondisi dan kebutuhan dalam negeri, dengan standar global hanya dijadikan referensi pembanding.
Proses kajian saat ini tengah dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Bappenas, serta berkonsultasi dengan DEN. “Iya sedang proses. Sekarang dalam proses kajian dan simulasi beberapa alternatif. Ini dilakukan oleh BPS berkoordinasi dengan Bappenas, berkonsultasi dengan DEN,” katanya.
Pemerintah menargetkan metode baru ini selesai dan mulai digunakan paling lambat akhir 2025. Namun Arief mengakui bahwa prosesnya tidak mudah karena ada dua kekhawatiran utama. Pertama, potensi politisasi jika terjadi lonjakan jumlah penduduk miskin akibat revisi metode.
Solusinya, menurut dia, adalah edukasi publik dan penyajian data versi lama dan baru secara paralel selama masa transisi.
Kekhawatiran kedua terkait potensi peningkatan beban anggaran perlindungan sosial. Tapi Arief menilai hal ini tidak berdasar karena sebagian besar program bantuan sosial tidak semata-mata menggunakan angka kemiskinan resmi sebagai acuan tunggal.
“Pemerintah memiliki sistem pensasaran tersendiri seperti Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) yang mempertimbangkan berbagai faktor spesifik untuk masing-masing program juga mempertimbangkan alokasi anggaran,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa pemerintah kini serius dalam menyusun metodologi baru yang lebih akurat dan relevan.
“Ya, saat ini BPS dan kementerian serta lembaga terkait sedang dalam proses menyusun penyempurnaan metodologi garis kemiskinan. Harapannya, dalam waktu dekat kita (tahun ini) akan memiliki acuan yang baru dan lebih mencerminkan realitas,” katanya.
Sementara itu, perubahan juga terjadi di tingkat global. Bank Dunia secara resmi memperbarui metode penghitungan kemiskinan melalui laporan bertajuk June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform. Revisi ini menggunakan standar baru Purchasing Power Parity (PPP) 2021, menggantikan PPP 2017 yang sebelumnya digunakan.
PPP merupakan ukuran perbandingan harga antarnegara yang mencerminkan daya beli riil masyarakat terhadap barang dan jasa. Dengan dasar baru ini, Bank Dunia menaikkan ambang batas garis kemiskinan global. Untuk kemiskinan ekstrem, batasnya naik dari USD 2,15 menjadi USD 3 per kapita per hari.
Negara berpendapatan menengah bawah kini menggunakan batas USD 4,20 (sebelumnya USD 3,65), sedangkan untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia, ambangnya naik menjadi USD 8,30 per kapita per hari.
“Sesuai dengan metodologi yang ada, garis kemiskinan global didasarkan pada garis kemiskinan nasional negara-negara itu sendiri,” tulis Bank Dunia dalam laporan tersebut, dikutip Rabu (11/6).
Bank Dunia menekankan, pembaruan ini tidak hanya sekadar penyesuaian harga, tetapi juga mempertimbangkan perubahan garis kemiskinan nasional yang terbaru. Di negara-negara berpendapatan menengah atas, kenaikan ambang batas bahkan melampaui tingkat inflasi.
Sejak 2023, Indonesia masuk kategori negara berpendapatan menengah atas dengan GNI per kapita sebesar USD 4.870. Alhasil, standar baru kemiskinan global untuk Indonesia adalah USD 8,30 PPP per hari. Dengan asumsi nilai tukar PPP sebesar Rp 5.993,03 per USD 1 PPP (2024), angka ini menunjukkan lonjakan signifikan dalam penghitungan kemiskinan.
Adapun, Bank Dunia mencatat angka kemiskinan Indonesia naik menjadi 68,25 persen dari total populasi, atau setara 194,58 juta jiwa dari total 285,1 juta penduduk pada 2024. Padahal dalam laporan sebelumnya pada April 2025, angka kemiskinan Indonesia tercatat 60,3 persen atau sekitar 171,9 juta jiwa. Adm
Sumber : Kumparan.com