LAJUR.CO, JAKARTA – Kebijakan pemerintah menggelontorkan subsidi kendaraan listrik, baik motor maupun mobil listrik, terus menuai kritik dari berbagai kalangan. Kebijakan ini dinilai banyak pihak hanya membuang-buang anggaran dengan output yang tidak maksimal.
Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, mengungkapkan subsidi kendaraan listrik dianggapnya lebih banyak menguntungkan para investor kendaraan listrik yang sudah terlanjur berinvestasi.
“Tujuan pemerintah memberikan insentif untuk pembelian sepeda motor dan mobil listrik sepertinya lebih untuk menolong industri sepeda motor dan mobil listrik yang sudah telanjur berinvestasi dan berproduksi, tetapi pangsa pasarnya masih sangat kecil, sehingga perlu diberikan insentif,” kata Djoko dalam keterangannya, Senin (29/5/2023).
Jika dicermati, lanjut Djoko, program insentif kendaraan listrik ini memang tidak memiliki aturan atau kewajiban bagi pembeli kendaraan listrik untuk melepas kepemilikan kendaraan berbahan bakar minyak yang mereka miliki.
Dosen Teknik Sipil Unika Soegijapranata bilang, insentif berupa subsidi kendaraan listrik itu jangan sampai akhirnya justru dinikmati orang yang tidak berhak atau orang kaya serta memicu kemacetan di perkotaan.
“Selain akan menambah kemacetan, juga akan menimbulkan kesemrawutan lalu lintas dan menyumbang jumlah kecelakaan lalu lintas yang semakin meningkat,” kata dia.
Yang dikhawatirkan terjadi, sambungnya, adalah makin bertambahnya kendaraan pribadi yang berjejal di jalan. Sedangkan pihak yang akan diuntungkan dari program ini hanya kalangan produsen kendaraan listrik.
Lanjut Djoko, program subsidi kendaraan listrik malah sejatinya bisa menambah polusi. Karena di sisi lain populasi kendaraan makin bertambah.
Baik itu kendaraan berbahan bakar minyak yang terus bertambah, maupun populasi kendaraan listrik yang sejatinya energinya berasal dari pembangkit listrik juga masih didominasi batu bara.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), disebutkan percepatan program KBLBB didorong dalam rangka peningkatan efisiensi energi, dan ketahanan energi.
Kemudian konservasi energi sektor transportasi, serta terwujudnya energi bersih, kualitas udara bersih, dan ramah lingkungan, juga yang terpenting adalah mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar minyak (BBM).
Kalkulasinya, dari sisi pengguna, diharapkan dengan konversi motor konvensional ke motor listrik bisa menghemat pengeluaran lebih kurang Rp 2,77 juta per tahun. Dari pihak pemerintah juga ada penghematan Rp 32,7 miliar per tahun dari kompensasi BBM Pertalite.
“Harapan program ini bisa mengurangi konsumsi BBM dan menekan emisi karbon berpotensi jauh panggang dari api. Yang justru terjadi adalah penambahan konsumsi energi dan makin bertambahnya kendaraan pribadi yang berjejal di jalan. Sedangkan pihak yang akan diuntungkan dari program ini hanya kalangan produsen kendaraan listrik,” kata Djoko.
Untuk orang kaya?
Menurut Djoko, selain lebih banyak menguntungkan investor, subsidi kendaraan listrik juga lebih dominan menyasar kalangan menengah ke atas alias orang-orang kaya. Hal ini juga akan semakin memicu bertambahnya populasi mobil pribadi.
Ia mengungkapkan, apabila merujuk pada pernyataan yang dirilis pemerintah, sasaran utama insentif subsidi kendaraan listrik adalah pelaku Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM).
Namun, kata Djoko, sejatinya pelaku UMKM tidak butuh motor listrik, apalagi mobil listrik, tetapi membutuhkan tambahan modal untuk mengembangkan usahanya, akses pasar, pelatihan SDM.
“Saat ini, setiap pelaku UMKM sudah memiliki sepeda motor, bahkan lebih dari satu motor dalam rumah tangganya. Bahkan orang yang hidup di kolong jembatan pun sudah memiliki sepeda motor. Jelas tidak tepat sasaran,” kata Djoko.
Solusinya apa?
Ketimbang jor-joran merogoh APBN untuk subsidi kendaraan listrik, Djoko lebih menyarankan agar pemberian insentif diprioritaskan untuk subsidi kendaraan listrik yang dipakai untuk transportasi umum.
Dengan memberikan subsidi kepada perusahaan angkutan umum, selain akan mendorong pengembangan industri kendaraan listrik, juga dapat memperbaiki pelayanan angkutan umum dengan sarana transportasi yang lebih ramah lingkungan (menekan emisi udara) sekaligus mereduksi kemacetan.
Selain itu dapat menurunkan angka kecelakaan dan angka inflasi di daerah. Pertumbuhan industri otomotif tak pelak memiliki beragam dampak. Solusi lainnya dalam mendukung ekosistem kendaraan listrik, insentif dari APBN sebaiknya juga lebih banyak disalurkan untuk pembelian motor dan mobil listrik di daerah-daerah terpencil dan terisolir.
Ia mengatakan, pemerintah perlu belajar dengan Pemerintah Kabupaten Asmat (Provinsi Papua Selatan). Di mana sejak 2007 masyarakat Kota Agatas, ibukota Kabupaten Asmat sudah menggunakan kendaraan listrik.
“Kesulitan mendapatkan BBM menjadikan masyarakatnya mayoritas memakai sepeda motor listrik. Ojek listrik juga sudah lebih dulu ada di Asmat daripada di Jakarta,” kata Djoko.
Maka dari itu, insentif sepeda motor listrik diprioritaskan untuk daerah terluar, tertinggal, terdepan dan pedalaman (3TP) yang kebanyakan berada di luar Jawa.
Di daerah 3TP, kata Djoko, umumnya jumlah sepeda motor masih sedikit, pasokan BBM juga masih sulit dan minim sehingga harga BBM cenderung mahal. Sementara energi listrik masih bisa didapatkan dengan lebih murah dan diupayakan dari energi baru.
“Untuk mobil listrik, prioritasnya juga jangan untuk kendaraan pribadi, tetapi untuk kendaraan dinas kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah sehingga distribusinya lebih merata,” tutup Djoko. Adm
Sumber : Kompas.com