SULTRABERITA.ID, KENDARI – Pelarangan penggunaan styrofoam sebagai wadah makanan ataupun sebagai pembungkus makanan mulai banyak digaungkan karena dianggap sulit terurai dan merusak lingkungan. Karena hal itu, banyak yang mulai berkreasi menciptakan wadah atau pembungkus makanan yang ramah lingkungan.
BACA JUGA :
- Ini 2 Sektor yang Kena Dampak Keras Tarif Trump ke RI
- Jangan Tertipu! Ini 5 Cara Sederhana Membedakan Emas Asli dan Palsu
- Masuk Prioritas Gubernur ASR, Realisasi Jembatan Muna-Buton Butuh Budget Jumbo Rp6,1 Triliun
- Harga Kelapa di Kendari Menggila, Tembus Rp13 ribu/Biji
- Presiden Prabowo Setujui Usul Ridwan Bae: Rp60 Miliar APBN 2025 Danai Jalan Layang Trans Sulawesi Konut
Ide kreatif pun ditemukan oleh Rengkuh Banyu Mahandaru. Pemuda yang berprofesi sebagai product designer ini membuat produk berupa wadah makanan dari pelepah pinang sebagai pengganti styrofoam.
Uniknya, kasus matinya hiu gegara menelan sampah plastik berton-ton di Wakatobi Provinsi Sultra yang sempat viral menjadi inspirasi Rengkuh menciptakan plastik ramah lingkungan dari pohon pinang.
Dikutip dari Viva.co.id, karya Rengkuh memenangkan juara satu ajang Creative Fest 2019 yang diselenggarakan Kementerian Perindustrian. Rengkuh menjelaskan, produk ini ditemukannya ketika ia berlibur ke Wakatobi.
“Di sana kami melihat fenomena adanya ikan Paus dalam satu tahun yang selalu terdampar dan ketika dibelah perutnya isinya sampah plastik semua. Dari sana kami mencari solusi bagaimana menghasilkan subtitusi material ramah lingkungan dan murah,” kata Rengkuh di Denpasar, Rabu 1 Januari 2020.
Saat ini, kata Rengkuh, ada banyak produk subtitusi material styrofoam. “Tapi harganya tidak masuk untuk kalangan menengah ke bawah, sehingga kami mencari solusi yang paling murah dengan harga yang lebih rendah,” kata Rengkuh.
Ia pun berinovasi. Pilihan dijatuhkan kepada pelepah pinang. Soal itu, ia punya alasan tersendiri. Katanya, pinang adalah pilihan tepat yang lantaran ketersediaannya yang cukup banyak. Ia pun bekerjasama dengan petani. Digandeng pula Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) sebagai pemodalnya. Jadilah kini produk yang diberi nama Plepah.
Kita menghitung jumlah luasan lahan dan jumlah petani yang ada. Setelah ada input, kita bahas pola yang kita bangun. Kita bekerjasama dengan Bumdes akhirnya. Kalau di Amerika usaha bisa muncul karena dorongan capital, di China karena dorongan pemerintah, mungkin di Indonesia muncul dari desa-desa,” tutur dia.
Saat ini, Rengkuh melanjutkan, ia telah kebanjiran permintaan. Dalam sebulan, ada permintaan 60 ribu pieces dari pasar yang harus dipenuhinya. “Saat ini sudah 60 ribu pieces permintaan dari pasar perbulannya yang harus kami penuhi. Kami memang belum mampu bersaing secara harga dengan styrofoam. Kami bersaing dengan produk sejenis semisal paper cup atau plastik,” papar dia.
Meski dari pelepah pinang, Rengkuh tak main-main dengan produk inovasinya. Teknologi mumpuni pun ia terapkan di produk temuannya. “Secara kualitas produk ini sama. Bisa masuk microwave dan tahan air. Kelebihannya lagi mampu terdegradasi di tanah selama 60 hari. Produk lain tidak segampang itu terdegradasi. Bisa dipakai dua sampai tiga kali. Produk ini juga bebas bakteri,” tutur dia.
Saat ini, ia bekerjasama dengan 90 orang petani di Jambi dan Sumatera Selatan. “Pinang di Indonesia lazim sekali seperti panjat pinang, bungkus dodol juga pakai pinang. Ini loh ada produk lokal yang sudah biasa digunakan masyarakat kita. Kenapa tidak beralih ke produk itu dengan treatment desain dan teknologi.”
Saat ini, pihaknya fokuskan ke pasar lokal dahulu. Mengingat saat ini Indonesia penyumbang terbesar kedua sampah di dunia, sehingga, Rengkuh ingin sampah di Indonesia semakin berkurang.
“Jadi memang tujuan kita menyelesaikan problem di sektor lokal di Indonesia. Ada banyak regulasi, tapi tidak ada alternatif penggantinya. Idealnya itu seiring sejalan. Kami berupaya menyiapkan alternatifnya,” kata rengkuh. Adm
Sumber : Viva.co.id