Oleh :
MUHAMAD IKRAM PELESA
(Ketua Bidang Pembangunan Energi, Migas dan Minerba PB HMI)
Beberapa hari terakhir ini publik dibuat cemas terkait rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik dengan menerapkan kembali kebijakan tariff adjustment pada tahun ini. Kebijakan tariff adjustment listrik adalah mekanisme mengubah dan menetapkan naik atau turunnya tarif listrik mengikuti perubahan empat parameter ekonomi makro rata-rata per tiga bulan yaitu realisasi kurs rupiah, Indonesia Crude Price (ICP)/harga minyak acuan nasional, harga batu bara acuan, dan tingkat inflasi. Konon (Pemerintah Mengatakan), dengan menerapkan kebijakan tersebut pemerintah meyakini mampu menghemat kompensasi listrik sebesar 7 hingga 16 triliun rupiah, begitupun sebaliknya, jika tarif listrik tidak naik,(kemungkinan negara akan lebih besar menanggung kerugian) maka sebesar itu juga nilai kompensasi atau subsidi yang akan ditanggung oleh pemerintah.
Atas dasar itulah penulis mencoba mengurai salah satu alasan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik dengan mengambil case batubara yang dinilai lebih kaya akan analisa dan sumber data.
Diberbagai macam kesempatan penulis menyampaikan bahwa hal terbesar yang akan dihadapi pemerintah kedepan ialah ketika tariff dasar listrik naik akibat ketidak mampuan pemerintah dalam merumuskan kemanfaatan sumber daya batubara untuk kepentingan nasional khususnya pada sektor ketenagalistrikan (PLN).
Bagaimana tidak, bahwa salah satu sumber kerugian dalam penerimaan negara adalah akibat tidak terpenuhinya Pasokan Batubara dalam negeri Domestic Market Obligation (DMO) pada sektor ketenagalistrikan yang sengaja dilakukan oleh para emiten batubara, tentu pada permainan ini yang sangat dirugikan adalah PLN.
Penulis mengambil contoh bahwa realisasi penyerapan DMO batubara dari pemegang izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sampai Oktober 2021 hanya sebesar 41,77 juta ton sementara kewajiban alokasi DMO batubara dalam negeri sebesar 66,06 juta ton, artinya negara kekurangan pasokan batubara dalam negeri pada sektor ketenagalistrikan sebesar 24,29 Juta Ton.
Sebelumnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Harga Batu Bara Acuan (HBA) bulan Desember 2021 sebesar US$ 159,79 per ton, untuk menghitung kerugian negara maka harga ekspor batubara pada update terakhir dikurangi harga listrik umum US$70 per ton menjadi US$89,79. Jumlah itu kemudian dikalikan dengan volume kekurangan pasokan sesuai kontrak, nah jika dikonversi dalam kurs rupiah menjadi Rp.14.382 Jumlah ini kemudian dikalikan dengan volume kekurangan pasokan sesuai kontrak sebesar 24.290.000 ton, maka kekurangan DMO yang ditimbulkan senilai 31.3 Triliun, inilah nilai yang dikeluarkan negara untuk menutupi pasukan batubara disektor ketengalistrikan dalam negeri.
Penulis menilai imbas dari kekurangan DMO batubara disektor ketengalistrikan akan berimbas pada naiknya Tarif Dasar Listrik, karena diakibatkan biaya produksi PLN yang membengkak akibat tidak terpenuhinya target pasokan batubara, sehingga langkah yang sangat efisien yang dilakukan oleh PLN dengan terpaksa yaitu menaikan harga listrik komersil, penulis berharap pemerintah hanya cukup meminta para emiten atau produsen batubara melunasi denda kekurangan DMO senilai 31, 3 Trilun dari pada menerapkan kembali kebijakan tariff adjustment yang hanya menghemat kompensasi listrik sebesar 7 hingga 16 triliun rupiah.
Dalam tulisan ini penulis juga menyayangkan perpanjangan izin PT. Kaltim Prima Coal (KPC) yang sebelumnya berakhir 31 Desember 2021 sebagai salah satu produsen atau emiten batubara yang kurang DMO mestinya pemerintah menolak perpanjangan sebelum membayar denda kekurangan DMO, sebab berdasarkan data PLN emiten batubara tersebut juga tidak memenuhi pasokan batubara dalam negeri disektor ketenagalistrikan, dimana volume DMO yang seharusnya dipenuhi adalah sebesar 14,45 juta ton tetapi yang baru dipenuhi adalah 8,8 juta ton, artinya negara harus menutupi kekurangan pasokan PT. KPC sebesar 5,65 juta ton, jika dikonversikan dengan harga batubara acuan dan Kurs Dolar perhari ini mengakibatkan kerugian sebesar jika dikonversikan dengan harga batubara acuan (HBA) maka kerugian Negara yang ditimbulkan adalah senilai 7,2 Triliun rupiah
Berikut adalah daftar perusahaan batubara yang belum memenuhi kewajiban DMO sampai Oktober 2021, berdasarkan data PLN :
A. Perusahaan batu bara pemegang izin PKP2B :
Dari total DMO 50,04 juta ton, terealisasi sampai Oktober 2021 sebesar 30,72 juta ton.
1. Adaro Indonesia volume DMO 11,1 juta ton, baru dipenuhi 7,54 juta ton.
2. Antang Gunung Meratus volume DMO 2,1 juta ton, baru dipenuhi 1,39 juta ton.
3. Berau Coal volume DMO 5,55 juta ton, baru dipenuhi 2,87 juta ton.
4. Borneo Indobara volume DMO 7,57 juta ton, baru dipenuhi 4,76 juta ton.
5.Indexim Coalindo volume DMO 2,75 juta ton, baru dipenuhi 1,15 juta ton.
6. Indominco Mandiri volume DMO 1,8 juta ton, baru dipenuhi 944 ribu ton.
7. Kaltim Prima Coal volume DMO 14,45 juta ton, baru dipenuhi 8,8 juta ton.
8. Multi Harapan Utama volume DMO 2,65 juta ton, baru dipenuhi 2,45 juta ton
9. Pesona Khatulistiwa Nusantara volume DMO 825 ribu ton, belum ada pemenuhan DMO sama sekali.
10. Singlurus Pratama volume DMO 775 ribu ton, baru dipenuhi 422 ribu ton.
11. Lanna Harita Indonesia volume DMO 675 ribu ton, baru dipenuhi 429 ribu ton.
B. Perusahaan batubara pemegang IUPK OP :
Arutmin Indonesia volume DMO 5,45 juta ton, baru dipenuhi 4,3 juta ton.
C. Perusahaan batu bara IUP PMA:
Multi Prima Coal volume DMO 7,57 juta ton, baru dipenuhi 2 juta ton.
D. Perusahaan batu bara IUP OP:
Dari total semua perusahaan volume DMO sebesar 52,07 juta ton, baru dipenuhi kurang dari setengahnya 22,9 juta ton
Pengetatan tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM. B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri yang ditetapkan pada 4 Agustus 2021 lalu, dimana Pemerintah akan memberi sanksi berupa larangan ekspor hingga pengenaan denda bagi pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan DMO.
Keputusan pemerintah dalam menaikan tariff dasar listrik merupakan lanjutan kebijakan pemerintah sebelumnya yakni menaikkan BBM Jenis Pertamax, Pajak PPn dan Harga sembako yang konon dinarasikan sebagai effect dari Konflik Perang Rusia dan Ukraina, hmm…..Bisa begitu ?
Padahal menurut penulis konflik perang rusia dan ukraina tidak begitu menyentuh kebutuhan energi di negara kita secara mendalam apalagi berkaitan langsung dengan pasokan ketenagalistrikan dalam negeri. Mengapa demikian ?
Pertama, Sumber daya Pasokan ketenagalistrikan Negara kita sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan domestik dalam negeri. Kedua, Coba ditelisik lebih jauh bahwa sumber daya pasokan ketenagalistrikan dalam negeri ditopang penuh oleh energi termal yang sumber dayanya begitu melimpah. Ketiga, Energi termal merupakan sumber energi yang paling banyak digunakan di negara kita dalam produksi ketenagalistrikan, seperti Pembangkit listrik energi ini dibagi lagi jenisnya berdasarkan bahan bakar yang digunakan seperti batubara (PLTU), Gas, Diesel.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan pada tanggal 18 Januari 2022 bahwa Produksi Pembangkit listrik Indonesia mencapai 73.736 megawatt (MW) atau 73,74 gigawatt (GW) hingga November 2021. Dari total produksi tersebut, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merupakan kontributor pembangkit listrik terbesar dengan menyumbang 61,200 GW atau 83% dari total pembangkitan listrik yang bersumber dari batubara.
Sementara data Konsumsi Listrik Indonesia (2015-2021) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelaskan bahwa konsumsi listrik Indonesia mencapai 1.109 kilowatt jam (kWh) per kapita pada kuartal III 2021, angka itu setara dengan 92,2% dari target yang ditetapkan pada 2021 sebesar 1.203 kWh per kapita, disisi lain jumlah pelanggan listrik per September 2021 telah melebihi target, yakni mencapai 81,229 juta pelanggan 102,6% dari target sepanjang 2021 dengan patokan 79,187 juta pelanggan.
Sederhananya jika 73,74 gigawatt (GW) hasil produksi listrik dalam negeri kita dalam setahun konversikan dalam bentuk kilowatt maka jumlahnya adalah 73.740.000 Kilowatt/jam. Kemudian dibandingkan dengan konsumsi listrik dalam negeri 1.109 Kilowatt/jam dikalikan 24 jam dalam setahun maka jumlahnya adalah 14.970.840 Kilowatt/jam, angka inilah yang dihabiskan Negara kita setiap tahunnya. Penulis mencoba menjumlahkan hasil produksi, kemudian dikurangi konsumsi dalam negeri terdapat sisa produksi listrik Negara kita sebesar 58.769.160 Kilowatt/jam, lalu kemana sisa produksi listrik dalam negeri ini dibawa kemana ? apakah ini bisa dikatakan menghemat 7 – 16 triliun ? Padahal, hasil analisa penulis bahwasanya sisa produksi Listrik Negara jika dikonversikan mennjadi Rupiah ini akan menjadi nilai yang sangat besar yaitu 30,9 Triliun Rupiah.
Jika meminjam istilah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan “Big Data” maka saduran data diatas dapat disebut demikian, diparagraf terahir tulisan penulis memberi saran kepada pemerintah. Pertama, tidak terburu-buru dalam mengambil langkah menaikkan tariff dasar listrik, mengingat masih banyaknya hak pemerintah yang harus ditagih dan diselesaikan oleh para emiten batubara dalam memenuhi pasokan batubara dalam negeri untuk sektor ketenagalistrikan. Kedua, memaksimalkan sisa produksi pembangkit listrik untuk kepentingan nasional. Ketiga, Pemerintah lebih serius dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan hulu hingga hilir kebijakan pemanfaatan sumber daya ketenagalistrikan khususnya disektor batubara, mengingat 83% produksi listrik dalam negeri disupport oleh PLTU.