LAJUR.CO, JAKARTA– Presiden RI Joko Widodo dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian digugat sejumlah warga sipil ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta per Senin (28/11/2022).
Dalam perkara bernomor 422/G/TF/2022/PTUN.JKT itu, Presiden dan Mendagri digugat akibat tak kunjung terbitnya peraturan pelaksana terkait pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah.
Dikutip situs resmi PTUN Jakarta, para penggugat di antaranya Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Direktur Eksekutif WALHI Jakarta Suci Fitriah Tanjung, Ardhito Harinugroho, dan Lilik Sulistyo.
Ada pula nama peneliti Imparsial yang juga cucu Mohammad Hatta, Gustika Fardani Jusuf, dalam daftar penggugat.
Para penggugat menilai, tidak bertindaknya Jokowi untuk menerbitkan peraturan pelaksana pengangkatan pj kepala daerah merupakan perbuatan melawan hukum oleh pejabat pemerintahan.
Sebab, penerbitan peraturan pelaksana itu seharusnya merupakan tindak lanjut atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, tepatnya Pasal 201 dan 205, juga putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 dan Nomor 15/PUU-XX/2022.
Di sisi lain, para penggugat meminta agar diangkat dan dilantiknya 7 pj gubernur, 16 pj wali kota, dan 65 pj bupati oleh Jokowi dan Tito pada 12 Mei-25 November 2022, yang dianggap berpotensi mengandung unsur penyalahgunaan kekuasaan, dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum oleh pejabat pemerintahan.
Mereka juga meminta majelis hakim PTUN Jakarta menyatakan pengangkatan dan pelantikan total 88 pj kepala daerah tersebut batal atau tidak sah.
Hal itu karena pengangkatan dan pelantikan tersebut dilakukan tanpa lebih dulu menerbitkan peraturan pelaksana pengangkatan pj kepala daerah sebagaimana dimandatkan UU Pilkada dan putusan MK tadi.
Pemerintah bersikeras tak melanggar apa pun
Kemendagri mengaku siap menghadapi gugatan di PTUN. Staf khusus bidang politik dan media Mendagri Kastorius Sinaga menyebutkan bahwa Kemendagri menghargai hak konstitusional warga masyarakat.
Kemendagri merasa telah berlaku sesuai prosedur, menganggap bahwa penunjukan pj kepala daerah, sekalipun dalam jumlah yang banyak, adalah perintah UU Pilkada sebagai akibat diserentakkannya pilkada ke tahun 2024.
Kasto menuturkan, segala persyaratan dan tugas serta kewenangan pj kepala daerah mengacu pada UU Pilkada dan UU Pemerintahan Daerah.
Ia juga merasa bahwa tak ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan Kemendagri membuat aturan teknis pengangkatan pj kepala daerah, sebagaimana dalam gugatan warga sipil ke PTUN.
“Sebenarnya amar putusan MK tidak ada mewajibkan, mengharuskan atau memerintahkan pemerintah untuk menerbitkan peraturan teknis dalam bentuk PP (peraturan pemerintah);tentang pengangkatan pj (kepala daerah),” ungkap Kasto kepada Kompas.com pada Kamis (1/12/2022) malam.
“Yang ada adalah bahwa MK di dalam ‘materi pertimbangan terhadap amar putusan MK’ menganjurkan agar proses penunjukan pj (kepala daerah) memperhatikan aspek partisipasi, transparansi dan akuntabilitas,” jelasnya.
Kemendagri mengeklaim bahwa aspek-aspek itu telah dipenuhi lewat prosedur terbaru yang diterapkan dalam pengangkatan pj kepala daerah.
Prosedur itu adalah mengakomodasi usulan 3 kandidat dari DPRD yang dianggap mewakili aspirasi publik, untuk selanjutnya diverifikasi dan dibawa ke sidang Tim Penilai Akhir (TPA), sebelum diputuskan mendagri (untuk bupati/wali kota) dan presiden (untuk gubernur).
“Jadi kalau teman-teman LSM tidak/belum puas dan menggugat ya silakan. Kami (Kemendagri) siap menghadapi. Negara kita adalah negara hukum,” ujar Kasto
Ombudsman pernah nyatakan malaadministrasi
Desakan agar pemerintah menerbitkan aturan teknis pengangkatan pj kepala daerah memang sangat kuat.
Sebab, mundurnya pilkada secara serentak ke 2024 mengakibatkan kosongnya 272 kursi kepala daerah, baik gubenur maupun wali kota/bupati.
Pengangkatan pj kepala daerah secara sepihak oleh pemerintah dikhawatirkan mengandung unsur politis.
Pengangkatan pj kepala daerah di periode 2022-2024 yang sangat masif dianggap tidak dapat disamakan dengan pengangkatan di masa-masa sebelumnya, sehingga butuh mekanisme baru lewat aturan teknis agar pengangkatan ini akuntabel.
Oleh sebab sumirnya mekanisme yang ditempuh, Kemendagri bahkan pernah dinyatakan Ombudsman RI melakukan sejumlah malaadministrasi dalam hal pengangkatan pj kepala daerah.
Malaadministrasi itu, beberapa di antaranya, meliputi penyimpangan prosedur pengangkatan pj kepala daerah yang membuat prajurit aktif turut terpilih, pengabaian atas putusan MK nomor Nomor 67/PUU-XIX/2021, serta gelapnya informasi publik soal tahapan pengangkatan pj kepala daerah.
Dalam salah satu rekomendasi Ombudsman, Kemendagri diminta membuat draf aturan teknis pengangkatan pj kepala daerah untuk selanjutnya diundangkan sebagai peraturan pemerintah (PP).
Kasto menyebutkan bahwa Kemendagri telah menjawab Ombudsman RI sebelum tenggat, dan sudah menjelaskan sudut pandang mereka yang meyakini bahwa malaadministrasi itu tidak terbukti.
Selain itu, ia mengeklaim bahwa Kemendagri kini telah menyusun aturan teknis pengangkatan penjabat (pj) kepala daerah.
Menurutnya, aturan teknis level peraturan menteri ini berangkat dari 2 undang-undang, yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada serta Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Atas permendagri tersebut juga telah dilakukan harmonisasi dengan kementerian terkait termasuk Kemenkumham. Sudah di tahap akhir atau finalisasi. Sedang berproses,” ungkap Kasto.
Namun, klaim bahwa permendagri semacam ini sudah difinalisasi bukan baru kali ini keluar dari institusi itu. Juli lalu, Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan telah mengumbar klaim serupa dan menyatakan beleid itu bakal segera terbit pada Agustus 2022.
Ketika itu, Kemendagri mengeklaim rancangan peraturan ini tinggal meminta masukan dari kalangan akademisi dan pegiat gerakan masyarakat sipil.
“Jadi, kami berharap di gelombang ketiga (pelantikan pj kepala daerah) Agustus ini sudah bisa diterapkan. Draf finalnya sudah ada, saya berani katakan itu sudah 90 persen,” kata Benni pada Kamis (14/7/2022).
Penunjukan bermasalah
Sumirnya mekanisme membuat pengangkatan pj kepala daerah memang tak bisa dihindarkan dari masalah.
Misalnya, dua kali prajurit aktif ditunjuk sebagai pj kepala daerah pada Mei lalu.
Mereka adalah jenderal polisi bintang 3 Paulus Waterpauw yang diganjar kursi Pj Gubernur Papua Barat serta Brigjen Andi Chandra As’aduddin, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sulawesi Tengah yang diangkat sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku.
Di samping itu, beberapa pj kepala daerah yang mulanya tak kualifikasi eselon I disiasati dengan diangkat terlebih dulu sehagai staf ahli Mendagri yang notabene jabatan eselon Ib.
Pj Gubernur Papua Selatan Apolo Safanpo serta Pj Gubernur Papua Tengah Ribka Haluk mengalaminya dan hal tersebut diakui secara terang-terangan oleh Tito Karnavian.
Sumber Kompas.com di lingkungan Kemendagri menyampaikan, pelantikan Apolo dan Ribka sebagai staf ahli baru dilakukan pada Rabu (9/11/2022), sehari sebelum keduanya dilantik.
‘Iya (ditarik jadi staf ahli Mendagri sebelum dilantik jadi pj gubernur) untuk memenuhi syarat karena penjabat (gubernur, harus merupakan) pimpinan tinggi madya. Undang-undang mengatakan itu,” kata Tito ditemui usai melantik para pj gubernur provinsi baru Papua, Jumat (11/11/2022).
Sebelumnya, Pj Gubernur Aceh, Mayjen (purn) Achmad Marzuki, yang dilantik pada 6 April 2022, sebelumnya diangkat Tito sebagai staf ahli bidang hukum dan kesatuan bangsa pada 4 April 2022–3 hari setelah Panglima TNI Andika Perkasa meneken pemberhentian yang bersangkutan dari TNI AD.
Perludem menduga ada pembiaran serius dalam pengangkatan pj kepala daerah tanpa mekanisme yang akuntabel yang membuatnya tak bisa dilepaskan dari spekulasi politik.
“Saya menduga seperti itu (dibiarkan), tidak ada sikap tegas presiden soal pengisian pj ini,” kata peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, ketika dihubungi pada Selasa (11/10/2022).
“Potensi sangat besar ke sana (kepentingan politik). Menurut saya ada kepentingan politk yang besar dalam pengisian pj ini, makanya selalu ini dibiarkan dalam ruang yang dirasa sangat abu-abu,” ungkap Fadli.
Tak hanya soal kepentingan politik, penunjukan pj kepala daerah secara sepihak seperti saat ini juga dianggap bakal berpengaruh terhadap tata kelola pemerintahan daerah hingga netralitas ASN jelang tahun politik.
“Potensinya (kepentingan politik) sangat besar, karena ini penentuan penjabat, tersentral di pemerintah pusat. Nyaris tanpa kontrol dan tidak ada mekanisme terbuka,” ujar Fadli.
“Kita tahu, kekuatan politik yang menentukan kursi penjabat ini kan juga bukan pihak yang tidak punya kepentingan di pemilu 2024. Ketika mereka memiih penjabat tentu ada yang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan Pemilu 2024,” pungkasnya. Adm
Sumber : Kompas.com